Perdamaian di Timur Tengah telah jadi tujuan suci bagi para diplomat, perdana menteri, dan presiden selama lebih dari lima dasawarsa. Setiap wajah baru di panggung dunia mengira dia akan jadi orang yang berhasil memecahkan konflik Arab-Israel. Dan satu per satu gagal total sama seperti orang² yang dahulu telah mencoba.
Faktanya adalah, hanya segelintir orang² Barat yang bisa mengerti kepelikan Timur Tengah dan masyarakatnya. Tapi aku mengenal mereka – melalui latar belakangku yang unik. Aku adalah putra daerah di mana konflik itu terjadi. Aku adalah putra Islam, dan anak dari seseorang yang dituduh sebagai seorang teroris. Aku juga pengikut Yesus.
Sebelum usia 21 tahun, aku sudah melihat hal² yang seharusnya tidak dilihat seorang pun: kemiskinan terparah, penyalahgunaan kekuasaan, penyiksaan, dan kematian. Aku menyaksikan perjanjian² di belakang layar antara para pemimpin utama Timur Tengah yang menjadi berita utama di seluruh dunia. Aku dipercaya dalam kalangan atas Hamas, dan aku juga berpartisipasi melakukan Intifada. Aku ditahan di penjara Israel yang paling ditakuti. Dan nantinya kalian akan lihat, aku menentukan pilihan² yang membuatku tampak sebagai pengkhianat di mata masyarakat yang kucintai.
Perjalanan hidupku yang tak lumrah telah membawaku ke tempat² gelap dan memberiku jalan masuk untuk mengetahui rahasia² besar. Dalam halaman² buku ini, aku akhirnya mengemukakan rahasia² yang lama tersembunyi, mengutarakan kejadian² dan proses² yang dulunya hanya diketahui oleh segelintir orang saja.
Mengungkapkan fakta seperti ini tampaknya akan membangkitkan gelombang kejut di sebagian Timur Tengah, tapi aku berharap hal ini akan mendatangkan ketenteraman bagi para keluarga koraban konflik yang tak berkesudahan ini.
Setelah pindah dan hidup bersama masyarakat Amerika sekarang, aku mengetahui banyak dari mereka yang bertanya-tanya tentang konflik Arab-Israel, tapi hanya sedikit jawaban² dan informasi yang tersedia. Ini contoh beberapa pertanyaan yang kudengar:
○ Kenapa sih mereka itu tidak bisa hidup rukun di Timur Tengah?
○ Siapa sih yang benar? Orang Israel atau orang Arab?
○ Yang punya tanah itu siapa sih sebenarnya? Mengapa orang² Palestina tidak pindah saja ke negara² Arab?
○ Mengapa Israel tidak menyerahkan kembali saja tanah dan harta milik yang mereka kuasai setelah menang di Perang Enam Hari di tahun 1967?
○ Mengapa masih banyak orang² Palestina yang hidup di kamp pengungsian? Kenapa mereka tidak bikin negara sendiri saja?
○ Mengapa sih orang² Palestina sangat membenci orang² Israel?
○ Bagaimana Israel melindungi diri mereka dari para pembom bunuh diri dan serangan roket yang terus-menerus?
Semua ini adalah pertanyaan² yang baik. Tapi tak ada satu pun yang menyentuh akar permasalahan. Konflik masa kini sebenarnya berkaitan dengan permusuhan antara Sarah dan Hagar yang dijabarkan di Kitab Kejadian di Alkitab. Akan tetapi, untuk mengetahui realita politik dan budaya Timur Tengah, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi setelah Perang Dunia I.
Ketika PD I berakhir, daerah Palestina, yang merupakan tempat tinggal bangsa Palestina selama beratus-ratus tahun, jatuh ke tangan kekuasaan Inggris. Pemerintah Inggris menentukan ketetapan aneh bagi daerah itu, yang tercantum dalam Deklarasi Balfour di tahun 1917: “Pemerintah sang Paduka menetapkan Palestina sebagai negara tempat tiinggal masyarakat Yahudi.”
Karena terdorong keputusan Pemerintah Inggris tersebut, maka ratusan ribu imigran Yahudi, terutama dari Eropa Timur, datang membanjiri daerah² Palestina. Setelah itu, pertikaian antara orang² Arab dan Yahudi tidak terhindari lagi.
Israel menjadi negara berdaulat di tahun 1948. Akan tetapi, daerah Palestina tetap tak punya kedaulatan. Tanpa adanya hukum negara yang berkuasa mengatur, maka yang jadi hukum tertinggi adalah hukum agama. Dan jika setiap orang bebas mengartikan dan memaksakan hukum seenaknya, maka terjadilah kekacauan. Bagi dunia luar, konflik Timur Tengah tak lain adalah adu tarik tambang memperebutkan tanah sejengkal saja. Tapi masalah sebenarnya adalah tiada seorang pun yang mengetahui akar permasalahan. Karena itulah, para negosiator dari Camp David sampai Oslo dengan penuh percaya diri terus memlintir kaki dan tangan pasien yang menderita sakit jantung.
Harap mengerti bahwa aku tidak lebih cerdas daripada para pemikir besar dunia. Aku sama sekali tidak. Tapi aku percaya bahwa Tuhan telah memberiku sudut pandang yang unik dengan cara meletakkan diriku di berbagai pihak yang tengah menghadapi konflik yang seakan tak terpecahkan. Hidupku terpecah-belah bagaikan tanah kecil di Timur Tengah yang dikenal dengan nama Israel bagi sebagian orang, atau dengan nama Palestina bagi orang lain, atau tanah terjajah bagi pihak lain lagi.
Tujuanku adalah untuk menjelaskan dengan benar kejadian² penting, mengungkapkan rahasia², dan jika semua berlangsung dengan baik, maka kau akan mempunyai harapan bahwa hal yang mustahil akan bisa terjadi.
Faktanya adalah, hanya segelintir orang² Barat yang bisa mengerti kepelikan Timur Tengah dan masyarakatnya. Tapi aku mengenal mereka – melalui latar belakangku yang unik. Aku adalah putra daerah di mana konflik itu terjadi. Aku adalah putra Islam, dan anak dari seseorang yang dituduh sebagai seorang teroris. Aku juga pengikut Yesus.
Sebelum usia 21 tahun, aku sudah melihat hal² yang seharusnya tidak dilihat seorang pun: kemiskinan terparah, penyalahgunaan kekuasaan, penyiksaan, dan kematian. Aku menyaksikan perjanjian² di belakang layar antara para pemimpin utama Timur Tengah yang menjadi berita utama di seluruh dunia. Aku dipercaya dalam kalangan atas Hamas, dan aku juga berpartisipasi melakukan Intifada. Aku ditahan di penjara Israel yang paling ditakuti. Dan nantinya kalian akan lihat, aku menentukan pilihan² yang membuatku tampak sebagai pengkhianat di mata masyarakat yang kucintai.
Perjalanan hidupku yang tak lumrah telah membawaku ke tempat² gelap dan memberiku jalan masuk untuk mengetahui rahasia² besar. Dalam halaman² buku ini, aku akhirnya mengemukakan rahasia² yang lama tersembunyi, mengutarakan kejadian² dan proses² yang dulunya hanya diketahui oleh segelintir orang saja.
Mengungkapkan fakta seperti ini tampaknya akan membangkitkan gelombang kejut di sebagian Timur Tengah, tapi aku berharap hal ini akan mendatangkan ketenteraman bagi para keluarga koraban konflik yang tak berkesudahan ini.
Setelah pindah dan hidup bersama masyarakat Amerika sekarang, aku mengetahui banyak dari mereka yang bertanya-tanya tentang konflik Arab-Israel, tapi hanya sedikit jawaban² dan informasi yang tersedia. Ini contoh beberapa pertanyaan yang kudengar:
○ Kenapa sih mereka itu tidak bisa hidup rukun di Timur Tengah?
○ Siapa sih yang benar? Orang Israel atau orang Arab?
○ Yang punya tanah itu siapa sih sebenarnya? Mengapa orang² Palestina tidak pindah saja ke negara² Arab?
○ Mengapa Israel tidak menyerahkan kembali saja tanah dan harta milik yang mereka kuasai setelah menang di Perang Enam Hari di tahun 1967?
○ Mengapa masih banyak orang² Palestina yang hidup di kamp pengungsian? Kenapa mereka tidak bikin negara sendiri saja?
○ Mengapa sih orang² Palestina sangat membenci orang² Israel?
○ Bagaimana Israel melindungi diri mereka dari para pembom bunuh diri dan serangan roket yang terus-menerus?
Semua ini adalah pertanyaan² yang baik. Tapi tak ada satu pun yang menyentuh akar permasalahan. Konflik masa kini sebenarnya berkaitan dengan permusuhan antara Sarah dan Hagar yang dijabarkan di Kitab Kejadian di Alkitab. Akan tetapi, untuk mengetahui realita politik dan budaya Timur Tengah, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi setelah Perang Dunia I.
Ketika PD I berakhir, daerah Palestina, yang merupakan tempat tinggal bangsa Palestina selama beratus-ratus tahun, jatuh ke tangan kekuasaan Inggris. Pemerintah Inggris menentukan ketetapan aneh bagi daerah itu, yang tercantum dalam Deklarasi Balfour di tahun 1917: “Pemerintah sang Paduka menetapkan Palestina sebagai negara tempat tiinggal masyarakat Yahudi.”
Karena terdorong keputusan Pemerintah Inggris tersebut, maka ratusan ribu imigran Yahudi, terutama dari Eropa Timur, datang membanjiri daerah² Palestina. Setelah itu, pertikaian antara orang² Arab dan Yahudi tidak terhindari lagi.
Israel menjadi negara berdaulat di tahun 1948. Akan tetapi, daerah Palestina tetap tak punya kedaulatan. Tanpa adanya hukum negara yang berkuasa mengatur, maka yang jadi hukum tertinggi adalah hukum agama. Dan jika setiap orang bebas mengartikan dan memaksakan hukum seenaknya, maka terjadilah kekacauan. Bagi dunia luar, konflik Timur Tengah tak lain adalah adu tarik tambang memperebutkan tanah sejengkal saja. Tapi masalah sebenarnya adalah tiada seorang pun yang mengetahui akar permasalahan. Karena itulah, para negosiator dari Camp David sampai Oslo dengan penuh percaya diri terus memlintir kaki dan tangan pasien yang menderita sakit jantung.
Harap mengerti bahwa aku tidak lebih cerdas daripada para pemikir besar dunia. Aku sama sekali tidak. Tapi aku percaya bahwa Tuhan telah memberiku sudut pandang yang unik dengan cara meletakkan diriku di berbagai pihak yang tengah menghadapi konflik yang seakan tak terpecahkan. Hidupku terpecah-belah bagaikan tanah kecil di Timur Tengah yang dikenal dengan nama Israel bagi sebagian orang, atau dengan nama Palestina bagi orang lain, atau tanah terjajah bagi pihak lain lagi.
Tujuanku adalah untuk menjelaskan dengan benar kejadian² penting, mengungkapkan rahasia², dan jika semua berlangsung dengan baik, maka kau akan mempunyai harapan bahwa hal yang mustahil akan bisa terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar