Kamis, 29 April 2010

Bab 7 – Radikal

1990-1992

Di bulan Agustus 1990, ketika ayahku dipenjara untuk ketigakalinya, Saddam Hussein menyerang Kuwait.

Orang² Palestina bagaikan gila karena kesenangan. Setiap orang berlarian ke jalanan, bersorak-sorai, dan mencoba melihat apakah ada misil yang turun bagaikan hujan ke Israel. Akhirnya saudara² Arab kami datang untuk menyelamatkan kami! Mereka akan menghajar keras Israel, tepat di jantungnya. Tak lama lagi kami akan merdeka!

Karena memperhitungkan kemungkinan terjadi serangan gas beracun seperti yang dilakukan Saddam terhadap 5.000 orang Kurdi di thaun 1988, maka Pemerintah Israel memberikan masker gas bagi setiap warga Israel. Tapi orang² Palestina hanya menerima satu masker gas untuk setiap rumah. Ibuku mendapat satu, tapi tujuh anak²nya tak punya perlindungan apapun. Maka kami mencoba bersikap kreatif dengan membuat masker sendiri. Kami juga membeli kain nylon dan menempelkannya di pintu² dan jendela² dengan plester. Tapi di pagi harinya, kelembaban udara menyebabkan semua plester terkelupas.

Kami terus menonton siaran TV Israel, dan kami bersorak setiap kali ada peringatan akan datangnya rudal² Iraq. Kami naik ke atas atap rumah untuk melihat rudal² Scud Iraq meledakkan Tel Aviv. Tapi kami tak melihat apapun.

Mungkin Al-Bireh bukanlah tempat yang tepat untuk melihat rudal, begitu pikirku. Aku lalu pergi ke rumah pamanku Daud di Al-Janiya, di mana kami bisa melihat jauh sampai ke Mediterania. Adik lakiku Sohayb ikut bersamaku. Dari atap rumah paman, kami melihat rudal yang pertama. Sebenarnya yang kami lihat hanyalah nyala api, tapi itu pun sudah menjadi pemandangan yang menakjubkan!

Ketika kami mendengar berita bahwa 40 rudal Scud mencapai Israel dan hanya 2 orang Israel yang terbunuh, kami sangat yakin bahwa Pemerintah Israel berdusta. Tapi ternyata kabar itu memang benar. Ketika Iraq berusaha membuat rudal meluncur dalam jangka panjang, maka rudal jadi kehilangan kekuatan dan akurasi tembakan.

Kami tetap tinggal di rumah paman Daud sampai tentara PBB mengusir Saddam Hussein balik ke Baghdad. Aku marah dan sangat kecewa.

“Mengapa perang ini selesai? Israel kan belum hancur? Ayahku juga masih berada di penjara Israel. Tentara Iraq masih harus terus melontarkan rudal!”


Ya, semua warga Palestina kecewa. Setelah berpuluh tahun tinggal di tanah yang diduduki, perang akhirnya dilakukan, rudal² dilontarkan ke Israel. Tapi meskipun begitu, tetap saja tak ada perubahan.

Setelah Perang Teluk I selesai, ayahku dibebaskan dari penjara. Ibuku mengatakan padanya bahwa dia ingin menjual mahar nikahnya untuk membeli sepetak tanah dan mendapat pinjaman untuk membangun rumah kami sendiri. Selama ini kami meminjam rumah saja, dan setiap kali ayah dipenjara, pemilik rumah berlaku curang dalam penagihan dan bersikap kasar terhadap ibu.

Ayahku terharu karena ibu rela menjual apa yang sangat berharga baginya, tapi dia juga khawatir tidak bisa terus membayar uang pinjaman karena dia bisa dipenjara lagi setiap saat. Meskipun begitu, mereka mengambil keputusan untuk membeli tanah dan membangun rumah di tahun 1992, dan di rumah inilah keluarga kami masih tinggal sampai hari ini di Betunia, dekat Ramallah. Saat itu aku berusia 14 tahun.

Kekerasan di Betunia tidaklah sehebat di Al-Bireh atau Ramallah. Aku mengunjungi mesjid dekat rumah kami yang baru dan ikut bergabung dalam jalsa, yakni kelompok yang menekankan penghafalan Qur’an dan mengajar kita prinsip² yang dianggap para pemimpin Islam akan mampu mendirikan negara Islam dunia.

Beberapa bulan setelah kami pindah, ayahku ditangkap lagi. Seringkali dia tidak didakwa dengan tuduhan tertentu. Karena kami sedang diduduki, hukum darurat mengijinkan Pemerintah Israel menangkap orang² yang dianggap terlibat dalam terorisme. Sebagai pemimpin rohani dan politik, ayahku jadi sasaran empuk.

Tampaknya ini jadi pola yang sama – dan meskipun kami dulu tidak menyadarinya, pola tangkap, lepaskan, dan tangkap lagi akan terus berlangsung selama bertahun-tahun, dan membuat jarak ayah dan keluarga kami semakin renggang. Di saat yang sama, Hamas juga jadi semakin ganas dan agresif karena anggota² muda Hamas menekan para ketua untuk melakukan lebih banyak penyerangan.

“Orang² Israel membunuhi anak² kita!” teriak mereka. “Kami melempar batu, dan mereka menembak kita dengan senapan. Kita sekarang sedang diduduki. PBB dan seluruh badan internasional, setiap orang merdeka di bumi mengakui hak kita untuk berperang. Allâh SAW sendiri mewajibkan kita untuk melakukan itu. Kenapa kita harus menunggu lagi?”

Pada umumnya, serangan² yang dilakukan selama ini dilakukan oleh pribadi² saja, dan tidak diorganisasi. Para pemimpin Hamas tidak punya kontrol atas anggotanya yang punya keinginan sendiri. Tujuan ayahku adalah kemerdekaan Islamiah, dan dia yakin bahwa dia wajib memerangi Israel untuk mendapatkan kemerdekaan. Tapi bagi para pemuda ini, berperang merupakan tujuan akhir mereka dan bukan untuk mengakhiri sesuatu.

Tepi Barat jadi sangat berbahaya, tapi terlebih lagi Gaza. Karena posisi geografisnya, pengaruh yang mendominasi Gaza adalah Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) fundamentalis di Mesir. Gaza adalah salah satu daerah terpadat di dunia – luas kamp penampungan ini tak lebih daripada 139 mil persegi dengan penghuni sebanyak lebih dari sejuta orang.

Para keluarga menggantungkan dokumen² pemilikan tanah dan kunci² rumah di tembok² mereka sebagai bukti bisa dan untuk mengingatkan tiap hari bahwa mereka dulu punya rumah dan pertanian yang bagus – ini adalah harta milik yang dirampas oleh pihak Israel setelah perang² terdahulu. Tempat ini merupakan tempat yang ideal untuk merekrut orang² baru. Para penduduk Gaza punya motivasai dan tekad besar. Mereka tidak hanya ditindas oleh orang² Israel saja, tapi juga oleh orang² Palestina – masyarakat mereka sendiri – yang memandang mereka sebagai warga kelas dua. Malah sebenarnya mereka dianggap sebagai pengganggu saja, karena kamp penampungan ini dibangun di tanah milik orang lain.

Kebanyakan para pemuda Hamas yang tak sabar berasal dari kamp² penampungan. Diantara mereka adalah Imad Akel. Imad adalah anak termuda dari tiga anak laki bersaudara. Imad sedang kuliah untuk jadi seorang farmasis ketika dia akhirnya merasa muak akan ketidakadilan dan merasa putus asa. Dia mengambil senjata dan menembak beberapa prajurit Israel, dan mengambil senjata mereka. Orang² lain lalu mengikuti perbuatannya, dan pengaruh Imad semakin besar. Sambil melakukan serangan sendiri tanpa perintah siapapun, Imad membentuk kelompok militer kecil dan pergi ke Tepi Barat, yang memiliki lebih banyak target serangan dan tempat lebih luas untuk bergerak. Aku tahu dari percakapan orang di kota itu bahwa Hamas sangat bangga akan dirinya, meskipun dia tidak punya kedudukan apapun dalam Hamas. Para pemimpin Hamas tidak mau kegiatannya bercampur dengan kegiatan Hamas. Karena itu mereka membentuk sayap militer bernama Brigade Ezzedem Al-Qassam yang diketuai oleh Imad. Tak lama kemudian dia menjadi orang Palestina yang paling dicari Israel.

Hamas sekarang bersenjata. Karena sekarang senapan² dengan cepat mengganti batu, tulisan grafiti, dan bom molotov, Israel menghadapi persoalan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Jika dulu serangan PLO datang dari Yordania, Lebanon, dan Syria, sekarang serangan datang dari dalam daerah Israel sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar