Senin, 13 Desember 2010

DUA HADIAH TAK TERNILAI - Gratis untuk Anda!!!

Sebagai hadiah tutup tahun 2010,
kami mau membagikan dua buah
lukisan-langka secara on-line, tanpa pamrih

(A). Lukisan wajah nabi Muhammad remaja
Dilukis oleh seorang pelukis Muslim terkenal yang tinggal di Iran. Pelukis menjual gambarnya on-line, dan sebagian Muslim marah karena lukisan tersebut dianggap menghujat Nabi. Namun sebagian lainnya menganggap itu bukan penghinaan, karena remaja Muhammad hanyalah remaja biasa, ia belum didatangi malaikat Jibril yang menurunkan wahyu Allah, sehingga ia belumlah seorang nabi disaat tersebut.

(B). Lukisan nabi Muhammad sedang bergandengan tangan dengan para nabi lainnya

Nabi Muhammad bergandengan dengan Krisna (?) dan Kong Hu Cu, yang bergandengan dengan Yesus, Budha, Socrates, dan Lao-Tzu. Ini mungkin ingin merepresentasikan pernyataan nabi Muhammad bahwa Allah menempatkan 124.000 nabi yang tersebar disetiap bangsa. Sekaligus menggambarkan sebuah “religious harmony” yang paling diimpikan dunia. Siapa yang akan keberatan?

KETENTUAN REQUEST: Setiap orang yang meminta lukisan-langka ini harus menyampaikan permohonannya dengan mengirimkan komentar bebas yang ditujukan ke: gift.tutuptahun@gmail.com
Komentar bebasnya terhadap keterangan lukisan (A) dan (B) di atas, maximum @ 120 kata.
Note: Tawaran ditutup akhir tahun 2010. Hadiah akan dikirim diawal tahun baru.

Sabtu, 27 November 2010

Anda Ada Bukan Karena Kebetulan

Anda ada bukan karena kebetulan. Kelahiran Anda bukanlah suatu kesalahan atau kesialan, dan kehidupan Anda bukanlah yang tidak diharapkan alam. Orangtua Anda mungkin tidak merencanakan keberadaan Anda, tetapi Tuhan Elohim merencanakannya. Dia tidak terkejut sama sekali dengan kelahiran Anda. Sesungguhnya, Dia mengharapkannya.

Jauh sebelum Anda ada dalam benak orangtua Anda, Anda sudah ada dalam pikiran Elohim. Dia memikirkan Anda terlebih dulu. Bukan karena nasib, bukan karena kesempatan, bukan karena keberuntungan, juga bukan karena kebetulan, Anda bernafas saat ini. Anda hidup karena Elohim ingin menciptakan Anda!

Alkitab berkata, “Tuhan akan menggenapi tujuan-Nya bagiku.”

Baca selanjutnya:

http://www.buktisaksi.com/2010/11/Anda-Ada-Bukan-Karena-Kebetulan

Selasa, 23 November 2010

22.000 TKI Disiksa Majikan: Menanti fatwa MUI dan aksi FPI!

Download file asli: http://bit.ly/eVy0hu

Ngomong-ngomong, Mana nech Fatwa MUI dan Aksi FPI di Kedubes Arab Saudi dan Malaysia untuk Aksi Kemanusiaan Membela para TKW kita di negeri Syariah (Malaysia dan Arab Saudi, dll). FPI TERDIAM dan JADI MACAN OMPONG karena tahu Arab Saudi NEGERI PALING ISLAMI di muka bumi namun ternyata yang PALING BEJAD dalam perlakuan terhadap Para TKW. Ayo MUI beranikah dirimu menerbitkan fatwa KUTUKAN bagi Negara Arab Saudi, dan Menghentikan semua kegiatan NAIK HAJI dan UMROH kontingen Indonesia Sampai Batas Waktu yang Tidak ditentukan demi SOLIDARITAS dan MEMBELA Para TKW kita di Negeri JIRAN dan NEGERI SYARIAH, NEGERI yang bikin NGERI…… Perlakuan yang lebih buruk dari zaman Jahiliah terhadap MANUSIA…… Mana Nyalimu MUI dan FPI???????? Apa benar kata orang bahwa hanya ONENG saja yang SANGAT peduli akan Nasib TKW kita??????

Senin, 22 November 2010

Hukum Kemurtadan Dalam Islam Harus Diubah

Oleh Rev. Bassam M. Madany

Dalam sejarah Islam paling awal, posisi seorang radikal akan mengeras terhadap siapa pun yang berani berpaling dari iman Muslimnya. Posisi radikal seperti ini pada awalnya bersumber dari peristiwa ketika beberapa suku Arab dari Islam Umma, memberontak serta meninggalkan Islam ketika mendengar berita bahwa Muhammad telah meninggal.

Pada musim panas tahun 632 AD, Abu Bakr, kalifah pertama, dan ayah dari isteri favorit Nabi, yaitu Aisha, melaksanakan serangan militer terhadap para pemberontak itu dan memaksa mereka untuk kembali menjadi pemeluk Islam. Serangan Abu Bakr, dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan Huroob al-Radda, atau “peperangan melawan kemurtadan.”

Baca selanjutnya:

https://www.buktisaksi.com/files/Resources/articles/Hukum%20Kemurtadan%20Dalam%20Islam%20Harus%20Diubah.pdf

Senin, 15 November 2010

Kelompok Ultra Kanan Jerman Terus Kampanyekan Penolakan Masjid Koln

Perisai.net - KELOMPOK ultra kanan Jerman terus mengkampanyekan penolakan terhadap pembangunan Masjid Koln (Cologne). Kelompok ini bahkan telah menjalin aliansi dengan sebuah partai yang memiliki aliran politik serupa di Austria, Far-Right Freedom Party (FPO).

Masjid Koln itu kelak juga akan dijadikan pusat budaya Turki. Pembangunan masjid yang didisain futuristik ini sekarang masih berlangsung.

Kelompok ultra kanan ini berdalih, pembangunan masjid itu hanya memperkecil kemungkinan terjadinya integrasi antara kalangan imigran yang mayoritas berasal dari Turki dengan masyarakat Jerman.


Senin, 08 November 2010

Islam Adalah Gerakan Militan, Bukan Agama

Perisai.net - PENGACARA dari penentang rencana masjid di Murfreesboro, Tennessee, pada hari Kamis (21/10) berusaha menggunakan informasi internet yang tidak terverifikasi untuk membuktikan bahwa ada motif militan di balik proyek itu.

Penggugat menuntut Rutherford County, mengklaim bahwa masyarakat tidak mendapat cukup pemberitahuan tentang pertemuan di mana rencana ekspansi Islamic Center Murfreesboro disetujui.

Kesaksian itu muncul di tengah memanasnya perdebatan nasional tentang sebuah calon masjid di dekat lokasi serangan 11 September di New York.

Kesaksian pada hari Kamis itu melanjutkan upaya penggugat untuk membuktikan bahwa Islam bukan sebuah agama, tapi sebuah gerakan militan yang berusaha untuk memaksakan aturan hukum moralnya di AS.


Sabtu, 06 November 2010

Sajadah Bergambar Salib Hebohkan Warga Saudi

Perisai.net - WARGA Saudi geger dan meminta segera pihak berwenang Saudi menghentikan penjualan karpet sajadah di kota Mekkah, setelah seorang warga menemukan lambang salib dari sajadah yang ia beli.Seorang warga yang bernama Mansur mengatakan: "Saya baru membeli sajadah dari penjual yang terletak di sebelah masjidil Haram Mekkah, namun saya terkejut ketika saya melihat ada gambar salib di tengah sajadah tersebut dan heran kenapa barang seperti ini bisa lolos memasuki wilayah kerajaan Saudi tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu."

Mansur juga menyatakan bahwa sesuatu yang aneh dan tidak lazim jika harus sujud di atas sajadah yang sajadah tersebut ada gambar salibnya. Masih belum jelas apakah sajadah yang bergambar salib tersebut memang sengaja diproduksi dengan ada gambar salibnya atau hanya kesalahan cetak.

Gambar salib sangat kentara terlihat di sajadah yang menghebohkan tersebut. Sajadah itu bergambar masjid lengkap dengan menaranya dan tepat ditengah pintu masjid tergambar jelas salib yang merupakan lambang kekristenan.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Perzinahan Zainuddin MZ: Kiai Sejuta Umat

Jakarta Pedangdut Aida Saskia yang mengaku keperawanannya direnggut oleh Zainuddin MZ akan melaporkan dai sejuta umat itu ke polisi. Aida berencana lapor setelah kejadian itu berlalu 9 tahun. Kenapa baru sekarang?

Aida menuturkan, dirinya sempat memendam sendiri mengenai peristiwa yang dialaminya bersama Zainuddin itu. Stres pun melandanya sampai ia ingin bunuh diri.

Orangtua Aida yang curiga pada perilaku putri mereka mencoba menguak apa yang dialami oleh pelantun ‘Ayam Jago’ itu. Akhirnya Aida pun mengungkapkan kalau Zainuddin MZ telah merenggut keperawanannya di sebuah villa di Puncak, Bogor. Saat itu usianya baru 16 tahun.

Aida baru berani bicara kepada kedua orangtuanya mengenai peristiwa tersebut tiga tahun lalu. Saat itu ayah Aida langsung menghubungi dai asal Jakarta itu.

“Papa menghubungi tangan kanan Zainuddin. Akhirnya meminta kita ketemu di suatu tempat. Mediatornya namanya Yudha, tapi sekarang sudah meninggal,” kisah Aida saat berbincang dengan detikhot melalui telepon, Senin (11/10/2010).

Dalam pertemuan itu, Zainuddin sempat mengajak Aida menikah. Namun saat itu perempuan 25 tahun itu menolak.

“Saya ini punya keluarga, ayah, ibu dan adik-adik. Saya memikirkan bagaimana perasaan mereka kalau papa saya diambil sama perempuan lain. Saya tidak mau merebut suami orang. Apa iya saya mau menyerahkan diri ke orang setua dia,” tutur Aida berapi-api.

Dalam pertemuan dengan orangtua Aida itu, Zainuddin juga sempat minta maaf dan mengakui dirinya khilaf. Ia pun berjanji sebagai bentuk tanggung jawabnya akan memberikan Aida rumah, mobil dan sebuah usaha.

“Untuk masalah keperawanan, dia sempat mengajak saya operasi keperawanan. Katanya dia punya kenalan dokter,” beber Aida lagi.

Saat itu Aida pun menunggu janji dai 59 tahun itu. Zainuddin pun berjanji akan minta maaf ke keluarga besarnya.

Tiga tahun berlalu pasca permintaan maafnya pada orangtua Aida, Zainuddin tidak kunjung merealisasikan janjinya. Aida pun merasa telah dipermainkan. Apalagi akhir-akhir ini dai yang pernah aktif di Partai Bintang Reformasi itu kembali muncul di televisi.

“Perasaan dan batin saya yang tidak bisa terima bahwa dia selalu ceramah tentang perzinahan dan dia juga pernah berceramah tentang perkosaan anak di bawah umur. Kok bisa yah dia ceramah tentang apa yang sudah dia lakukan dan aku rasa itu tidak pantas didengar oleh seluruh umat dia,” urainya.

Makanya kini Aida mau buka suara soal apa yang dialaminya bersama Zainuddin. Ia pun minta pada dai yang pernah kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah itu agar mengakui perbuatannya dan meminta maaf.

Cukupkah pengakuan dan permintaan maaf Zainuddin itu untuk Aida? “Dengan pemberitaan ini saja dia sudah hancur. Sebagai sesama umat Islam, apa salahnya memaafkan dan dia harus memenuhi janjinya,” tandasnya.(eny/mmu)

Selasa, 26 Oktober 2010

Apakah Islam dan Syariah Lebih Memiliki Kemiripan Dengan Ideologi Nazi Daripada Agama?

Sejak aksi keji yang dilakukan oleh para teroris Muslim dari Timur Tengah pada tanggal 11 September 2001 atas nama Islam, masyarakat Amerika Serikat dan Barat memperdebatkan apakah Islam adalah “Sebuah agama damai” atau lebih sebagai sebuah ideologi totalitarian yang dibungkus dengan jubah agama. Sayangnya, terlihat bahwa Qur’an, Syariah, dan serangan teroris Islam dalam kurun waktu tiga puluh tahun terakhir, mengindikasikan bahwa Islam benar-benar merupakan sebuah ideologi totalitarian yang terlibat dalam usaha untuk menaklukkan seluruh dunia, sama seperti yang pernah dilakukan oleh Naziisme. Perbedaan utama adalah, jika Nazi didasarkan pada afiliasi rasial – Islam didasarkan pada afiliasi religius.

Apakah Islam dan Syariah Lebih Memiliki Kesamaan Dengan Ideologi Nazi Daripada Dengan Agama? Atau “Islam Uber Alles”


Selasa, 19 Oktober 2010

Geertz Wilders: Berpidato di Berlin

Para Sahabat yang kekasih,

Saya sangat senang berada di Berlin pada hari ini. Seperti yang saudara-saudara ketahui, undangan yang disampaikan kepada saya oleh sahabat saya René Stadtkewitz, telah mengakibatkan ia kehilangan keanggotaannya di kelompok CDU di Parlemen Berlin. Namun demikian, René tidak menyerah terhadap tekanan itu. Ia tidak mengkhianati keyakinan-keyakinannya. Pemecatannya tersebut telah mendorongnya untuk mendirikan sebuah partai politik baru. Saya mengucapkan selamat padanya dan mendoakannya agar mendapatkan semua yang terbaik. Seperti yang telah saudara-saudara dengar, beberapa minggu terakhir ini saya sangat sibuk. Pada awal minggu ini kami berhasil membentuk sebuah pemerintahan minoritas yang terdiri dari kaum liberal dan Kristen demokrat yang akan didukung oleh partai saya. Ini adalah sebuah peristiwa yang bersejarah bagi negara Belanda. Saya sangat bangga karena saya juga telah membantu hingga ini dapat terwujud. Pada saat ini juga konferensi partai Kristen Demokrat sedang memutuskan apakah mereka akan menyetujui koalisi ini atau tidak. Jika mereka menyetujuinya, kita akan dapat membangun kembali negara kita, memelihara identitas nasional kita dan memberikan masa depan yang lebih baik kepada anak-anak kita.


Jumat, 10 September 2010

Pemerintah Cina Menangkap Empat Orang Muslim Setelah Serangan Bom Jihad

Tidak diragukan lagi ada kemarahan atas penentangan terhadap rencana pembangunan Mega-Mesjid yang melambangkan supremasi Islam di Ground Zero. Inilah alasan mengapa orang-orang Muslim seperti Reza Aslan mendidih dengan kemarahan hari-hari ini, bukankah demikian? Atau apakah karena serangan Israel terhadap Gaza? Tidak, itu adalah kemarahan tahun lalu. Apakah anda mencatatnya – sebagaimana yang seringkali saya perlihatkan – bahwa meskipun alasan selalu berbeda, tetapi kemarahan, dan hasil dari jihad itu selalu bersifat konstan? “Polisi menangkap empat orang setelah terjadinya serangan bom di wilayah Barat Cina yang banyak dihuni oleh orang-orang Muslim,” demikian laporan Associated Press, tertanggal 25 Agustus 2010.

Selasa, 31 Agustus 2010

Heboh Film Iran: Tiru film Yesus, Nabi Muhammad Diperankan Aktor Film

Setelah sukses menggarap lebih dari satu proyek film, kini sutradara asal Iran, Majid Majidi, berpacu dengan waktu untuk memproduksi film layar lebar tentang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan sejarah nabi secara umumnya. Namun langkahnya menghadapi banyak permasalahan dan benturan dengan beberapa fatwa. Fatwa yang terbaru dikeluarkan oleh Al-Azhar yang mengharamkan visualisasi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabat yang mulia. Meski demikian, sutradara Iran yang namanya meroket setelah menyutradarai film laris “Children of Heaven” ini tetap melakukan persiapan intensif untuk memfilmkan Nabi Muhammad. Babak pertama film tersebut memfokuskan kepada masa kecil Nabi sebelum usia dua belas tahun, lalu diikuti dengan serangkaian film yang memaparkan seluruh fase kehidupan Rasulullah yang mulia.

Jumat, 30 Juli 2010

Mengapa Geert Wilders Menjadi Seorang yang Sangat “Anti-Islam”?

Mengapa Geert Wilders “anti-Islam,” dan apa pesannya pada orang-orang Muslim?

Pejuang kebebasan Geert Wilders membuat sebuah pernyataan penting dan mencerahkan di MuslimsDebate.com: “Mengapa ia menjadi anti-Islam dan apa pesannya kepada orang-orang Muslim?”

Saya pertama kali mengunjungi sebuah negara Islam pada tahun 1982. Usia saya pada waktu itu 18 tahun dan saya bepergian dengan seorang teman keturunan Belanda dari Eilat di Israel, ke sebuah resort Laut Merah Mesir Sharm-el-Sheikh. Kami berdua bepergian dengan ransel dan uang kami sangat terbatas pada waktu itu. Saya masih ingat akan impresi pertama saya mengenai Mesir: saya takjub atas keramahan, sikap bersahabat dan suka menolong dari orang-orangnya.

Saya juga ingat impresi kedua yang kuat yang saya rasakan mengenai Mesir: Hal yang mengejutkan saya adalah bagaimana orang-orang yang sangat bersahabat dan ramah ini kemudian menjadi sangat ketakutan.

Selagi kami ada di Sharm el-Sheikh, President Mubarak mengunjungi tempat ini.

Kamis, 29 April 2010

Mosab Hassan Yousef

Oleh Mosab Hassan Yousef
Dibantu oleh Ron Brackin

Image

Kisah mencekam penuh teror, pengkhianatan, intrik politik, dan pilihan² yang tak terbayangkan.

Image
Mosab Hassan Yousef

Bagi yang tercinta ayahku dan keluargaku yang terluka
Bagi korban² perseteruan Palestina – Israel
Bagi setiap umat manusia yang telah diselamatkan oleh Tuhanku

Wahai keluargaku, aku sangat bangga dengan kalian; hanya Tuhanku saja yang mengetahui segala hal yang telah kalian alami. Aku menyadari bahwa apa yang telah kulakukan menyebabkan luka yang dalam yang mungkin tak akan bisa sembuh di masa hidup ini dan mungkin kalian harus hidup dengan rasa malu untuk selamanya.

Aku bisa saja jadi seorang pahlawan dan membuat masyarakatku bangga akan diriku. Aku tahu jenis pahlawan apa yang mereka inginkan: seorang pejuang yang membaktikan dirinya dan keluarganya bagi kepentingan negara. Jikalau aku terbunuh, maka mereka akan menyampaikan kisah diriku pada generasi mendatang dan mereka akan merasa bangga terhadap diriku untuk selamanya, tapi pada kenyataannya aku bukanlah pahlawan yang mereka harapkan.

Sebaliknya, aku telah jadi pengkhianat di mata bangsaku. Meskipun dulu aku pernah membuat kalian bangga akan diriku, sekarang aku hanya membawa malu saja. Meskipun dulu aku adalah seorang pangeran bagimu, sekarang aku adalah orang asing di negeri orang yang melawan kesepian dan kegelapan.

Aku tahu kalian memandang aku sebagai seorang pengkhianat; tapi mohon untuk mengerti bahwa aku tidak bermaksud berkhianat pada kalian, tapi aku berkhianat pada angan² kalian akan sosok seorang pahlawan. Ketika negara² Timur Tengah – Yahudi dan Arab – mulai mengerti apa yang kumengerti, maka akan timbul perdamaian. Dan jika Tuhanku telah ditolak karena menyelamatkan seluruh dunia dari hukuman neraka, maka aku tidak keberatan ditolak!

Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa datang, tapi aku tahu aku tidak merasa takut. Sekarang aku berikan apa yang menolong diriku untuk bisa selamat sampai sekarang: semua rasa bersalah dan rasa malu yang kutanggung selama bertahun-tahun hanyalah bayaran yang kecil saja jika semua ini bisa menyelamatkan bahkan satu nyawa seorang manusia saja.

Berapa banyak orang yang bisa menghargai apa yang telah kulakukan? Tidak banyak. Tapi itu tak jadi masalah. Aku percaya apa yang kulakukan dan aku tetap yakin sampai sekarang, dan keyakinan ini menjadi bahan bakar satu²nya bagiku dalam perjalanan panjang ini. Setiap tetesan darah orang tak berdosa yang berhasil diselamatkan dari kematian memberi harapan bagiku untuk terus berjuang sampai hari akhir.

Aku telah bayar, kau pun telah bayar, tapi tagihan perang dan damai terus berdatangan. Tuhan menyertai kita semua dan memberi apa yang kita butuhkan untuk menanggung beban berat ini.

Daftar Isi

Mosab Hassan Yousef
Peta Israel dan Daerah yang Diduduki
Sepatah Kata dari Penulis
Kata Pengantar

Bab 1 – Tertangkap
Bab 2 – Tangga Iman
Bab 3 – Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood)
Bab 4 – Melempar Batu
Bab 5 – Bertahan Hidup
Bab 6 – Kembalinya Seorang Pahlawan
Bab 7 – Radikal
Bab 8 – Mengipas Api
Bab 9 – Persenjataan
Bab 10 – Rumah Jagal
Bab 11 – Tawaran
Bab 12 – Nomer 823
Bab 13 – Jangan Percaya Siapapun
Bab 14 – Kekacauan di Penjara
Bab 15 – Jalan ke Damaskus
Bab 16 – Intifada Kedua
Bab 17 – Tugas Rahasia
Bab 18 – Orang yang Paling Dicari
Bab 19 – Sepatu-Sepatu
Bab 20 – Duri
Bab 21 – Permainan
Bab 22 – Perisai Pertahanan
Bab 23 – Perlindungan Illahi
Bab 24 – Tahanan yang Dilindungi
Bab 25 – Saleh
Bab 26 – Pandangan bagi Hamas
Bab 27 – Selamat Tinggal

Bagian Akhir
Catatan Tambahan
Waktu Kejadian
INFO

Peta Israel

Image
Peta Israel dan Daerah yang Diduduki.

Sepatah Kata dari Penulis

Waktu adalah tahapan – bagaikan sebuah benang yang merentang diantara jarak kelahiran dan kematian.

Akan tetapi, kejadian² adalah bagaikan sebuah permadani Persia – ribuan benang kaya warna tersulam membentuk pola dan gambar. Usaha apapun yang mencoba menyusun kejadian² dalam sekedar urutan kronologi belaka adalah bagaikan menguraikan benang² permadani dan merentangkannya jadi satu baris. Benang itu jadi tampak sederhana, tapi hilang sudah semua desain permadani yang utuh.

Kejadian² dalam buku ini adalah hasil terbaik usahaku mengingat ulang, dimulai dari pengalamanku saat ditawan di daerah yang dikuasai Israel. Peristiwa² yang terjadi kemudian terjalin bersama secara berurutan dan berhubungan satu sama lain.

Untuk memberikan referensi dan penjelasan nama² dan istilah² Arab, aku mencantumkan urutan waktu singkat di bagian Apendix, juga kamus, dan daftar para tokoh pelaku.

Karena alasan keamanan, aku sengaja tidak mencantumkan keterangan terinci tentang berbagai operasi rahasia yang dilakukan oleh Badan Keamanan Israel, yakni Shin Bet. Keterangan di buku ini tidak akan membahayakan perang global yang tengah berlangsung melawan terorisme, di mana Israel memerankan peranan utama.

Akhirnya, buku Son of Hamas, sama seperti Timur Tengah, adalah kisah yang terus berlanjut. Aku undang kalian untuk berhubungan denganku di blog-ku yakni http://www.sonofhamas.com, di mana aku akan membagi pandangan²ku tentang perkembangan berbagai daerah. Aku juga akan mencantumkan apa yang Tuhan lakukan dengan bukuku, keluargaku, dan bagaimana Dia membimbingku saat ini.

MHY.

Kata Pengantar

Perdamaian di Timur Tengah telah jadi tujuan suci bagi para diplomat, perdana menteri, dan presiden selama lebih dari lima dasawarsa. Setiap wajah baru di panggung dunia mengira dia akan jadi orang yang berhasil memecahkan konflik Arab-Israel. Dan satu per satu gagal total sama seperti orang² yang dahulu telah mencoba.

Faktanya adalah, hanya segelintir orang² Barat yang bisa mengerti kepelikan Timur Tengah dan masyarakatnya. Tapi aku mengenal mereka – melalui latar belakangku yang unik. Aku adalah putra daerah di mana konflik itu terjadi. Aku adalah putra Islam, dan anak dari seseorang yang dituduh sebagai seorang teroris. Aku juga pengikut Yesus.

Sebelum usia 21 tahun, aku sudah melihat hal² yang seharusnya tidak dilihat seorang pun: kemiskinan terparah, penyalahgunaan kekuasaan, penyiksaan, dan kematian. Aku menyaksikan perjanjian² di belakang layar antara para pemimpin utama Timur Tengah yang menjadi berita utama di seluruh dunia. Aku dipercaya dalam kalangan atas Hamas, dan aku juga berpartisipasi melakukan Intifada. Aku ditahan di penjara Israel yang paling ditakuti. Dan nantinya kalian akan lihat, aku menentukan pilihan² yang membuatku tampak sebagai pengkhianat di mata masyarakat yang kucintai.

Perjalanan hidupku yang tak lumrah telah membawaku ke tempat² gelap dan memberiku jalan masuk untuk mengetahui rahasia² besar. Dalam halaman² buku ini, aku akhirnya mengemukakan rahasia² yang lama tersembunyi, mengutarakan kejadian² dan proses² yang dulunya hanya diketahui oleh segelintir orang saja.

Mengungkapkan fakta seperti ini tampaknya akan membangkitkan gelombang kejut di sebagian Timur Tengah, tapi aku berharap hal ini akan mendatangkan ketenteraman bagi para keluarga koraban konflik yang tak berkesudahan ini.

Setelah pindah dan hidup bersama masyarakat Amerika sekarang, aku mengetahui banyak dari mereka yang bertanya-tanya tentang konflik Arab-Israel, tapi hanya sedikit jawaban² dan informasi yang tersedia. Ini contoh beberapa pertanyaan yang kudengar:

○ Kenapa sih mereka itu tidak bisa hidup rukun di Timur Tengah?
○ Siapa sih yang benar? Orang Israel atau orang Arab?
○ Yang punya tanah itu siapa sih sebenarnya? Mengapa orang² Palestina tidak pindah saja ke negara² Arab?
○ Mengapa Israel tidak menyerahkan kembali saja tanah dan harta milik yang mereka kuasai setelah menang di Perang Enam Hari di tahun 1967?
○ Mengapa masih banyak orang² Palestina yang hidup di kamp pengungsian? Kenapa mereka tidak bikin negara sendiri saja?
○ Mengapa sih orang² Palestina sangat membenci orang² Israel?
○ Bagaimana Israel melindungi diri mereka dari para pembom bunuh diri dan serangan roket yang terus-menerus?

Semua ini adalah pertanyaan² yang baik. Tapi tak ada satu pun yang menyentuh akar permasalahan. Konflik masa kini sebenarnya berkaitan dengan permusuhan antara Sarah dan Hagar yang dijabarkan di Kitab Kejadian di Alkitab. Akan tetapi, untuk mengetahui realita politik dan budaya Timur Tengah, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi setelah Perang Dunia I.

Ketika PD I berakhir, daerah Palestina, yang merupakan tempat tinggal bangsa Palestina selama beratus-ratus tahun, jatuh ke tangan kekuasaan Inggris. Pemerintah Inggris menentukan ketetapan aneh bagi daerah itu, yang tercantum dalam Deklarasi Balfour di tahun 1917: “Pemerintah sang Paduka menetapkan Palestina sebagai negara tempat tiinggal masyarakat Yahudi.”

Karena terdorong keputusan Pemerintah Inggris tersebut, maka ratusan ribu imigran Yahudi, terutama dari Eropa Timur, datang membanjiri daerah² Palestina. Setelah itu, pertikaian antara orang² Arab dan Yahudi tidak terhindari lagi.

Israel menjadi negara berdaulat di tahun 1948. Akan tetapi, daerah Palestina tetap tak punya kedaulatan. Tanpa adanya hukum negara yang berkuasa mengatur, maka yang jadi hukum tertinggi adalah hukum agama. Dan jika setiap orang bebas mengartikan dan memaksakan hukum seenaknya, maka terjadilah kekacauan. Bagi dunia luar, konflik Timur Tengah tak lain adalah adu tarik tambang memperebutkan tanah sejengkal saja. Tapi masalah sebenarnya adalah tiada seorang pun yang mengetahui akar permasalahan. Karena itulah, para negosiator dari Camp David sampai Oslo dengan penuh percaya diri terus memlintir kaki dan tangan pasien yang menderita sakit jantung.

Harap mengerti bahwa aku tidak lebih cerdas daripada para pemikir besar dunia. Aku sama sekali tidak. Tapi aku percaya bahwa Tuhan telah memberiku sudut pandang yang unik dengan cara meletakkan diriku di berbagai pihak yang tengah menghadapi konflik yang seakan tak terpecahkan. Hidupku terpecah-belah bagaikan tanah kecil di Timur Tengah yang dikenal dengan nama Israel bagi sebagian orang, atau dengan nama Palestina bagi orang lain, atau tanah terjajah bagi pihak lain lagi.

Tujuanku adalah untuk menjelaskan dengan benar kejadian² penting, mengungkapkan rahasia², dan jika semua berlangsung dengan baik, maka kau akan mempunyai harapan bahwa hal yang mustahil akan bisa terjadi.

Bab 1 – Tertangkap

1996

Aku mengemudikan mobil Subaru putihku yang kecil di sudut jalan sempit yang menuju ke jalan bebas hambatan di luar kota Tepi Barat Ramallah. Dengan menginjak pedal rem perlahan, aku mendekati satu pos pemeriksaan yang terdapat di sepanjang jalanan ke dan dari Yerusalem.

“Matikan mesin! Hentikan mobil!” seseorang berteriak dalam bahasa Arab yang kurang baik.

Tanpa peringatan apapun, enam prajurit Israel meloncat keluar dari semak tempat persembunyian dan menghalangi mobilku, setiap orang membawa senapan otomatis, dan setiap senapan ditodongkan langsung pada kepalaku.

Rasa panik mencekik tenggorokanku. Aku hentikan mobil dan melempar kunci mobil ke luar jendela.

“Keluar! Keluar!”

Tanpa menunda lagi, salah seorang prajurit membuka pintu dan melemparkan aku ke tanah berdebu. Aku tidak sempat melindungi wajahku ketika pemukulan dilakukan. Tapi meskipun aku mencoba melindungi mukaku, sepatu² bot prajurit yang berat dengan cepat menemukan target lain: iga, ginjal, punggung, leher, kepala.

Dua dari mereka menyeretku dan memasukkanku ke dalam pos pemeriksaan, di mana aku dipaksa berlutut di belakang barikade yang terbuat dari semen. Tanganku diikat di belakang punggung dengan tali plastik tajam yang diikat terlalu erat. Seseorang lalu menutup mataku dan mendorongku masuk ke dalam sebuah jip dan jatuh ke lantai. Rasa takut bercampur marah kurasakan sewaktu aku bertanya-tanya kemanakah mereka akan membawaku dan berapa lama aku akan berada di sana. Aku hampir mencapai usia 18 tahun dan dua minggu lagi akan menjalani ujian akhir SMA. Apakah yang akan terjadi padaku?

Setelah perjalanan singkat, mobil Jeep itu berhenti. Seorang prajurit menarik diriku keluar dari bagian belakang Jeep dan membuka penutup mataku. Sambil memicingkan mata karena silau cahaya matahari, aku menyadari bahwa aku berada di Pusat Tentara Ofer. Tempat ini adalah pusat pertahanan militer Israel, dan Ofer merupakan fasilitas militer terbesar dan terketat di seluruh Tepi Barat.

Sewaktu kami berjalan ke bangunan utama, kami melewati beberapa tank bersenjata, yang ditutupi kanvas. Tank raksasa ini selalu membuatku ingin tahu setiap kali melihatnya dari luar daerah militer Israel. Tank² ini tampak seperti batu raksasa yang sangat besar.

Setelah berada di dalam gedung, kami bertemu dengan seorang dokter yang memeriksaku dengan cepat, untuk memastikan apakah aku mampu menanggulangi pemeriksaan keras. Tampaknya aku lulus karena dalam beberapa menit saja tanganku diikat dan mataku ditutup lagi, dan aku lalu didorong kembali masuk Jeep.

Tempatku berbaring kecil sekali, hanya cukup untuk kaki orang. Ketika aku berusaha menggerakkan badanku di tempat kecil itu, seorang prajurit kekar meletakkan sepatu botnya di pinggangku dan menekankan laras senjata M 16-nya pada dadaku. Uap bensin panas yang memenuhi bagian lantai Jeep menyesakkan tenggorokanku. Setiap kali aku berusaha menyesuaikan diri di tempat kecil tersebut, prajurit itu menekankan laras senjatanya lebih dalam ke dadaku.

Tanpa peringatan apapun, rasa sakit menusuk tajam di seluruh tubuhku dan membuat jari² kakiku mengejang kaku. Rasanya bagaikan sebuah roket meledakkan kepalaku. Pukulan di kepala ini datang dari bagian tempat duduk depan, dan aku lalu mengetahui bahwa salah satu prajurit tentunya telah menggunakan popor senapan untuk memukul kepalaku. Sebelum aku mampu melindungi diriku, dia memukulku lagi lebih keras di bagian mata. Aku mencoba menghindar dari jangkauannya tapi prajurit yang menggunakan tubuhku sebagai alas kakinya menarikku ke depan.

“Jangan bergerak atau aku tembak kamu!” bentaknya.

Tapi aku tidak bisa tak bergerak. Setiap kali temannya memukulku, tubuhku terhentak ke belakang dengan sendirinya.

Di bawah kain penutup, mataku mulai membengkak, dan mukaku terasa beku. Aku tidak merasa ada sirkulasi darah di bagian kakiku. Nafasku tersengal-sengal. Aku belum pernah mengalami rasa sakit sehebat itu. Tapi yang lebih buruk daripada rasa sakit adalah rasa takut berada di bawah kekuasaan orang² yang tak mengenal ampun dan tak manusiawi. Pikiranku melayang sewaktu aku berusaha mengerti motivasi para penyiksaku. Aku mengerti bahwa berperang dan membunuh karena rasa benci, amarah, balas dendam, dan bahkan karena terpaksa melakukannya. Tapi aku kan tidak melakukan apapun pada para prajurit ini. Aku bukanlah ancaman bagi mereka. Aku diikat, ditutup mata, dan tidak bersenjata. Apakah yang ada dalam diri mereka sehingga mereka begitu suka menyakitiku? Bahkan binatang yang paling sederhana sekalipun membunuh karena suatu alasan, dan bukan hanya karena kesenangan saja.

Aku memikirkan bagaimana perasaan ibuku jika dia mengetahui aku ditangkap. Karena ayahku sudah berada di penjara Israel, maka akulah satu²nya pria dalam keluargaku. Apakah aku akan dipenjara selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun seperti ayahku? Jika memang itu yang terjadi, apakah ibu kuat kehilangan aku pula? Aku mulai mengerti perasaan ayahku - khawatir akan keluarganya dan merasa sedih sekali membayangkan penderitaan keluarga yang mengkhawatirkan dirinya. Airmataku bergulir membayangkan wajah ibuku.

Aku juga berpikir apakah tahun² di SMA akan berlalu percuma begitu saja. Jika aku dipenjara di Israel, tentunya aku tidak akan bisa ikut ujian akhir SMA bulan depan. Pertanyaan dan jeritan berpacu dalam pikiranku kala pukulan² terus menerjang: Mengapa kau lakukan ini padaku? Apa yang telah aku lakukan padamu? Aku bukan seorang teroris! Aku hanyalah pemuda biasa saja. Mengapa kau memukuliku seperti ini?

Aku yakin aku pingsan berkali-kali, tapi setiap kali aku siuman, para prajurit masih berada di sana untuk kembali memukuliku. Aku tidak bisa menghindari serangan mereka. Yang dapat kulakukan hanyalah menjerit. Aku merasakan rasa mual dari tenggorakanku dan aku muntah².

Aku merasa sangat sedih sebelum akhirnya kehilangan kesadaran. Apakah ini akhir hidupku? Apakah aku akan mati sebelum hidupku benar² dimulai?

Bab 2 - Tangga Iman

1955-1977

Namaku adalah MOSAB HASSAN YOUSEF.

Aku adalah putra sulung dari Syeikh Hassan Yousef, yang merupakan satu dari tujuh pendiri organisasi Hamas. Aku lahir di desa Tepi Barat dekat Ramallah, dan aku adalah bagian dari keluarga² Islam yang paling relijius di Timur Tengah.

Kisahku dimulai dari kakekku, yakni Syeikh Yousef Dawood, yang merupakan pemimpin agama - atau imam - bagi desa Al-Janiya, yang terletak di bagian Israel yang disebut Alkitab sebagai Yudea dan Samaria. Aku sangat mencintai kakekku. Jenggotnya yang lembut dan putih menyentuh pipiku saat dia memelukku, dan aku bisa duduk berjam-jam mendengarkan suaranya yang lembut dalam melafalkan adhan - panggilan Muslim untuk sholat. Dan aku punya banyak kesempatan melakukan ini karena Muslim harus sholat lima kali sehari. Melafalkan adhan dan Qur’an tidaklah mudah, tapi jikalau kakekku melakukannya, suaranya sungguh mempesona.

Ketika aku masih kecil, sebagian pelafal adhan sangat menggangguku sehingga aku ingin menutup telinga. Tapi ayahku adalah adalah orang yang sabar, dan dia membawa pendengar untuk larut memahami makna adhan sewaktu dia menyanyikannya. Dia percaya setiap kata yang diucapkannya.

Sekitar 400 orang hidup di Al-Janiya sewaktu berada di bawah kekuasaan Yordania dan pendudukan Israel. Tapi masyarakat dusun kecil ini tidak tertarik akan politik. Terletak di daerah lembah beberapa mil barat daya Ramallah, Al-Janiya adalah tempat yang damai dan indah. Sinar mentari pagi mewarnai semua bagian dengan warna jingga dan ungu. Udaranya segar dan bersih, dan dari puncak bukit kau bisa melihat seluruh pemandangan dengan jelas sampai ke Mediterania.

Setiap jam 4 pagi, kakekku bangun untuk pergi ke mesjid. Setelah dia selesai melakukan sholat subuh, dia akan membawa keledai kecilnya ke lahan taninya, mengolah tanah, mengurus pohon² zaitun, dan minum air segar dari mata air yang keluar dari gunung. Tiada polusi udara karena hanya seorang saja di Al-Janiya yang punya mobil.

Ketika dia berada di rumah, kakekku mempersilakan para tamu berdatangan. Dia itu lebih dari sekedar imam - dia adalah segalanya bagi masyarakat desa. Dia berdoa bagi setiap bayi yang baru lahir dan membisikkan adhan di telinga mereka. Ketika ada orang mati, kakekku akan memandikannya dan mengurapi tubuhnya dan membungkusnya dengan kain. Dia pula yang menikahkan masyarakat, dan menguburkan masyarakat.

Ayahku, Hassan, adalah putra yang paling disayangi kakek. Bahkan sejak kecil, meskipun bukan kewajibannya, ayah sering ikut kakekku ke mesjid. Tiada saudara²nya yang lain yang peduli akan Islam seperti ayahku.

Sambil duduk di sebelah ayahnya, Hassa belajar melafalkan adhan. Dan juga seperti ayahnya, dia pun memiliki suara dan ketertarikan yang membuat orang menjawab panggilannya. Kakekku sangat bangga akan ayahku. Ketika ayah masih berusia 12 tahun, kakek berkata, “Hassan, kau telah menunjukkan bahwa kau berminat akan Tuhan dan Islam. Maka aku akan mengirimmu ke Yerusalem untuk belajar Syariah.” Syariah adalah hukum agama Islam yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, dari keluarga dan kesehatan sampai ke bidang politik dan ekonomi.

Hassan tidak mengerti dan tidak tertarik bidang politik dan ekonomi. Dia hanya ingin menjadi seperti ayahnya saja. Dia ingin membaca dan melafalkan Qur’an untuk melayani masyarakat. Tapi dia nantinya akan mengetahui bahwa ayahnya bukanlah sekedar imam dan pelayan masyarakat yang dicintai saja.

Karena nilai² budaya dan tradisi selalu lebih berharga bagi orang² Arab daripada aturan dan hukum Pemerintah, maka orang seperti kakekku jadi pemimpin hukum tertinggi dalam masyarakat. Hal ini terutama terjadi jika pemimpin² negara adalah orang² sekuler yang lemah dan korup, sehingga perkataan imam berpengaruh lebih dianggap sebagai hukum.

Ayahku tidak dikirim ke Yerusalem hanya untuk belajar agama Islam saja; kakek ternyata hendak mempersiapkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin. Selama beberapa tahun setelah itu, ayahku hidup dan tinggal di kota tua Yerusalem, di sebelah mesjid Al-Aqsa - yang berkubah emas dan menjadi ciri khas Yerusalem di mata penduduk dunia. Di usia 18 tahun, ayah menyelesaikan studinya dan pindah ke Ramallah, di mana dia langsung ditunjuk menjadi imam mesjid. Karena besarnya keinginan untuk melayani Allah dan umat Muslim, ayah memulai pelayanan masyarakat dengan penuh semangat, sama seperti yang dilakukan kakek di Al-Janiya.

Tapi Ramallah bukanlah Al-Janiya. Ramallah adalah kota yang ramai, sedangkan Al-Janiya adalah dusun kecil nan sepi. Sewaktu ayah pertama kali masuk mesjid di Ramallah, dia sangat terkejut karena hanya mendapatkan lima orang tua saja yang sedang menunggunya. Umat Muslim yang lain tampaknya lebih suka mengunjungi kedai kopi, bioskop film porno, mabuk²an, atau berjudi. Bahkan orang yang seharusnya menyuarakan adhan lebih memilih memasang rekaman suara saja agar permainan kartunya tidak terganggu.

Hati ayah hancur melihat keadaan orang² ini, meskipun dia tidak tahu bagaimana caranya menyentuh hati mereka. Bahkan lima orang tua di mesjid mengakui bahwa mereka berada di mesjid karena merasa ajal sudah dekat dan ingin masuk surga, tapi setidaknya mereka bersedia berada di mesjid untuk mendengarkan khotbah. Maka ayah memulai kerja dengan sedikit orang yang ada. Dia memimpin orang² ini untuk bersholat, dan mengajari mereka Qur’an. Dalam waktu singkat saja mereka mengasihi ayah bagaikan malaikat yang dikirim dari surga.

Tapi di luar mesjid sih, lain ceritanya. Bagi kebanyakan orang, rasa cinta ayahku pada tuhan Qur’an hanya menunjukkan dengan jelas sikap mereka yang acuh tak acuh pada Islam, dan ini membuat mereka tersinggung.

“Mengapa anak kecil ini melafalkan adhan?” gerutu orang² itu, sambil menunjuk pada wajah ayahku yang masih muda. “Dia tidak layak tinggal di sini. Dia hanya pengacau saja.”

“Mengapa sih anak kecil ini mempermalukan kita? Hanya orang tua saja yang mau pergi ke mesjid.”

“Aku lebih suka jadi anjing daripada jadi orang seperti kamu,” bentak salah satu dari mereka ke wajah ayah.

Ayahku diam saja menghadapi penindasan ini, dan tidak pernah balas membentak atau membela diri. Tapi rasa cinta dan kasihnya pada masyarakat ini tidak membuatnya putus asa. Dan dia terus saja melakukan pekerjaan yang diberikan kepadanya: memanggil umat Muslim untuk kembali pada Islam dan Allâh.

Dia membagi kekhawatirannya pada kakekku, yang dengan cepat menyadari bahwa ayahku memiliki ketangguhan dan potensi yang lebih besar daripadanya yang diperkirakannya. Kakek lalu mengirim ayah melanjutkan studi Islam ke Yordania. Nantinya kalian akan mengetahui bahwa orang² yang ditemui ayah di sana akhirnya akan mengubah sejarah keluargaku dan bahkan sejarah konflik Timur Tengah. Tapi sebelum aku melanjutkan, aku ingin berhenti sejenak untuk menjelaskan beberapa hal penting dalam sejarah Islam yang akan membantu kalian untuk mengerti mengapa berbagai solusi diplomatik yang tak terhingga jumlahnya kandas semua dan perdamaian tetap tak kunjung terjadi.

Diantara tahun 1517 sampai 1923, Islam - diwakili oleh kekalifahan Ottoman - menyebar dari pusatnya di Turki ke tiga benua. Tapi setelah beberapa ratus tahun penuh kejayaan dan kekuasaan, kekalifahan Ottoman jadi terpusat dan korup, sehingga mulai lemah.

Di bawah kekuasaan Turki, desa² Muslim di seluruh Timur Tengah jadi korban penindasan dan pemerasan pajak yang tinggi. Istanbul terletak terlalu jauh bagi sang Kalifah untuk melindungi umat Muslim yang setia dari penindasan para prajurit dan penguasa lokal.

Di abad ke 20, banyak Muslim yang kehilangan iman dan mulai mencari jalan keluar lain. Banyak dari mereka yang jadi atheis karena pengaruh komunisme. Umat Muslim yang lain mengubur masalah mereka dengan minuman keras, judi, dan pornografi, yang kebanyakan diperkenalkan oleh orang² Barat yang datang ke Timur Tengah karena perkembangan industri mineral.

Di Kairo, Mesir, seorang guru sekolah yang taat Islam bernama Hassan al-Banna menangisi keadaan masyarakatnya yang miskin, tak punya pekerjaan, dan tak bertuhan. Tapi dia menyalahkan pihak Barat, dan bukan pihak Turki, dan dia yakin bahwa satu²nya harapan bagi masyarakatnya, terutama generasi muda, adalah kembali pada Islam yang asli dan murni.

Dia lalu pergi ke kedai kopi, naik di atas meja, dan mulai berkhotbah tentang Allâh. Orang² mabuk menghinanya. Para pemimpin agama Islam menentangnya. Tapi kebanyakan orang mencintainya karena dia memberikan harapan bagi mereka.

Di bulan Maret 1928, Hassan al-Banna mendirikan Masyarakat Persaudaraan Muslim (Society of the Muslim Brothers). Tujuan organisasi baru ini adalah untuk membangun kembali umat Muslim sesuai dengan aturan Islam. Dalam waktu satu dasawarsa, setiap propinsi di Mesir telah memiliki cabang organisasi. Saudara laki al-Banna mendirikan cabang lain di daerah Palestina di tahun 1935. Dua puluh tahun kemudian, organisasi Persaudaraan Muslim ini memiliki anggota sebanyak setengah juta orang di Kairo saja.

Anggota² Persaudaraan Muslim kebanyakan berasal dari kalangan miskin dan kelas rendah - tapi mereka sangat setia pada tujuan perjuangan. Mereka menyumbang uang dari kantong mereka sendiri untuk menolong sesama Muslim, sama seperti yang diperintahkan Qur’an.

Banyak orang Barat yang menyamaratakan semua Muslim sebagai teroris, tidak mengerti akan sisi Islam yang menyiratkan kasih dan pengampunan. Sisi ini peduli akan kaum miskin, para janda, dan anak yatim, juga menyediakan pendidikan dan bantuan sosial. Hal ini menyatukan dan menguatkan umat Muslim. Sisi Islam inilah yang jadi motivasi utama para pemimpin Persaudaraan Muslim awal. Tentu saja ada sisi lain Islam yang mengajak semua Muslim melakukan Jihad melawan seluruh dunia sampai umat Muslim berhasil mendirikan kekalifahan Islam atas seluruh dunia, dipimpin oleh seorang manusia suci yang berkuasa dan berbicara bagi Allâh. Hal ini penting untuk dimengerti dan diingat sebelum maju ke kisah selanjutnya. Sekarang balik dulu lagi ke pelajaran sejarah ...

Di tahun 1948, Persaudaraan Muslim berusaha melakukan kudeta terhadap Pemerintah Mesir, karena Persaudaraan Muslim menganggap Pemerintah Mesir bertanggung jawab atas keadaan Mesir yang semakin sekuler. Usaha penggulingan kekuasaan ini terhenti sebelum berakibat apapun, karena berhentinya Mandat Pemerintah Inggris dan Israel memproklamasikan diri sebagai negara Yahudi yang berdaulat.

Umat Muslim di seluruh Timur Tengah sangat marah. Berdasarkan Qur’an, jikalau musuh menyerang negara Muslim manapun, semua Muslim harus bersatu untuk berperang membela tanah Muslim. Menurut sudut pandang dunia Arab, orang asing telah menyerang dan menguasai Palestina, tempat Mesjid Al-Aqsa, yang merupakan tempat Islam paling suci ketiga setelah Mekah dan Medinah. Mesjid itu dibangun di tempat yang diyakini sebagai tempat di mana Muhammad dan Jibril pergi ke surga dan berbicara dengan Abraham, Musa, dan Yesus.

Mesir, Lebanon, Syria, Yordania, dan Iraq seketika menyerang negara baru Yahudi. Diantara 10.000 pasukan Mesir terdapat ribuan sukarelawan Persaudaraan Muslim. Akan tetapi persekutuan Arab ini kalah perang. Kurang dari setahun kemudian, tentara Arab telah diusir keluar Palestina.

Sebagai akibat perang, sekitar 3/4 juta masyarakat Arab Palestina lari atau keluar dari rumah² mereka di daerah yang sekarang menjadi milik Negara Israel.

Meskipun PBB mengeluarkan Resolusi 194, yang menetapkan bahwa “para pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup dama dengan para tetangga lainnya diijinkan untuk melakukan itu” dan “ganti rugi dibayarkan atas barang milik orang² yang memilih untuk tidak kembali,” anjuran ini ternyata tidak pernah dilaksanakan. Puluhan ribu orang² Palestina yang meninggalkan Israel sewaktu Perang Arab-Israel tidak pernah mendapatkan kembali rumah² dan tanah mereka. Banyak para pengungsi dan keturunannya yang hidup di kamp² pengungsian yang diatur oleh PBB hingga saat ini.

Ketika para anggota Persaudaraan Muslim yang sekarang bersenjata kembali dari medan perang ke Mesir, usaha penggulingan kekuasaan atas Pemerintah Mesir dilakukan lagi. Namun rencana kudeta ini bocor, dan Pemerintah Mesir lalu melarang organisasi Persaudaraan Muslim, menyita semua asetnya, dan memenjarakan banyak anggotanya. Mereka yang berhasil melarikan diri lalu membunuh Perdana Menteri Mesir beberapa minggu kemudian.

Hassan al-Banna dibunuh pada tanggal 12 Februari, 1949, diperkirakan oleh pasukan keamanan rahasia Pemerintah. Tapi organisasi Persaudaraan Muslim tidak jadi hancur. Dalam waktu 20 tahun saja, hassan al-Banna telah membangkitkan Islam dari tidurnya dan menciptakan revolusi Islam dengan pasukan bersenjatanya. Dalam beberapa tahun berikutnya, organisasi ini terus berhasil menambah anggota dan pengaruh diantara umat Muslim, tidak hanya di Mesir saja, tapi juga di Syria dan Yordania.

Saat ayahku tiba di Yordania di pertengahan tahun 1970-an untuk belajar Islam, Persaudaraan Muslim telah berdiri dengan kuat dan dicintai masyarakat Muslim. Anggota² Persaudaraan Muslim melakukan segala hal yang disetujui ayahku - memperkuat iman Islam diantara umat Muslim, menyembuhkan mereka yang terluka, dan mencoba menyelamatkan masyarakat dari pengaruh korup lingkungannya. Ayah yakin bahwa orang² ini adalah pembaru relijius Islam, sama seperti Martin Luther dan William Tyndale bagi umat Kristen. Mereka hanya ingin menyelamatkan dan memperbaiki nasib rakyat, dan bukan untuk membunuh dan menghancurkan. Ketika ayah bertemu dengan sebagian pemimpin awal Persaudaraan Muslim, dia berkata, “Ya, inilah yang aku cari.”

Apa yang ayahku lihat di saat² awal jaman itu adalah Islam yang mencerminkan kasih dan pengampunan. Apa yang tak dilihatnya, yang mungkin dia sendiri tidak mau lihat, adalah sisi lain dari Islam.

Islam itu bagaikan sebuah tangga. Bagian tangga paling bawah adalah sholat dan pujian bagi Allâh. Tangga yang berikutnya adalah menolong Muslim mikin dan membutuhkan bantuan, mendirikan sekolah², dan mengadakan zakat. Tangga yang paling atas adalah Jihad.

Tangga ini tinggi. Hanya segelintir orang saja yang mau melihat apa yang ada di tangga paling atas. Dan kesadaran akan hal itu hanya perlahan saja berlangsung, dan bahkan hampir tidak mungkin terjadi. Hal ini bagaikan kucing mengincar burung. Si burung tidak pernah mengalihkan pandangan mata dari kucing, tapi dia diam saja sambil terus mengamati kucing maju mundur mengambil ancang² untuk menerkamnya. Burung itu tidak bisa menghitung jarak, dan tidak menyadari bahwa si kucing semakin datang mendekatinya sedikit demi sedikit, sampai, dalam waktu sekejap mata saja, cakar kucing telah basah oleh darah burung.


Muslim² tradisional berdiri di atas tangga paling bawah, hidup dalam rasa bersalah karena tidak melakukan ibadah Islam dengan taat. Di tangga paling atas terdapat Muslim fundamentalis, dan mereka inilah yang kalian lihat di berbagai berita membunuhi para wanita dan anak² demi kemuliaan tuhan Qur’an. Muslim moderat itu terletak di antara bagian bawah dan atas tangga.

Seorang Muslim moderat sebenarnya lebih berbahaya daripada Muslim fundamentalis. Akan tetapi, karena orang ini tampaknya tak berbahaya, kalian tidak akan tahu kapan orang ini akan naik memanjat tangga yang teratas. Kebanyakan para pembom bunuh diri awalnya adalah Muslim moderat.

Saat di mana ayahku menginjakkan kaki pertama kali di tangga paling bawah, dia tidak bisa membayangkan berapa jauh dia akan meninggalkan angan² Islam idealnya tatkala terus menaiki tangga. Setelah 35 tahun kemudian, aku ingin bertanya padanya: Apakah kau ingat di mana kau memulai? Kau melihat semua Muslim tersesat, dan hatimu hancur akan mereka, dan kau ingin mereka kembali pada Allâh dan diselamatkan. Sekarang lihat para pembom bunuh diri yang membunuhi orang² yang tak bersalah. Apakah ini sesuai dengan niat awalmu? Tapi bicara seperti itu pada ayah sendiri tidaklah lumrah dilakukan dalam masyarakat kami. Karenanya, dia terus saja menjalani jalan berbahaya tersebut.

Bab 3 - Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood)

1977 - 1987

Ketika ayahku kembali ke daerah yang diduduki Israel setelah menyelesaikan studi di Yordania, dia sangat bersikap optimis dan penuh harapan bagi umat Muslim di mana pun. Dalam benaknya dia melihat masa depan cerah melalui organisasi Persaudaraan Muslim yang tampaknya moderat.

Ayah datang bersama Ibrahim Abu Salem, salah satu pendiri Persaudaraan Muslim di Yordania. Abu Salem datang untuk membawa nafas baru bagi organisasi Persaudaraan Muslim yang mandeg di Palestina. Dia dan ayah bekerja sama dengan baik, merekrut anggota pemuda² yang memiliki impian sama dan menyusun mereka dalam kelompok² aktivis kecil.

Di tahun 1977, dengan uang sebanyak 50 dinar di saku, Hassan menikahi saudara perempuan Ibrahim Abu Salem yakni Sabha Abu Salem. Aku lahir setahun kemudian.

Ketika aku berusia 7 tahun, keluarga kami pindah ke Al-Bireh, kota kembar dari Ramallah, dan ayahku menjadi imam di kamp pengungsian Al-Amari, yang terletak di daerah perbatasan Al-Bireh. Sembilan belas kamp pengungsian terdapat di Tepi Barat, dan Al-Amari telah didirikan sejak tahun 1949 dan luasnya adalah 22 acre (8.9 hektar). Di tahun 1957, tenda² terpal diganti dengan perumahan bertembok yang saling berderet. Jalanan hanyalah selebar besar mobil, dan selokan padat dengan kotoran seperti sungai jamban. Kamp ini juga terlalu padat penduduk; airnya terlalu kotor untuk bisa diminum. Sebuah pohon berdiri sendirian di tengah² kamp. Para pengungsi bergantung sepenuhnya pada PBB untuk segala keperluan - perumahan, makanan, pakaian, obat²an, dan pendidikan.

Ketika ayahku mengunjungi mesjid untuk pertama kali, dia merasa kecewa karena hanya melihat dua baris orang bersholat, dengan jumlah 20 orang setiap baris. Beberapa bulan setelah dia berkhotbah di kamp, orang² mulai memenuhi mesjid dan lalu berlimpah ruah sampai ke jalanan. Selain sangat bertakwa pada Allâh, ayahku juga sangat mengasihi umat Muslim. Sebagai balasan, umat Muslim pun sangat mengasihinya.

Hassan Yousef sangat disukai masyarakat karena dia sama seperti mereka. Dia tidak pernah menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain yang dilayaninya. Dia hidup sama seperti mereka hidup, makan makanan yang sama yang mereka makan, sholat sama seperti mereka sholat. Dia tidak mengenakan pakaian mewah. Dia dapat sedikit gaji dari Pemerintah Yordania - tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya - yang adalah menyediakan fasilitas dan perawatan tempat² ibadah. Hari libur resminya adalah Senin, tapi dia tidak pernah memanfaatkannya. Dia tidak bekerja karena ingin dapat gaji; dia bekerja untuk menyenangkan Allâh. Baginya, ini merupakan tugas sucinya, tujuan hidupnya.

Di bulan September 1987, ayahku mengambil pekerjaan kedua sebagai guru Islam bagi murid² Muslim yang sekolah di sekolah Kristen di Tepi Barat. Karena ini kami sekeluarga makin jarang melihatnya - ini tidak dilakukannya karena dia tidak mencintai kami, tapi karena dia memang lebih mencintai Allâh daripada keluarganya. Yang tak kami sadari adalah semakin dekatnya saat di mana kami tidak lagi melihatnya sama sekali.

Sewaktu ayahku bekerja di luar, ibuku membesarkan anak² sendirian. Dia mengajarkan kami bagaimana menjadi Muslim yang baik, membangunkan kami untuk melakukansholat subuh ketika kami sudah cukup besar dan menganjurkan kami untuk puasa di bulan Ramadan. Kami enam bersaudara - saudara² lakiku Sohayb, Seif, dan Oways; saudara perempuanku Sabila dan Tasnim; dan aku sendiri. Bahkan dengan dua gaji dari dua pekerjaan ayah, kami pun masih kekurangan uang untuk bayar berbagai keperluan. Ibuku berusaha keras berhemat sekuat tenaga.

Sabila dan Tasnim mulai membantu ibu sejak usia yang sangat muda. Manis, murni dan cantik jelita, saudara² perempuanku ini tidak pernah mengeluh, meskipun mainan² mereka berdebu karena mereka tak punya kesempatan bermain. Mainan mereka malah berubah jadi peralatan rumah tangga di dapur.

“Kau bekerja terlalu keras, Sabila,” kata ibu pada saudara perempuaku yang tertua.

“Berhenti bekerja dan beristirahatlah.”

Tapi Sabila hanya tersenyum dan terus bekerja.

Saudara lakiku Sohayb dan aku belajar dengan cepat bagaimana membuat api dan menggunakan oven. Kami membagi tugas memasak dan mencuci piring, dan kami semua mengurus Oways yang masih bayi.

Permainan kesenangan kami adalah Bintang². Ibuku menulis nama² kami di sebuah kertas, dan setiap malam sebelum tidur, kami berkumpul dalam sebuah lingkaran agar ibu bisa menghadiahi kami dengan “bintang²” tergantung dari apa yang telah kami lakukan hari itu. Di akhir bulan, anak yang dapat bintang terbanyak adalah pemenang; dan biasanya anak itu adalah Sabila. Tentu saja kami tak punya uang untuk membeli hadiah betulan, tapi tak jadi masalah. Bintang² itu lebih merupakan cara kami mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari ibu, dan kami selalu menunggu dengan penuh semangat untuk melakukan permainan ini.

Mesjid Ali terletak setengah mil saja dari rumah kami, dan aku merasa bangga bisa berjalan sendiri ke sana. Aku sangat ingin jadi seperti ayahku, sama seperti dia dulu ingin jadi seperti ayahnya.

Image
Image
Kuburan terbesar di Ramallah.

Di seberang jalan Mesjid Ali terdapat sebuah kuburan terbesar yang pernah aku lihat. Ini adalah kuburan bagi masyarakat Ramallah, Al-Bireh, dan kamp² pengungsian. Luas kuburan ini lima kali lebih besar dari seluruh kompleks perumahan kami, dan dikelilingi tembok setinggi 2 kaki (0,6 meter). Lima kali sehari, ketika adhan berkumandang, aku berjalan ke mesjid dan nantinya pulang dari mesjid, dan selalu harus melalui ribuan kuburan ini. Bagi anak kecil seusiaku, tempat ini sangat seram, terutama di malam hari yang gelap pekat. Aku membayangkan akar² pohon besar memakan mayat² kubur.

Suatu kali seorang imam memanggil kami untuk sholat Zuhr (siang hari), aku membersihkan diri, memakai wewangian, berbaju rapih seperti ayahku, dan berjalan ke mesjid. Hari itu adalah hari yang cerah. Sewaktu aku sudah dekat mesjid, aku melihat lebih banyak mobil diparkir di luar Mesjid daripada hari biasa. Sekelompok orang tampak berdiri di pintu masuk. Aku melepaskan sepatu seperti biasa dan masuk mesjid. Dekat pintu bagian dalam tampak sebuah mayat yang ditutupi dengan kain katun putih dalam kotak terbuka. Aku belum pernah melihat mayat sebelumnya, dan meskipun aku seharusnya tidak terus memandangnya, tapi aku tetap tak bisa mengalihkan mata. Mayat itu dibungkus kain, dan hanya wajahnya saja yang tampak. Aku mengamati bagian dadanya dengan sedikit harapan dia akan mulai bernafas lagi.

Sang Imam memanggil kami untuk berbaris dan sholat. Aku berdiri di baris paling depan dengan orang² lain, dan mataku tetap terpaku pada mayat dalam kotak tersebut. Ketika kami selesai melafalkan ayat, sang Imam meminta mayat dibawa ke muka untuk didoakan. Delapan pria mengangkat kotak di atas bahu mereka dan seseorang berteriak, “La ilaha illallah! (Tiada tuhan selain Allâh)” Bagaikan sudah diatur, orang² lain lalu menyahut, “La ilaha illallah! La ilaha illallah!”

Aku mengenakan sepatuku secepatnya dan mengikuti rombongan orang pergi ke kuburan. Karena aku pendek, aku harus berlari untuk bisa mengimbangi langkah kaki orang² dewasa agar tidak ketinggalan. Sebelumnya aku belum pernah masuk kuburan, tapi kali ini memberanikah diri karena masuk bersama banyak orang.

“Jangan injak kuburan orang,” seseorang berteriak. “Itu dilarang!”

Aku dengan hati² menyusup diantara orang² banyak sampai kami tiba di liang kuburan yang dalam dan terbuka. Aku melihat dasar lubang kubur selebar 8 kaki (2,4 meter), di mana seorang tua sedang berdiri. Aku mendengar anak² tetangga bicara tentang orang ini, namanya adalah Juma’a. Mereka bilang dia tidak pernah datang ke mesjid dan tidak percaya tuhan Qur’an, tapi dia menguburkan orang mati, kadangkala dua atau tiga mayat per hari.

Apakah dia tidak takut kematian sama sekali? Aku bertanya-tanya.

Orang² menurunkan mayat ke tangan² kokoh Juma’a. Mereka lalu memberinya botol cologne dan cairan hijau yang berbau segar dan enak. Juma’a membuka kain kafan dan menaburkan cairan² wewangian itu di atas tubuh mayat.

Juma’a lalu memiringkan mayat sehingga berbaring di sebelah kanan tubuh mayat, menghadap Mekah, dan memagari sekujur tubuh mayat dengan bongkahan semen. Empat orang lalu menutup kubur dengan sekop, dan imam lalu mulai berkhotbah. Dia memulainya seperti ayahku.

“Orang ini telah pergi,” dia berkata, pada saat yang sama tanah jatuh menutupi wajah, leher, dan tangan mayat. “Dia meninggalkan segalanya - uang, rumah, anak perempuan dan laki, dan istrinya. Begitulah nasib bagi kita semua.”

Dia mengajak kami untuk bertobat dan berhenti berbuat dosa. Lalu dia mengatakan hal yang belum pernah kudengar dari ayahku: “Jiwa orang ini akan segera kembali padanya dan dua malaikat maut Munkar dan Nakir akan datang dari langit untuk memeriksanya. Mereka akan mencekal tubuhnya dan mengguncangnya, sambil bertanya, ‘Siapakah Tuhanmu?’ Jika dia menjawab dengan salah, maka para malaikat ini akan memukulinya dengan palu besar dan mengirim dia kembali masuk ke dalam tanah selama 70 tahun. Allâh, kami minta kau memberi kami jawaban² yang benar jika saat kematian kami tiba!”

Aku melotot melihat kuburan dengan rasa takut. Tubuh itu hampir terkubur semuanya, dan aku bertanya-tanya berapa lama lagi sebelum pertanyaan² diajukan baginya.

“Dan jika jawaban²nya tidak memuaskan, berat tanah di atas tubuhnya akan menghancurkan tulang² rusuknya. Cacing² akan memakan tubuhnya secara perlahan. Dia akan disiksa ular berkepala 99 dan kalajengking berukuran sebesar leher unta sampai hari kiamat, tatkala penderitaannya mungkin mendapat pengampunan Allâh.”

Aku sungguh tak bisa percaya semua ini terjadi di dekat rumahku setiap kali mereka mengubur seseorang. Aku tidak pernah merasa nyaman dengan kuburan ini; tapi sekarang aku malah merasa lebih takut lagi. Aku merasa harus mengingat pertanyaan² itu, sehingga jika nanti aku mati dan ditanyai malaikat maut, aku bisa menjawab dengan benar.

Sang imam berkata bahwa pertanyaan akan langsung diajukan setelah orang terakhir meninggalkan kuburan. Aku pulang ke rumah, tapi tidak bisa melupakan apa yang dikatakannya. Aku lalu ingin kembali ke kuburan untuk mendengarkan siksa kubur. Aku ajak beberapa teman untuk menemaniku, tapi mereka semua menganggap aku gila. Karena itu aku harus datang sendirian saja. Dalam perjalanan kembali ke kuburan, tubuhku gemetar oleh rasa takut. Aku sungguh tak dapat menguasai rasa takut itu. Tak lama kemudian aku tiba di lautan kuburan. Aku ingin berlari, tapi rasa ingin tahuku lebih besar. Aku ingin mendengar pertanyaan² diucapkan, jeritan² - atau apa sajalah. Tapi aku ternyata tak mendengar apapun. Aku berjalan mendekat sampai bisa menyentuh batu nisan. Hanya sunyi senyap saja. Sejam berlalu, dan aku jadi bosan dan kembali pulang ke rumah.

Ibuku sedang sibuk di dapur. Aku katakan padanya bahwa aku pergi ke penguburan di mana imam mengatakan akan terjadi penyiksaan.

“Lalu bagaimana...?”

“Lalu aku kembali setelah orang² meninggalkan mayat itu, tapi aku tidak mendengar apapun tuh.”

“Penyiksaan hanya bisa didengar oleh binatang² saja,” jawab ibu, “orang sih tak bisa mendengarnya.”

Bagi anak usia 8 tahun, penjelasan ini masuk akal.

Setelah saat itu, aku memperhatikan penguburan yang dilakukan di tempat itu. Lama kelamaan aku jadi terbiasa dan hanya melihat untuk mengetahui siapakah yang mati. Kemaren, seorang wanita. Hari ini, seorang pria. Suatu hari, mereka menguburkan dua orang, dan lalu sejam kemudian, mereka membawa mayat baru. Ketika tiada mayat yang harus dikubur, aku berjalan-jalan di antara kuburan dan membaca keterangan orang² yang dikubur di situ. Seseorang telah mati sejak 100 tahun yang lalu. Yang lain sejak 25 tahun yang lalu. Siapa ya namanya? Asalnya dari mana? Kuburan itu jadi tempat bermainku.

Sama seperti aku, para temanku juga awalnya takut akan kuburan tersebut. Tapi kami saling menantang siapa yang berani memanjat tembok kuburan di malam hari. Karena tiada seorang pun yang mau disebut pengecut, maka kami semua akhirnya bisa menguasai rasa takut kami. Kami bahkan lalu bermain sepak bola di tanah lapang kuburan tersebut.


Sewaktu keluarga kami bertambah besar, begitu pula yang terjadi dengan organisasi Persaudaraan Muslim. Dalam waktu singkat, organisasi yang tadinya beranggotakan orang² miskin dan para pengungsi, mulai berubah dengan mengikutseratakan anggota² pria dan wanita muda yang berpendidikan, orang² bisnis dan profesional yang menyumbangkan uang mereka untuk mendirikan berbagai sekolah, badan sosial, dan klinik kesehatan.

Melihat perkembangan ini, banyak pemuda dalam gerakan Islam, terutama di Gaza, yang menganggap Persaudaraan Muslim perlu menempatkan diri dalam menghadapi pendudukan Israel. Kami telah mengurus masyarakat, kata mereka, dan kami akan terus melakukan hal itu. Tapi apakah kami akan terus menerima pendudukan wilayah untuk selamanya? Bukankah Qur’an telah memerintahkan kita untuk mengusir para penyerang Yahudi? Para pemuda ini tidak bersenjata, tapi mereka tangguh dan penuh tekad perang.

Ayahku dan para pemimpin Tepi Barat lainnya tidak setuju. Mereka tidak siap untuk mengulangi kesalahan Mesir dan Syria, di mana Persaudaraan Muslim berusaha melakukan kudeta dan gagal. Di Yordania, kata mereka, para saudara kami tidak berperang. Mereka berpartisipasi dalam Pemilu dan punya pengaruh kuat dalam masyarakat. Ayahku tidak menentang kekerasan, tapi dia berpendapat masyarakatnya cukup kuat untuk melawan militer Israel.

Selama beberapa tahun, perdebatan dalam Persaudaraan Muslim terus berlangsung dan tekanan untuk melakukan kekerasan bertambah besar. Karena frustasi melihat Persaudaraan Muslim tidak juga melakukan apapun, Fathi Shaqaqi mendirikan Palestina Islamic Jihad di akhir tahun 1970-an. Meskipun begitu, Persaudaraan Muslim tetap tidak melakukan kekerasan sampai 10 tahun kemudian.

Di tahun 1986, pertemuan rahasia dan bersejarah terjadi di Hebron, sebelah selatan Bethlehem. Ayahku juga hadir dalam pertemuan ini, meskipun dia tidak memberitahuku sampai bertahun-tahun kemudian. Tidak seperti penjelasan sejarah sebelumnya yang kurang tepat, tujuh orang berikut hadir dalam pertemuan tersebut:

○ Syeikh Ahmed Yassin yang memakai kursi roda, dan jadi pemimpin rohani organisasi baru
○ Muhammad Jamal al-Natsheh dari Hebron
○ Jamal Mansour dari Nablus
○ Syeikh Hassan Yousef (ayahku)
○ Mahmud Muslih dari Ramallah
○ Jamil Hamami dari Yerusalem
○ Ayman Abu Taha dari Gaza

Orang² yang menghadiri pertemuan ini akhirnya sudah siap untuk perang. Mereka sepakat untuk memulai pemberontakan sipil kecil²an - melempari batu dan membakar ban. Tujuan mereka adalah untuk membangkitkan, menyatukan, dan mengumpulkan masyarakat Palestina dan membuat mereka mengerti perlunya independen di bawah bendera Allâh dan Islam. [1]

Hamas lahir dari pertemuan itu. Dan ayahku memanjat beberapa tangga lagi untuk lebih dekat ke puncak tangga Islam.

[1] Tiada seorang pun yang tahu akan hal ini sebelumnya. Tiada penjelasan sejarah yang benar² tepat tentang terbentuknya Hamas. Contoh, Wikipedia mengatakan “Hamas didirikan di tahun 1987 oleh Syeikh Akhmed Yassin, Abdel Aziz al-Rantissi, dan Mohammad Taha oleh cabang Persaudaraan Muslim cabang Palestina di awal Intifada pertama...”
Penjelasan ini benar tentang dua orang dari tujuh tokoh pendiri Hamas, dan meleset satu tahun. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Hamas (diakses tanggal 20 November, 2009).
Website MidEastWeb mengatakan, “Hamas dibentuk sekitar bulan Februari 1988 untuk mengijinkan Persaudaraan Muslim ikut serta dalam Intifada pertama. Para pendiri Hamas adalah: Ahmad Yassin, ‘Abd al-Fattah Dukhan, Muhammed Shama’, Ibrahim al-Yazuri, Issa al-Najjar, Salah Shehadeh (dari Bayt Hanun) dan ‘Abd al-Aziz Rantisi. Dr. Mahmud Zahari biasanya juga tercantum sebagai pendiri asli Hamas. Para pemimpin lainnya adalah: Syeikh Khalil Qawqa, Isa al-Ashar, Musa Abu Marzuq, Ibrahim Ghusha, Khalid Mish’al.” Keterangan ini malah lebih tidak tepat dibandingkan Wikipedia. Lihat http://www.mideastweb.org/hamashistory.htm (diakses pada tanggal 20 November, 2009).

Bab 4 - Melempar Batu

1987-1989

Hamas membutuhkan suatu peristiwa - peristiwa apapun - yang bisa membenarkan tindakan perlawanan. Peristiwa ini terjadi di bulan Desember 1987, meskipun semuanya berawal dari salah pengertian tragis semata.

Di Gaza, seorang penjual plastik Israel bernama Shlomo Sakal ditusuk sampai mati. Beberapa hari kemudian, empat orang dari kamp pengungsi Jabalia di Gaza terbunuh dalam kecelakaan lalu lintas biasa. Tapi lalu tersebar kabar bahwa mereka dibunuh orang² Israel yang membalas dendam atas kematian Sakal. Keributan massal lalu terjadi di Jabalia. Seorang pemuda berusia 17 tahun melempar bom molotov dan ditembak mati oleh prajurit Israel. Di Gaza dan Tepi Barat, semua orang turun ke jalanan. Hamas memimpin gerakan ini, membakar kemarahan massa yang kemudian jadi cara berperang baru melawan Israel. Anak² melemparkan batu² pada tank² Israel, dan foto² mereka bermunculan di berbagai sampul depan majalah² internasional di minggu yang sama.

Intifada pertama telah terjadi, dan perjuangan rakyat Palestina menjadi berita dunia. Ketika intifada dimulai, kuburan tempat bermain kami jadi berubah total. Setiap hari, mayat berdatangan lebih sering dari semula. Kemarahan dan dendam bergandengan tangan bercampur rasa sedih. Orang² Palestina mulai melemparkan batu pada orang² Yahudi yang berkendaraan melalui kuburan untuk mencapai perumahan Israel yang jauhnya satu mil dari tempat itu. Para penduduk Israel yang bersenjata dibunuhi. Ketika Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defence Force = IDF) datang di tempat itu, terjadi lebih banyak lagi baku tembak, luka², dan kematian.

Rumah kami terletak di tengah² segala kekacauan. Seringkali gentong² penampungan air di atas rumah kami bocor tertembak peluru² Israel. Tubuh² tak bernyawa para feda’iyin atau pejuang kemerdekaan yang dibawa ke kuburan kami tidak lagi hanya orang² lanjut usia saja. Kadangkala mayat masih berlumuran darah dan belum dimandikan, tidak dibungkus kain kafan. Setiap orang yang mati syahid dikubur secepatnya agar mayatnya tidak dicuri, diambil organ² tubuhnya, dijejali kain untuk kemudian dikembalikan ke keluarganya.

Terjadi begitu banyak kekerasan sehingga aku jadi bosan jika suasana kadangkala tenang. Teman² dan aku juga mulai melemparkan batu² - untuk membuat kekacauan dan juga agar dihormati orang lain karena mau berjuang bersama. Kami bisa melihat perumahan Israel dari kuburan, yang terletak di puncak gunung, dikelilingi pagar tinggi dan menara² penjaga. Aku terkadang berpikir tentang 500 penduduk yang hidup di sana dan mengendarai mobil baru - banyak dari mereka yang bersenjata. Mereka membawa senapan otomatis dan tampaknya bisa bebas menembaki siapapun yang mereka arah. Bagi anak usia 10 tahun, mereka tampak seperti makhluk asing dari planet lain.

Di suatu sore sebelum sholat maghrib, aku dan beberapa temanku bersembunyi di jalanan dan menunggu. Kami ingin melempari bus karena bus berukuran besar dan lebih mudah dilempar. Kami tahu bus datang setiap hari dengan jadwal yang sama. Selagi kami menunggu, terdengar suara imam dari pengeras suara, “Hayya ‘alas-salah” (Bergegaslah bersholat).

Ketika kami akhirnya mendengar derungan mesin disel, masing² lalu mengambil dua buah batu. Meskipun kami bersembunyi dan tidak dapat melihat jalanan, kami sangat mengenal suara bus tersebut. Di waktu yang tepat, kami loncat dan melemparkan batu² itu. Suara benturan batu dengan metal meyakinkan kami bahwa setidaknya beberapa batu tepat mengenai sasaran.

Tapi yang lewat ternyata bukan bus, melainkan sebuah mobil militer besar penuh dengan serdadu Israel yang jengkel dan marah. Kami cepat bersembunyi di dalam selokan karena mobil itu berhenti. Kami tak bisa melihat para prajurit dan mereka pun tidak bisa melihat kami. Maka mereka lalu mulai menembaki udara. Mereka terus menembak tanpa sasaran selama dua menit, dan dengan merunduk kami berhasil melarikan diri ke mesjid yang tak jauh dari situ.

Sholat sudah dimulai, tapi kupikir tak ada yang dapat berkonsentrasi akan apa yang mereka lafalkan. Setiap orang mendengarkan tembakan senjata otomatis di luar dan bertanya-tanya apakah yang telah terjadi. Aku dan temanku menyelip masuk di baris paling belakang, dengan harapan tak ada seorang pun yang tahu. Tapi setelah imam selesai mengucapkan doa, semua mata marah tertuju pada kami.

Dalam waktu beberapa detik saja, kendaraan IDF terdengar direm kuat² di bagian depan mesjid. Para prajurit lalu masuk memenuhi ruangan, memaksa kami semua keluar dan memerintahkan kami berbaring dengan muka menghadap tanah dan mereka lalu memeriksa KTP kami. Aku adalah orang terakhir yang keluar dan merasa takut jangan² para prajurit tahu bahwa akulah yang bertanggungjawab atas masalah yang terjadi. Kupikir tentunya mereka akan memukuliku sampai mati. Tapi ternyata tak ada yang menaruh perhatian padaku. Mungkin mereka pikir anak kecil seperti aku tidak akan berani melempar batu pada kendaraan IDF. Apapun alasannya, aku merasa lega karena mereka tidak mengarah padaku. Interogasi berlangsung berjam-jam, dan aku tahu banyak orang yang merasa marah padaku. Mereka mungkin tak tahu persis apa yang kulakukan, tapi mereka tampak yakin bahwa akulah yang melakukan penyerangan. Aku tak peduli. Sebenarnya aku merasa girang. Aku dan teman²ku telah berani menentang pasukan Israel yang kuat dan berhasil selamat tanpa segores luka pun. Rasa kemenangan ini membuat kami ketagihan dan bertindak semakin berani.

Aku dan seorang temanku bersembunyi lagi di lain hari, kali ini dekat dengan jalan raya. Sebuah mobil datang, dan aku berdiri lalu melempar batu sekeras mungkin. Batu itu mengenai jendela mobil dengan suara sangat keras, tapi tidak menghancurkan jendela. Aku bisa melihat wajah pengemudi, dan aku tahu dia ketakutan. Dia terus menyetir mobilnya sampai sejauh 40 yard, menginjak rem, dan lalu berbalik menuju ke arahku.

Aku lari menuju kuburan. Dia mengikutiku tapi berada di luar sambil memegang senjata M16 dekat tembok dan mengawasi kuburan untuk mencari diriku. Temanku lari ke arah yang berlawanan, membiarkan aku sendirian menghadapi seorang penduduk Israel yang marah dan bersenjata.

Aku tiarap di tanah diantara kuburan orang², karena mengetahui pengemudi mobil itu menunggu sampai aku mendongakkan kepala. Akhirnya aku tak tahan lagi mengekang rasa tegang, sehingga aku lalu loncat dan lari secepat mungkin. Untungnya saat itu hari sudah mulai gelap dan tampaknya orang itu takut masuk ke dalam daerah kuburan.

Aku belum berlari jauh tatkala kakiku menginjak lubang kuburan kosong. Aku jatuh ke dalam kubur ternganga yang dipersiapkan bagi mayat baru. Apa yang harus kulakukan, pikirku. Di atasku, orang Israel itu menembaki kuburan dengan pelurunya. Serpihan batu berjatuhan masuk ke dalam lubang kubur.

Aku meringkuk di sana tanpa bisa berkutik. Setelah sekitar setengah jam kemudian, aku mendengar orang bicara, jadi aku tahu orang itu sudah pergi dan aku bisa keluar kubur dengan aman.

Dua hari kemudian, aku sedang berjalan di jalanan, dan mobil yang sama lewat di depanku. Kali ini ada dua orang di dalam mobil, tapi pengemudinya adalah orang yang sama. Dia mengenalku dan dengan cepat meloncat keluar dari mobil. Aku berusaha melarikan diri, tapi kali ini aku kurang beruntung. Dia berhasil menangkapku, menampar mukaku dengan keras, dan menarikku masuk ke dalam mobil. Tiada yang berkata sepatah kata pun ketika kami melaju ke perumahan Israel. Kedua orang itu tampak gelisah dan memegang erat² senjata mereka, sambil kadang² melihat diriku yang duduk di bagian belakang. Aku bukanlah seorang teroris; aku hanyalah anak kecil yang ketakutan. Tapi mereka berlaku seperti pemburu ulung yang berhasil menangkap macan besar.

Di pintu gerbang, seorang prajurit memeriksa SIM pengemudi dan mempersilakan dia masuk. Apakah prajurit itu tidak merasa heran melihat kedua orang ini bersama seorang anak kecil Palestina bersama mereka? Aku tahu seharusnya aku merasa takut – dan memang aku takut – tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat lingkungan sekitarku. Aku belum pernah masuk ke daerah perumahan Israel. Bagus sekali keadaannya. Jalanan bersih, kolam renang, pemandangan lembah yang indah dari puncak gunung.

Pengemudi membawaku ke pusat IDF di daerah itu, di mana prajurit merampas sepatuku dan menyuruhku duduk di lantai. Kukira mereka akan menembakku dan membiarkan tubuhku di jalanan. Tapi ketika hari mulai gelap, mereka menyuruhku pulang.

“Tapi aku tidak tahu jalan pulang,” protesku.

“Cepat mulai berjalan, atau kutembak kau,” kata salah satu dari antara mereka.

“Mohon kembalikan sepatuku.”

“Tidak. Cepat berjalan. Lain kali kalau kau melempar batu lagi, aku akan bunuh kamu.”

Rumahku terletak satu mil jauhnya dari tempat itu. Aku berjalan kaki hanya dengan kaos kaki, sambil mengertakkan gigi saat batu tajam menusuk tapak kakiku. Ketika ibuku melihat aku datang, dia berlari di tepi jalan dan memelukku erat² sampai aku sesak nafas. Dia diberitahu bahwa aku diculik penduduk Israel, dan dia sangat khawatir mereka akan membunuhku. Dia berkali-kali menegurku karena bertindak bodoh, sambil menghujani ciuman pada kepalaku dan memelukku erat² dalam dadanya.

Orang mungkin mengira aku tentunya sudah jera, tapi aku adalah anak kecil yang bodoh. Aku tidak sabar menunggu memberitahu teman²ku yang pengecut tentang pengalaman kepahlawananku. Di tahun 1989, sudah sering terjadi pasukan Israel mengetuk pintu rumah² kami dan masuk ke dalam rumah. Mereka selalu mencari orang² yang melempar batu yang melarikan diri lewat halaman belakang. Para prajurit ini bersenjata lengkap, dan aku tidak mengerti mereka begitu terganggu hanya karena beberapa batu saja.

Karena Israel mengontrol daerah² perbatasan, sangat sukar bagi orang² Palestina untuk mendapatkan senjata di Intifada Pertama. Aku tidak ingin seorang Palestina pun yang memiliki senjata di saat itu – mereka hanya punya batu dan bom molotov. Meskipun begitu kami mendengar berbagai kisah bahwa IDF menembaki orang² tak bersenjata dan memukuli orang dengan pentungan. Laporan lain mengatakan sebanyak 30.000 anak² Palestina terluka parah sehingga memerlukan perawatan medis. Semua itu sungguh tak masuk akal bagiku.

Di suatu malam, ayahku pulang ke rumah sangat larut. Aku duduk di jendela, mengamati mobil kecilnya yang berbelok ke sudut jalan, perutku mengeluarkan suara karena rasa lapar. Meskipun ibu menyuruhku untuk makan dengan anak² yang lebih kecil, aku menolak, karena ingin menunggu sampai ayah pulang. Akhirnya aku mendengar suara mesin mobil tuanya dan berteriak bahwa ayah sudah pulang. Ibuku seketika menyajikan makanan² hangat dan mangkok² di meja makan.

“Maaf aku datang sangat lambat,” kata ayah. “Aku harus pergi ke luar kota untuk menyelesaikan pertikaian antara dua keluarga. Mengapa kau tidak makan?”

Dia lalu berganti baju dengan cepat, mencuci tangannya, dan duduk di ruang makan.

“Aku sangat lapar,” katanya sambil tersenyum. “Aku belum makan apapun sepanjang hari.” Hal ini memang sudah biasa karena dia tidak punya cukup uang untuk makan di luar. Aroma sedap masakan ibu zukini yang dipenuhi bumbu merebak ke seluruh ruangan.

Sewaktu kami duduk dan mulai makan, aku merasakan rasa bangga yang meluap atas ayahku. Aku bisa melihat kelelahan di wajahnya, tapi aku tahu dia sangat senang melakukan tugasnya. Rasa sayangnya terhadap masyarakatnya hanya bisa tersaingi oleh pelayanannya pada Allâh. Sewaktu aku melihat dia berbicara pada ibu dan saudara²ku, aku berpikir bahwa dia sangat berbeda dari kebanyakan pria Muslim. Dia tidak pernah berpikir dua kali untuk membantu ibuku di rumah atau mengurus kami anak²nya. Dia mencuci kaos kakinya sendiri setiap malam, agar ibuku tidak usah melakukannya. Hal ini tidak lumrah dalam masyarakat yang menganggap sudah jadi penghargaan bagi wanita untuk bisa membersihkan kaki lelaki setelah keluar sepanjang hari.

Saat kami bersama di meja makan, masing² anak bergilir menceritakan pada ayahku apa yang mereka pelajari di sekolah dan apa yang mereka lakukan. Karena aku adalah anak tertua, aku membiarkan adik²ku bicara terlebih dahulu. Tapi ketika giliranku tiba untuk bicara, terdengar suara ketukan di pintu belakang. Siapakah yang bertamu di malam selarut ini? Mungkin ada yang butuh pertolongan.

Aku lari ke pintu dan membuka jendela kecil di pintu untuk mengintip. Aku tidak mengenal orang itu.

“Abuk mawjud?” dia bertanya dalam bahasa Arab yang lancar, yang berarti, “Apakah ayahmu ada di rumah?” Dia berpakaian seperti orang Arab, tapi aku bisa merasakan ada yang janggal dari orang ini.

“Ya, dia ada di rumah,” kataku. “Biar kupanggil dia.” Aku tidak membuka pintu rumah.

Ayahku ternyata telah berdiri di belakangku. Dia membuka pintu dan beberapa prajurit Israel masuk ke dalam rumah kami. Ibuku cepat² mengenakan jilbabnya. Tak mengenakan penutup kepala di depan keluarga sendiri tidak jadi masalah, tapi tidak jika di hadapan orang² asing.

“Apakah kau Syeikh Hassan?” tanya orang asing itu.

“Ya,” jawab ayahku, “Akulah Syeikh Hassan.”

Orang itu memperkenalkan diri sebagai Kapten Shai dan menjabat tangan ayahku.

“Bagaimana kabarnya?” tanya prajurit itu dengan sopan. “Bagaimana keadaan sekitar? Kami dari IDF, dan kami ingin kau ikut dengan kami untuk lima menit saja.”

Apakah yang mereka inginkan dari ayahku? Aku memandang wajahnya untuk membaca ekspresinya. Dia tersenyum ramah pada orang itu, tanpa sedikit pun rasa curiga atau marah di matanya.

“Baiklah, aku akan pergi denganmu,” katanya sambil mengangguk pada ibuku dan berjalan menuju pintu.

“Tunggu di dalam rumah dan ayahmu akan segera kembali,” kata prajurit itu padaku. Aku mengikuti mereka keluar, memandangi sekitar untuk mencari apakah ada prajurit yang lain. Ternyata tidak ada. Aku duduk di tangga depan untuk menunggu ayahku kembali. Sepuluh menit berlalu. Satu jam. Dua jam. Ayah tetap tak kunjung datang.

Kami tak pernah melewatkan malam hari tanpa ayah sebelumnya. Meskipun dia sibuk terus-menerus, dia selalu pulang ke rumah di malam hari. Dia membangunkan kami di saat subuh untuk melakukan sholat setiap pagi, dan dia juga yang mengantar kami ke sekolah setiap hari. Apa yang kami lakukan jika dia tidak pulang malam hari itu?

Ketika aku kembali masuk, saudara perempuanku Tasnim sudah tertidur di sofa. Airmata masih nampak basah di pipinya. Ibuku mencoba menyibukkan diri di dapur, tapi setelah jam² berlalu, dia tampak semakin gelisah dan marah.

Keesokan harinya, kami pergi ke Palang Merah untuk mencari tahu ke mana ayah dibawa. Orang yang bertugas di sana mengatakan bahwa ayah sudah jelas ditangkap IDF tapi IDF tidak mau memberi keterangan apapun pada Palang Merah selama sedikitnya 18 hari.

Kami kembali pulang ke rumah sambil terus menghitung hari selama dua setengah minggu. Selama waktu menunggu, kami tidak mendengar apapun. Ketika 18 hari telah berlalu, aku mengunjungi Palang Merah lagi untuk mencari keterangan. Mereka mengatakan belum mendapat keterangan baru.

“Tapi kau mengatakan 18 hari!” kataku, sambil berusaha keras menahan airmata. “Katakan saja di mana ayahku berada.”

“Nak, pulanglah,” kata orang itu. “Kau bisa kembali minggu depan.”

Aku kembali lagi dan lagi selama 40 hari, dan aku mendapatkan jawaban yang selalu sama: “Tiada keterangan baru. Kembali minggu depan.” Ini sangat aneh. Biasanya keluarga² para tahanan Palestina tahu di mana anggota keluarga mereka ditahan dalam waktu dua minggu penahanan.

Ketika seorang tahanan dibebaskan, kami bertanya padanya apakah dia melihat ayahku. Mereka semua tahu dia telah ditahan, tapi mereka tak tahu keterangan lain apapun. Bahkan pengacaranya juga tidak tahu apapun karena dia dilarang menemuinya.

Kami kemudian mengetahui bahwa dia dibawa ke Maskobiyeh, pusat interogasi Israel, di mana dia disiksa dan ditanyai. Shin Bet, badan rahasia keamanan Israel, tahu bahwa ayah adalah tokoh utama Hamas dan mengira dia mengetahui semua yang terjadi dan sedang direncanakan. Mereka bertekad mencari tahu akan hal itu dari dirinya.

Bertahun-tahun kemudian ayah akhirnya memberitahu aku apa yang terjadi dengannya. Selama berhari-hari dia diborgol dan digantung di langit². Mereka menyetrumnya sampai dia pingsan. Mereka menempatkan dia dengan orang² yang bekerja bagi IDF, dengan harapan ayah akan bicara dengan mereka. Tapi setelah ini gagal, mereka lalu memukulinya lagi. Tapi ayah tetap kuat. Dia tetap diam saja, tidak menyerahkan informasi apapun pada Israel yang bisa mencelakakan Hamas atau masyarakat Palestina.