Musim Panas 2001
Sewaktu jam hampir menunjukkan pukul 2 siang, di tanggal 9 Agustus, 2001, Izz al-Din Shuheil al-Masri yang berusia 22 tahun, meledakkan diri di toko pizza Sbarro yang padat pengunjung di persimpangan Jalan Raja George dan Jalan Jaffa. Al-Masri berasal dari keluarga terpandang di Tepi Barat.
Serangan bom bunuh diri di toko pizza Sbarro di Yerusalem.
Bom yang dia bawa seberat sekitar 5 sampai 10 kg, dan bom meledak sambil melontarkan banyak paku, sekrup dan mur kepada kerumunan orang² di musim panas, membunuh 15 orang dan melukai 130 lainnya. Karena pemboman hebat ini dan juga pemboman Dolphinarium serupa beberapa bulan sebelumnya, masyarakat Israel bagaikan dibutakan oleh rasa duka dan amarah yang meluap. Siapapun kelompok yang melakukan serangan bom ini harus segera diketahui dan dihentikan sebelum banyak orang tak bersalah terbunuh lagi. Jika tidak segera dicegah, maka kejadian² seperti ini akan terus bergulir tak terkendali dan akhirnya akan berakibatkan kematian masal dan kesedihan tak terperikan di seluruh negara.
Shin Bet berulangkali mengumpulkan semua detail pemboman, sambil mencoba menghubungkan serangan bom ini dengan lima orang yang dulu kutempatkan di apartemen di Al Hajal, Ramallah - kelima orang ini adalah Muhammad Jamal al-Natsheh, Saleh Talahme, Ibrahim Hamed, Sayyed al-Sheikh Qassem, dan Hasaneen Rummanah. Meskipun begitu, Shin Bet tetap tidak menemukan bukti apapun yang menghubungkan mereka dengan pemboman² di Dolphinarium dan Sbarro.
Siapa yang mampu menciptakan bom sehebat itu? Tentunya bukan sekedar mahasiswa kimia dan teknik biasa saja. Kami tahu kelima orang itu, nilai² ujian mereka, dan apa yang mereka makan di pagi hari.
Siapapun yang merakit bom² ini tentunya adalah seorang ahli dalam bidangnya, dan tampaknya tak berhubungan dengan organisasi Palestina manapun, dan masih di luar radar pengamatan kami. Tetapi kami harus menemukan orang ini sebelum dia membuat bom baru. Orang ini sangat amat berbahaya.
Yang tak kami ketahui saat itu adalah orang² Arafat telah menerima telepon dari CIA tak lama setelah serangan bom Sbarro. “Kami tahu siapa yang membuat bom,” kata agen² Amerika pada mereka. “Namanya adalah Abdullah Barghouti; dia hidup bersama saudaranya Bilal Barghouti. Ini alamat rumah mereka. Cepat tangkap mereka.”
Dalam waktu beberapa jam saja, Abdullah dan Bilal Barghouti sudah berada ditangani PA - bukan karena Pemerintah Palestina ingin menangkap mereka, tapi agar uang dan dukungan logistik dari AS terus mengalir ke PA. Arafat tahu bahwa dia setidaknya harus menyiratkan bahwa PA berperan pula dalam menjaga perdamaian. Aku yakin Arafat lebih suka menganugerahkan medali penghargaan bagai Abdullah Barghouti daripada memenjarakannya.
Tak lama setelah Abdullah Barghouti berdiam dengan nyaman dalam Pusat Keamanan Pencegahan (Preventive Security Headquarters) milik PA, Barghouti yang lain - yakni Marwan Barghouti (bukan saudara dan tak ada hubungan darah dengan Abdullah Barghouti) yang adalah ketua Fatah, muncul untuk mencoba membebaskan Abdullah Barghouti. Tapi PA tidak mau membebaskan Abdullah - AS telah meletakkan Abdullah ke pangkuan PA, dan AS tentunya mengharapkan PA menangkap Abdullah. Israel juga berharap hal yang sama dengan AS, dan akan bersikap lebih keras jika PA tidak melakukan tanggungjawabnya. Maka Marwan memberi Abdullah makanan, pakaian, dan uang, dan mengganti penjara menjadi kurungan rumah saja - sehingga Abdullah tetap bisa bekerja di kantor yang nyaman, sambil merokok, menikmati kopi, dan ngobrol bersama para pejabat tinggi keamanan PA.
Marwan Barghouti, ketua Fatah.
Meskipun bukan bersaudara, Marwan Barghouti dan Abdullah Barghouti memiliki banyak kesamaan latar belakang. Mereka berdua punya hubungan kuat dengan Muhaned Abu Halawa, psikopat yang berusia 23 tahun, dan juga ajudan dari Ahmad Ghandour (pemimpin Brigade Syahid Al-Aqsa).
Halawa adalah komandan medan perang Fatah dan anggota Pasukan 17. Jika kau membayangkan tentara komando elit seperti Pasukan 17 atau Garda Republik punya Saddam Hussein, tentunya yang terbayang adalah tentara yang sangat disiplin, ahli dalam berbagai hal, dan sangat terlatih. Tapi tidak begitu kenyataannya dengan Halawa. Dia adalah orang tak berpendidikan yang berperilaku seenaknya, sambil pergi ke mana² membawa senjata² berat yang diletakkan di mobil Jeepnya. Halawa secara rutin membagi-bagikan senjata² ini pada para extrimis dan orang² tak bermoral, yang lalu segera membawa senjata² itu ke pos² pemeriksaan untuk menembaki para prajurit dan warga Israel secara membabi-buta.
Contoh perbuatan mereka bisa dilihat di bulan Mei, ketika Halawa memberikan dua buah senjata AK-47 dan sekarung peluru pada seorang pria. Tak lama kemudian, pria ini dan temannya bersembunyi untuk melakukan serangan mendadak di jalanan keluar Yerusalem dan mereka menembakkan 13 peluru kepada biarawan Kristen Yunani Ortodox bernama Tsibouktsakis Germanus. Halawa menghadiahi para pembunuh ini dengan lebih banyak senjata untuk melakukan serangan yang direncanakannya di Universitas Ibrani di Bukit Scopus.
Mudah dimengerti jikalau Pemerintah Israel menugaskan Shin Bet untuk menyingkirkan Halawa selamanya. Karena koneksiku dengan Hamas, maka aku adalah satu²nya orang yang bisa mengenalinya. Tapi untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku menghadapi dilema moral yang berat. Bathinku menolak untuk membunuh orang ini, meskipun dia sangat jahat.
Aku pulang ke rumah dan mengambil Alkitab Perjanjian Baruku yang sekarang sudah kumel karena terlalu sering kubaca. Aku mencari dan mencari, tapi tak menemukan keterangan yang mengijinkan pembunuhan. Tapi aku juga takut akan darah korban yang melumuri tanganku jika aku membiarkan Halawa tetap hidup dan terus membunuhi orang². Aku merasa bingung.
Aku terus berpikir dan akhirnya berdoa pada Tuhan yang Maha Kuasa, sampai akhirnya aku mengatakan, Ampuni aku, Tuhan, untuk apa yang akan kulakukan. Ampuni aku. Orang ini tidak bisa dibiarkan terus hidup.
“Wah, bagus tuh,” kata Laoi, ketika kusampaikan keputusanku. “Kita akan membereskan orang ini. Kau hanya perlu meyakinkan bahwa Marwan Barghouti tidak sedang bersama Halawa dalam mobil.”
Marwan bukan hanya tokoh penting Palestina, tapi dia juga teroris tulen yang tangannya berlumuran darah orang² Israel yang dibunuhnya secara pribadi. Meskipun Shin Bet sangat membencinya, tapi mereka tidak mau membunuhnya, karena itu hanya akan membuat Marwan tampak sebagai pahlawan syahid yang hebat.
Di tanggal 4 Agustus, 2001, aku sedang duduk di mobilku di luar kantor Marwan Barghouti sewaktu kulihat Halawa berjalan masuk kantor. Dua jam kemudian, dia keluar kantor, masuk ke dalam mobil VW Golf warna emas, dan lalu pergi. Aku menelepon Shin Bet dan mengatakan bahwa Halawa berada sendirian dalam mobilnya.
Dari dalam sebuah tank di puncak bukit, prajurit² IDF mengamati kedatangan mobil Halawa, menunggu sampai tiada warga sipil didekatnya, untuk menembaknya. Sebuah peluru tank ditembakkan ke arah jendela depan mobilnya, tapi tampaknya Halawa melihat itu, sehingga dia meloncat keluar mobil. Mobilku - hanya berjarak beberapa ratus meter darinya - terguncang karena kekuatan ledakan. Peluru kedua meleset dan mengenai aspal jalanan. Mobil VW Gold terbakar hebat, dan begitu juga Halawa - tapi dia belum mati. Sewaktu aku melihatnya berlari di jalanan sambil menjerit-jerit kesakitan dengan api menyelimuti tubuhnya, jantungku berdetak keras sekali seakan mau meloncat keluar dari dadaku.
Waduh, kasihan sih sebenarnya.
“Ngapain kamu di sana?!” jerit Shin Bet melalui ponselku ketika mereka melihat mobilku tampak dekat dengan tempat kejadian. “Apakah kau mau mati? Pergi segera!”
Meskipun sebenarnya aku tidak boleh berada dekat tempat serangan, aku menyetir mobilku ke sana untuk melihat apa yang akan terjadi. Aku merasa bertanggungjawab dan wajib tahu karena aku adalah bagian dari operasi ini. Memang keputusanku itu bodoh. Jika orang Palestina melihat mobilku di situ, maka mereka akan tahu bahwa aku terlibat dalam usaha pembunuhan Halawa.
Di malam harinya, aku pergi bersama ayah dan Marwan Barghouti ke rumah sakit untuk menjenguk Halawa. Wajahnya terluka hebat sampai² aku tak berani melihatnya. Tapi dia tampak terlalu fanatik untuk bisa mati semudah itu.
Dia menyembunyikan diri selama beberapa bulan, dan kudengar dia tidak sengaja menembak dirinya sendiri sampai² hampir mati kehabisan darah. Tapi bahkan ini pun tidak sanggup membuatnya berhenti membunuhi orang² Israel. Dia tetap saja melakukan hal itu. Lalu di suatu hari, Loai meneleponku.
“Ada di mana kamu?”
“Aku sedang berada di rumah.”
“Baiklah, tetap tinggal di sana.”
Helikopter Apache Israel yang didapat dari AS.
Aku tak bertanya apa yang sedang terjadi. Aku telah belajar untuk mentaati petunjuk Loai. Dua jam kemudian, Loai menelepon lagi. Rupanya, Halawa sedang makan bersama beberapa temannya di restoran ayam goreng tak jauh dari rumahku. Seorang mata² Israel melihatnya dan memberitahu Shin Bet tentang hal itu. Ketika Halawa dan teman²nya meninggalkan restoran, dua helikopter Israel muncul di udara dan menembakkan misil. Selesai sudah riwayat mereka.
Setelah Halawa dibunuh, beberapa anggota Brigade Syahid Al-Aqsa datang ke restoran dan menemukan pemuda usia 17 tahun yang adalah satu dari orang² yang telah terakhir kali ditemui Halawa sebelum dia masuk mobil. Pemuda ini adalah yatim piatu tanpa keluarga yang melindunginya. Maka mereka menyiksanya sedemikian rupa sampai dia mengaku sebagai mata² Israel. Mereka menembaknya, mengikat tubuhnya di bagian belakang mobil, menyeretnya di sepanjang jalanan Ramallah, dan menggantungnya di menara alun².
Di saat yang sama, media mulai menjeritkan bahwa Israel telah berupaya membunuh Marwan Barghouti, tapi tentunya berita ini salah. Aku tahu betul bahwa Shin Bet tidak berusaha membunuhnya. Tapi tampaknya semua orang lebih percaya pada koran dan Al-Jazira, sehingga Marwan Barghouti lalu mengambil kesempatan dari kejadian ini. Dia mulai membual, “Iya, memang mereka mencoba membunuhku, tapi aku lebih cerdik daripada mereka.”
Ketika Abdullah Barghouti mendengar tentang berita itu di penjara, dia mempercayai ucapan Marwan Barghouti dan mengirim bom² rakitannya ke para pembantu Marwan untuk dipakai dalam rangka balas dendam terhadap orang² Israel. Marwan sangat berterima kasih atas usaha Abdullah dan merasa berhutang budi padanya.
Munculnya Abdullah Barghouti mengakibatkan terjadinya perubahan dramatis dalam konflik antara Israel dan Palestina. Pertama, bom rakitannya jauh lebih canggih dan lebih dahsyat daripada yang pernah kami lihat sebelumnya, dan hal ini membuat Israel lebih mudah diserang dan menambah tekanan pada badan keamanan Israel untuk segera menghentikan serangan² bom.
Kedua, Intifada Al-Aqsa tidak lagi terbatas di Palestina saja. Abdullah Barghouti adalah orang luar, yang lahir di Kuwait. Ancaman apa lagi yang mengincar Israel di perbatasannya?
Ketiga, Abdullah Barghouti bukanlah orang yang bisa dengan mudah dilacak. Dia bukan anggota Hamas atau PA. Dia hanya seorang diri saja, yang bagaikan mesin kematian misterius yang bekerja sendiri.
Tak lama setelah penangkapan Abdullah Barghouti, PA meminta Marwan untuk bertanya padanya apakah ada serangan² berikut yang direncanakannya.
“Baiklah,” kata Marwan. “Aku akan minta Hassan Yousef bicara padanya.”
Marwan tahu ayahku sangat menentang korupsi politik dalam Pemerintahan Palestina dan telah mendengar usaha ayah untuk mendamaikan Hamas dan PA. Dia menelepon ayahku, dan ayah setuju untuk bicara dengan Abdullah Barghouti.
Ayah sebelumnya belum pernah bertemu dengan Abdullah Barghouti, yang sudah jelas bukanlah anggota Hamas. Ayah memperingatkan Abdullah, “Jika kau punya rencana rahasia, kau harus memberitahu PA agar kita bisa menundanya, sehingga Israel tidak menekan kita lebih hebat lagi, setidaknya sampai beberapa minggu. Jika terjadi pemboman sehebat bom² yang meledakkan Dolphinarium atau Sbarro, Israel akan menyerang Tepi Barat dengan kekuatan penuh. Mereka akan menangkapi para pemimpin PA, termasuk kamu juga.”
Abdullah mengakui bahwa dia telah mengirim sejumlah bom ke Nablus, di mana para teroris akan memasukkan bom² itu ke dalam empat buah mobil, mengelilingi Perdana Menteri Israel Shimon Peres ketika dia sedang berada di perjalanan, dan meledakkan keempat mobil itu untuk membunuh Shimon Peres. Dia juga mengaku bahwa sebagian aggota Hamas di utara akan membom beberapa pejabat negara Israel. Tapi dia tidak tahu siapakah para pembom ini, siapa target mereka, atau siapa yang merencanakan pembunuhan Peres. Dia hanya punya nomer telepon mereka saja.
Ayahku pulang ke rumah dan memberitahu aku apa yang baru saja diketahuinya. Kami menduga mereka akan membunuh salah satu pejabat Israel yang tertinggi, yakni Menteri Luar Negeri. Perkembangan ini menegangkan.
Tentu saja kami lalu berusaha untuk menelepon orang yang menelepon Abdullah. Marwan Barghouti tidak mau Abdullah menggunakan teleponnya dan ayahku juga tidak mau Abdullah menggunakan teleponnya pula. Kami menyadari bahwa Israel akan menyadap pembicaraan telepon, dan tiada seorang pun dari mereka yang ingin terlibat dalam operasi teroris besar ini.
Maka ayahku menyuruhku membeli ponsel yang setelah selesai dipakai, bisa langsung dibuang. Aku membeli telepon, menulis nomer teleponnya, dan memberi tahu Shin Bet agar mereka bisa menyadapnya.
Abdullah lalu menelepon para penghubungnya di Nablus dan memberitahu untuk menunda melakukan serangan bom sampai ada perintah baru. Setelah pihak keamanan Israel tahu akan rencana pembunuhan ini, mereka menjaga para pejabat anggota Knesset dan Kabinet Negara lebih ketat lagi. Akhirnya, setelah dua bulan penuh serangan bom, keadaan jadi lebih tenang lagi.
Di saat itu, Marwan tetap berusaha membebaskan Abdullah Barghouti, karena Abdullah tidak hanya mampu merakit bom² canggih baginya, tapi juga karena Marwan ingin Abdullah bebas melanjutkan pembunuhan atas orang² Israel lagi. Selain merupakan salah seorang pemimpin dalam Intifada Kedua, Marwan Barghouti juga adalah seorang teroris murni yang secara pribadi suka menembaki prajurit² dan warga sipil Israel.
Akhirnya PA membebaskan Abdullah Barghouti. Shin Bet jadi sangat murka.
Lalu semuanya menjadi lebih kacau lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar