1992-1994
Di tanggal 13 Desember, 1992, lima anggota al-Qassam menculik polisi perbatasan Israel bernama Nissim Toledano dekat Tel Aviv. Mereka menuntut pihak Israel untuk melepaskan Syeikh Ahmed Yassin. Israel menolak. Dua hari kemudian, mayat Toledano ditemukan, dan Israel lalu melancarkan serangan keras terhadap Hamas. Dalam waktu sekejap, lebih dari 1.600 orang Palestina ditangkap. Lalu Israel mengambil keputusan untuk diam² mendeportasi 415 pemimpin Hamas, Jihad Islam (Islamic Jihad), dan Persaudaraan Muslim. Diantara mereka adalah ayahku, yang sedang dipenjara, dan tiga pamanku.
Aku baru berusia 14 tahun saat itu, dan kami tidak tahu apa yang sedang terjadi. Sewaktu berita mulai tersebar, kami akhirnya bisa mengumpulkan keterangan dari sana sini untuk menduga bahwa ayahku kemungkinan dimasukkan ke dalam kelompok guru, pemimpin agama, insinyur, dan pekerja sosial yang diborgol, ditutup mata, dan dimasukkan ke dalam bus. Beberapa jam setelah kabar tersebar, para pengacara dan pejuang HAM mulai mengajukan petisi protes. Bus² dihentikan saat Pengadilan Tinggi Israel bertemu pada jam 5 pagi untuk membahas tantangan² hukum yang diajukan. Selama 14 jam perdebatan, ayahku dan tawanan lain yang bakal dideportasi tetap berada dalam bus. Borgol dan penutup mata tetap dipasang. Tiada makanan. Tiada air minum. Tiada waktu jeda untuk buang air. Akhirnya, pihak pengadilan mendukung keputusan Pemerintah, dan bus² lalu menuju ke utara. Kami nantinya mengetahui bahwa bus² ini dilajukan ke daerah tak bertuan di sebelah selatan Lebanon yang ditutupi salju. Saat itu adalah pertengahan musim dingin, dan para penumpang bus diturunkan di tempat itu tanpa tersedia tempat bernaung. Baik pihak Israel maupun Lebanon tidak memperkenankan badan² kemanusiaan mengirim makanan atau obat²an. Beirut tidak mau mengirim orang² yang sakit dan terluka ke rumah sakit.
Di tanggal 18 Desember, Konsul Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 799, yang meminta orang² yang dideportasi “dikembalikan dengan segera dengan selamat.” Israel menolak. Kami selalu bisa mengunjungi ayah ketika dia dipenjara, tapi karena perbatasan Lebanon ditutup, kami tidak bisa menemuinya di pengasingan. Dua minggu kemudian, kami akhirnya melihat dia di layar TV untuk pertama kalinya sejak dia dideportasi. Rupanya, para anggota Hamas telah menjulukinya sebagai sekretaris jendral kamp itu, dan merupakan orang kedua setelah Abel Aziz al-Rantissi, ketua Hamas yang lain.
Setiap hari setelah itu, kami menonton berita sambil berharap melihat wajah ayah lagi. Kadangkala kami bisa melihat dia memakai pengeras suara tanduk kerbau untuk memberikan pidato pada orang² yang diasingkan itu. Ketika musim semi tiba, dia bisa mengirim pada kami surat dan foto² yang diambil para wartawan dan anggota organisasi kemanusiaan. Akhirnya orang² yang diasingkan bisa memiliki ponsel dan kami bicara dengan ayah selama beberapa menit setiap minggu.
Dalam usaha menggalang simpati bagi orang² yang diasingkan, pihak media mewawancarai anggota² keluarga mereka. Saudara perempuanku Tasnim membuat seluruh dunia menangis tatkala dia menjerit, “Baba! Baba!” (Ayah! Ayah!) di hadapan kamera. Entah kenapa, keluarga kami tampaknya jadi wakil tak resmi atas keluarga² lainnya. Kami diundang untuk menghadiri protes, termasuk demonstrasi di hadapan kantor Perdana Menteri Israel di Yerusalem. Ayahku berkata pada kami bahwa dia merasa sangat bangga, dan kami pun senang melihat banyak dukungan dari masyarakat dunia, bahkan orang² Israel yang menuntut perdamaian. Enam bulan kemudian, kami mendengar bahwa 101 orang yang diasingkan diperbolehkan untuk pulang. Seperti keluarga² lainnya, kami sangat berharap ayah ada diantara mereka.
Tapi ternyata dia tidak ada.
Keesokan harinya, kami menemui para pahlawan yang telah kembali dari Lebanon untuk menanyakan apakah ada kabar tentang ayah. Tapi yang hanya bisa mereka sampaikan adalah bahwa dia baik² saja dan akan segera pulang. Tiga bulan berlalu sebelum akhirnya pihak Israel bersedia mengirim semua yang tersisa pulang. Kami senang sekali mendengar hal itu.
Di hari yang telah dijanjikan, kami menunggu dengan tak sabar di penjara Ramallah di mana sisa orang² yang diasingkan akan dibebaskan. Sepuluh orang keluar. Dua puluh. Dia ternyata tidak ada diantara mereka. Orang terakhir lewat di hadapan kami, dan prajurit berkata hanya itu saja yang ada. Tiada sedikit pun tanda² kehadiran ayah dan tiada keterangan apapun tentang keberadaannya. Keluarga² lain menyambut orang yang mereka kasihi dengan penuh suka cita, sedangkan kami diam saja di tengah² malam hari tanpa mengetahui di manakah ayah berada. Kami pulang ke rumah dengan rasa kecewa, putus asa, dan khawatir. Mengapa dia tidak ada diantara mereka? Di manakah dia sekarang?
Keesokan harinya, pengacara ayah memberitahu bahwa ayah kami dan beberapa orang yang dideportasi lainnya telah kembali dipenjara. Rupanya, katanya, deportasi ini tidak menguntungkan pihak Israel. Sewaktu di pengasingan, ayah dan para pemimpin Palestina lainnya malah jadi berita internasional, mendapatkan simpati dunia karena mereka menganggap hukuman yang dijatuhkan berlebihan dan melanggar kemanusiaan. Di seluruh dunia Arab, orang² ini dipandang sebagai pahlawan, dan dengan begitu mereka jadi lebih penting dan berpengaruh.
Deportasi ini juga menimbulkan efek lain yang sangat jelek bagi Israel. Tawanan² menggunakan waktu mereka di pengasingan untuk membangun hubungan antara Hamas dan Hezbollah, organisasi Islam politik dan militer di Lebanon. Pertemuan ini menciptakan hubungan yang bersejarah. Ayah dan para pemimpin Hamas seringkali meninggalkan kamp agar tak terlihat oleh media untuk bertemu dengan para pemimpin Hezbollah dan Persaudaraan Muslim. Hal ini tidak bisa mereka lakukan di dalam daerah Palestina.
Ketika ayah dan orang² tersebut berada di Lebanon, anggota² Hamas yang paling radikal masih bebas dan mereka menjadi jauh lebih ganas daripada sebelumnya. Dan sewaktu anggota² baru radikal berkuasa untuk sementara dalam Hamas, kesenjangan antara Hamas dan PLO semakin lebar.
PM Israel Yitzhak Rabin berjabat tangan dengan Yasser Arafat di hadapa Presiden AS Bill Clinton.
Di saat itu, Israel dan Yasser Arafat mengadakan negosiasi rahasia, yang menghasilkan Perjanjian Oslo (Oslo Accords) di tahun 1993. Di tanggal 9 September, Arafat menulis surat pada PM Israel Yitzhak Rabin di mana Arafat mengakui secara resmi “hak Negara Israel untuk berdiri dengan aman dan damai” dan menolak “penggunaan terorisme dan segala aksi kekerasan.”
Rabin lalu juga mengakui PLO secara resmi sebagai “perkawilan masyarakat Palestina,” dan Presiden Bill Clinton mencabut larangan pihak Amerika untuk menghubungi PLO. Di tanggal 13 September, dunia terheran-heran melihat foto Arafat dan Rabin berjabatan tangan di Gedung Putih. Pengumpulan pendapat menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Palestina di Tepi Barat dan Baza mendukung isi Perjanjian tersebut, yang juga dikenal sebagai Deklarasi Prinsip (Declaration of Principles = DOP). Dokumen perjanjian ini kemudian menciptakan Otoritas Palestina (Palestinian Authority = PA); yang meminta tentara Israel ditarik dari Gaza dan Yerikho; mengembalikan kekuasaan pada penghuni daerah itu; dan membuka pintu bagi Arafat dan juga bagi PLO dari pengasingan di Tunisia.
Tapi ayahku menentang DPO. Dia tidak percaya akan Israel atau PLO dan karenanya tidak percaya pada proses perdamaian tersebut. Pemimpin Hamas lainnya, jelasnya, punya alasan sendiri dalam menentang DPO, termasuk menduga perjanjian damai itu sebenarnya adalah tongkat pemukul. Hidup berdampingan secara damai dengan Israel berarti berakhirnya Hamas. Dari sudut pandang mereka, organisasi Hamas tidak bisa hidup dalam lingkungan damai. Kelompok² perlawanan lain juga terus saja melakukan kekerasan. Sungguh sukar mencapai perdamaian di mana terdapat begitu banyak tujuan dan minat yang berbeda.
Karena itu, penyerangan terus dilakukan:
○ Seorang pria Israel ditusuk sampai mati pada tanggal 24 September oleh feda’iyin Hamas di sebuah perkebunan di Basra.
○ Barisan Depan Populer bagi Pembebasan Palestina dan Jihad Islam mengatakan bertanggung jawab atas kematian dua orang Israel di gurun pasir Yudea dua minggu kemudian.
○ Dua minggu setelah itu, Hamas menembak bati dua prajurit IDF di luar daerah perumahan Yahudi di Gaza.
Tapi semua pembunuhan ini tidak jadi berita utama media seperti pembantaian Hamas di hari Jum’at, 25 Februari, 1994.
Sewaktu perayaan Yahudi Purim dan bulan suci Muslim Ramadan, seorang dokter Yahudi yang lahir di Amerika bernama Baruch Goldstein masuk Mesjid Al-Haram Al-Ibrahimi di Hebron. Menurut tradisi, Adam dan Hawa, Abraham dan Sarah, Ishak dan Rebeka, dan Yakub dan Lea dikuburkan di mesjid ini. Tanpa peringatan apapun, Goldstein menembaki orang², membunuh 25 orang Palestina yang datang untuk sholat dan melukai lebih dari 100 orang lainnya sebelum dia sendiri akhirnya dipukuli sampai mati oleh massa yang mengamuk.
Dr. Baruch Goldstein, pelaku pembantaian Hebron.
Kami duduk dan menonton melalui layar TV satu persatu mayat berdarah dibawa dari tempat suci itu. Aku sangat amat terkejut. Semuanya terasa bergerak secara lamban. Di satu saat jantungku berdebar dengan kemarahan yang belum pernah kurasakan sebelumnya, kemarahan yang mengejutkan dan lalu menenangkan diriku. Di menit kemudian, aku merasa beku karena rasa duka. Lalu aku tiba² marah lagi – dan lalu terasa beku lagi. Tapi aku tidak sendirian merasakan hal ini. Tampaknya emosi masyarakat Palestina juga bangkit dan tenggelam dalam ritme yang sureal, dan membuat kami merasa lelah.
Karena Goldstein memakai baju tentara militer Israel dan jumlah prajurit IDF di tempat itu lebih sedikit daripada biasanya, maka orang² Palestina yakin bahwa dia memang dikirim oleh Pemerintah di Yerusalem. Bagi kami, prajurit yang senang menarik pelatuk senjata atau warga sipil Yahudi sinting adalah sama saja dan tak ada bedanya. Hamas sekarang bicara dengan kemarahan meluap. Mereka ingin balas dendam atas pengkhianatan ini.
Pada tanggal 6 April, sebuah bom mobil meledakkan bus di Afula, menewaskan 8 dan melukai 44 orang. Hamas berkata ini adalah pembalasan dendam atas Hebron. Di hari yang sama, dua orang Israel ditembak mati dan empat lainnya terluka saat Hamas menyerang sebuah bus yang sedang berhenti di dekat Ashdod.
Serangan bom bunuh diri pertama di Israel, 13 April, 1994.
Seminggu kemudian, sejarah baru terjadi ketika untuk pertamakalinya Israel mengalami serangan bom bunuh diri pertama yang resmi. Di hari Rabu pagi, tanggal 13 April, 1994 – hari yang sama ayah akhirnya dibebaskan dari penjara setelah dideportasi ke Lebanon – seorang pemuda Palestina usia 21 tahun bernama Amar Salah Diab Amarna masuk ke stasiun bus Hadra yang terletak diantara Haifa dan Tel Aviv di Israel Tengah. Dia membawa tas penuh metal dan lebih dari dua kilogram bahan peledak aseton peroksaid yang dirakit sendiri. Pada jam 9:30, dia naik bus ke Tel Aviv. Sepuluh menit kemudian, sewaktu bus keluar dari stasiun, dia meletakkan tas di lantai dan meledakkannya.
Pecahan bom menembus para penumpang dalam bus, membunuh 6 orang dan melukai 30 orang. Bom pipa yang kedua meledak di tempat yang sama, saat para pekerja palang merah tiba. Ini merupakan “serangan kedua dari lima serangan” sebagai balas dendam bagi Hebron, demikian diumumkan dalam sebuah pamflet Hamas.
Aku merasa bangga atas Hamas dan menganggap serangan² ini sebagai kemenangan besar atas pendudukan Israel. Di usia 15 tahun, aku melihat segalanya dalam hitam dan putih saja. Ada pihak yang baik dan pihak yang jahat. Pihak yang jahat layak menerima segala musibah yang mereka alami. Aku melihat bagaimana besar kehancuran yang disebabkan oleh bom dua kilogram penuh dengan paku² dan kelereng² metal terhadap daging manusia. Kuharap pihak Israel menangkap pesan keras kami.
Mereka ternyata memang menangkap pesan dengan jelas.
Setiap kali terjadi pemboman bunuh diri, para sukarelawan Yahudi Ortodox yang dikenal sebagai ZAKA (Disaster Victim Identification = Pengenalan Korban Musibah) datang di tempat, mengenakan rompi kuning. Tugas mereka adalah mengumpulkan darah dan sisa² tubuh manusia - termasuk korban non-Yahudi dan pembom sendiri - dan semuanya lalu dibawa ke pusat forensik di Jaffa. Para ahli patologi di sana bertugas mengumpulkan data bagian² tubuh yang tersisa untuk mengetahui jati diri korban. Seringkali hanya test DNA saja yang bisa menghubungkan sisa tubuh seseorang dengan sisa tubuhnya yang lain.
Sukarelawan ZAKA mengumpulkan sisa² tubuh korban.
Anggota keluarga korban yang belum menemukan keluarga mereka diantara yang terluka di rumah sakit-rumah sakit lokal akan dianjurkan untuk memeriksa di Jaffa, di mana akhirnya kebanyakan dari mereka jadi terkejut bercampur rasa duka yang besar.
Para ahli patologi seringkali menasehati para keluarga untuk tidak melihat sisa² tubuh korban. Mereka memberitahu bahwa sebaiknya pihak keluarga mengingat keluarga yang mereka cintai sebagaimana mereka utuh sewaktu masih hidup. Tapi kebanyakan dari keluarga tetap ingin menyentuh tubuh korban keluarga mereka, bahkan jika yang tersisa hanyalah sebuah tapak kaki saja.
Karena hukum Yahudi mewajibkan seluruh tubuh mayat dikubur di hari yang sama orang itu mati, mereka pertama mengubur sisa² tubuh yang berukuran besar. Bagian² tubuh yang kecil dikuburkan kemudian, setelah identifikasi DNA dilakukan, dan ini mengorek lagi luka yang telah diderita para anggota keluarga.
Meskipun Hadera adalah pembom bunuh diri resmi yang pertama, sebenarnya usahanya adalah usaha ketiga bom bunuh diri yang dilakukan, dan ini merupakan bagian dari fase uji coba yang dilakukan ahli bom Hamas bernama Yahya Ayyash dalam menyempurnakan hasil karyanya. Ayyash adalah mahasiswa teknik di Universitas Birzeit. Dia bukanlah Muslim radikal atau pejuang nasionalis. Dia marah hanya karena dia dulu pernah meminta ijin untuk melanjutkan studinya di negara lain, dan Pemerintah Israel menolak permintaannya. Karena itu dia lalu bikin bom² dan menjadi pahlawan bagi masyarakat Palestina dan menjadi orang yang paling dicari Israel.
Selain dua usaha bom bunuh diri yang gagal dan pemboman bunuh diri di tanggal 6 dan 13 April, Ayyah pada akhirnya bertanggungjawab atas kematian sedikitnya 39 orang dalam lima serangan bunuh diri berikutnya. Dia juga mengajar yang lain, seperti kawannya Hassan Salameh, untuk membuat bom.
Selama Perang Teluk, Yasser Arafat mendukung serangan Saddam Hussein ke Kuwait, dan ini membuat dia dijauhi Amerika Serikat dan negara² Arab yang mendukung tentara sekutu melawan Iraq. Karena ini pulalah maka negara² itu mengalihkan dana bantuan keuangan dari PLO ke Hamas.
Meskipun begitu, Arafat tetap terpandang karena berhasil menciptakan Perjanjian Oslo. Setahun kemudian, dia, PM Israel Yitzhak Rabin, dan Menlu Israel Shimon Peres menerima Hadiah Perdamaian Nobel.
Perjanjian Oslo mewajibkan Arafat untuk mendirikan Pemerintahan Nasional Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Maka pada tanggal 1 Juli, 1994, dia berkunjung ke perbatasan Mesir yakni Rafah, dekat Gaza, dan lalu tinggal di sana.
“Kesatuan nasional,” katanya pada kumpulan massa yang merayakan dia kembali dari pengasingan, “adalah ... perisai kita, perisai masyarakat kita. Kesatuan. Kesatuan. Kesatuan.” [3] Tapi daerah² Palestina sangatlah tidak bersatu.
[3] "Kembalinya Arafat: Kesatuan adalah Perisai Masyarakat Kita," New York Times, 2 Juli, 1994, http://www.nytimes.com/1994/07/02/world ... eople.html (diakses tanggal 23 November, 2009).
Hamas dan pendukungnya marah terhadap Arafat yang telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Israel dan berjanji pada masyarakat Palestina bahwa mereka tidak perlu lagi berperang. Teman² kami masih berada di penjara² Israel. Kami tidak punya negara Palestina. Satu²nya otonomi yang kami miliki hanyalah kota Yerikho di Tepi Barat - kota kecil yang tak punya apapun - dan Gaza yang hanya sekedar kamp penampungan besar dan terlalu padat terletak dekat pantai.
Sekarang Arafat duduk bersama dengan orang² Israel di meja yang sama dan berjabatan tangan. “Bagaimana dengan darah orang² Palestina?” tanya kami pada satu sama lain. “Apakah dia menganggap darah itu murah sekali?”
Di lain pihak, sebagian orang Palestina beranggapan bahwa setidaknya PA menyerahkan Gaza dan Yerikho pada kami. Sedangkan apa yang dicapai Hamas selama ini bagi kami? Apakah Hamas berhasil membebaskan satu desa kecil Palestina saja?
Mungkin pemikiran mereka masuk akal. Tapi Hamas tidak percaya pada Arafat - terutama karena dia tidak keberatan akan Negara Palestina di dalam Israel dan bukannya merebut kembali seluruh daerah Palestina sebelum negara Israel berdiri.
“Kalian ingin kami berbuat apa?” tanya Arafat dan para juru bicaranya setiap kali mereka didesak. “Selama berpuluh tahun, kami memerangi Israel dan menyadari kami tidak akan bisa menang. Kami dibuang dari Yordania dan Lebanon dan terdampar di Tunisia yang jauhnya lebih dari 1.000 mil dari tempat asal. Masyarakat internasional juga menentang kami. Kami tak punya kekuatan. Uni Sovyet rubuh, dan membuat AS menjadi satu²nya negara adidaya, dan AS juga mendukung Israel. Kami diberi kesempatan untuk mendapatkan semua yang kami miliki sebelum terjadi Perang Enam Hari di 1967 dan untuk memerintah diri kami sendiri. Inilah kesempatan yang kami ambil.”
Beberapa bulan sebelum tiba di Gaza, Arafat mengunjungi Ramallah untuk pertama kalinya. Diantara lusinan para pemimpin agama, politik, dan bisnis, ayahku berdiri dalam barisan orang yang menyambut Arafat. Ketika pemimpin PLO itu tiba di hadapan Syeikh Hassan Yousef, dia mencium tangan ayahku, sebagai tanda bahwa dia mengakuinya sebagai pemimpin agama dan juga pemimpin politik.
Tahun berikutnya, ayahku dan para pemimpin Hamas sering bertemu dengan Arafat di kota Gaza dalam usaha rujuk dan menyatukan PA dan Hamas. Tapi pembicaraan gagal ketika Hamas akhirnya menolak untuk berpartisipasi dalam proses perdamaian. Perbedaan ideologi dan tujuan kami tidak dapat disatukan.
Perubahan Hamas menjadi organisasi teroris sepenuhnya telah lengkap sudah. Banyak dari anggota mereka yang telah memanjat tangga Islam dan berada di puncak tangga. Para pemimpin politik moderat seperti ayahku tidak akan memberitahu para militan bahwa yang mereka lakukan salah. Para pemimpin itu tidak bisa mengatakan begitu; atas dasar apa perbuatan militan itu dianggap salah? Para militan itu didukung sepenuhnya oleh Qur’an.
Meskipun belum pernah membunuh orang secara langsung, ayahku setuju saja dengan serangan² yang dilakukan. Pihak Israel yang tak mampu menemukan dan menangkap militan² muda yang ganas, jadi mengarah pada sasaran empuk seperti ayahku. Kupikir mungkin mereka mengira karena ayah adalah pemimpin Hamas yang memerintahkan penyerangan² tersebut, keputusan memenjarakan ayah akan bisa menghentikan serangan. Tapi pihak Israel tidak pernah benar² berusaha untuk mencari tahu siapa dan apakah Hamas sebenarnya. Baru setelah bertahun-tahun penuh derita, akhirnya mereka bisa menyadari bahwa Hamas bukanlah organisasi biasa yang bertingkat dan punya aturan seperti organisasi yang umumnya dikenal orang. Hamas itu bagaikan hantu. Hamas adalah sebuah gagasan. Kau tidak dapat menghancurkan sebuah gagasan; kau hanya bisa membangkitkannya. Hamas itu bagaikan cacing pita yang jika dipotong kepalanya, maka kepala itu akan tumbuh jadi seekor cacing yang baru.
Masalahnya adalah tujuan dan cita² organisasi Hamas hanyalah ilusi belaka. Syria, Lebanon, Iraq, Yordania, dan Mesir telah berkali-kali mencoba dan gagal untuk mendorong Israel tenggelam ke laut dan merubah tanah itu menjadi negara Palestina. Bahkan Saddam Hussein dan rudal² Scud-nya juga gagal. Agar jutaan pengungsi Palestina bisa mendapatkan kembali rumah, tanah pertanian, dan harta benda mereka yang hilang lebih dari 50 tahun yang lalu, Israel harus mau berganti tempat dengan mereka. Dan karena hal ini tidak akan pernah terjadi, maka Hamas itu bagaikan tokoh Sisyfus dalam mythologi Yunani - dia dikutuk selamanya untuk menggulirkan batu bundar besar pada bukit terjal yang menanjak, hanya untuk kemudian melihat batu itu menggelundung lagi ke bawah, dan tidak akan pernah mencapai puncak bukit.
Tokoh Sisyfus dalam dongeng Yunani.
Meskipun begitu, Muslim yang menyadari bahwa missi Hamas adalah sia² belaka tetap beriman bahwa Allâh suatu hari akan menghancurkan Israel, bahkan jika dia harus melakukannya melalui muzizat.
Bagi Israel, nasionalis PLO adalah masalah politik yang butuh solusi politik. Di lain pihak, Hamas adalah masalah Palestina yang diIslamisasikan, dan membuat itu jadi masalah agama. Dengan begitu, masalah ini hanya bisa dipecahkan melalui solusi agama, dan ini juga berarti masalah itu tidak akan pernah bisa dipecahkan karena kami beriman bahwa tanah itu milik Allâh. Titik. Pembicaraan selesai. Jadi bagi Hamas, masalah utama bukanlah kebijaksanaan politik Israel, melainkan keberadaan negara Israel itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan ayahku? Apakah dia juga jadi seorang teroris? Di suatu sore, aku membaca berita utama di koran tentang bom bunuh diri (atau disebut sebagai “operasi syahid” oleh sebagian Hamas) yang membunuh banyak penduduk sipil, termasuk para wanita dan anak². Sungguh mustahil bagiku untuk menghubungkan kebaikan sifat ayahku dan kepemimpinannya dengan organisasi yang melakukan hal semacam itu. Aku menunjukkan artikel itu padanya dan bertanya pendapatnya akan perbuatan² membunuh seperti itu.
“Suatu kali,” jawabnya, “aku meninggalkan rumah dan diluar tampak sebuah serangga. Aku berpikir dua kali untuk membunuhnya atau tidak. Dan aku tak sanggup membunuhnya.” Jawaban tak langsung ini adalah caranya berkata bahwa dia secara pribadi tidak akan ikut dalam pembunuhan membabibuta seperti itu. Tapi warga sipil Israel bukanlah serangga.
Ayahku memang tidak merakit bom², mengikatkannya di tubuh pembom bunuh diri, dan menyeleksi target sasaran ledak. Bertahun-tahun kemudian aku mengenang jawaban ayahku ketika aku membaca kisah di Alkitab Perjanjian Baru tentang perajaman pemuda tak berdosa bernama Stefanus. Tertulis di situ bahwa, “Saulus berada di situ, memberi persetujuan Stefanus mati dibunuh” (Kisah Para Rasul 8:1).
Aku sangat mencintai ayahku, dan aku sangat mengagumi dirinya dan perjuangannya. Tapi bagi seorang pria yang tak tega untuk menyakiti serangga, dia tentunya menemukan cara untuk membenarkan tindakan meledakkan diri sendiri dengan tujuan membunuh orang lain menjadi serpihan daging, selama dia pribadi tidak membasahi tangannya dengan darah.
Pada saat itu, pandanganku terhadap ayah berubah menjadi lebih rumit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar