Kamis, 29 April 2010

Bab 14 - Kekacauan di Penjara

1996-1997

Ayah adalah Islam bagiku.

Jika aku harus meletakkan ayah di atas timbangan Allâh, maka beratnya lebih besar daripada Muslim mana pun yang pernah kutemui. Dia tidak pernah alpa sholat, bahkan jika dia pulang kerja larut malam dan telah merasa lelah. Aku sering mendengarnya berdoa dan menangis berharap pada tuhan Qur’an di tengah malam. Dia adalah orang yang rendah hati, penuh kasih, dan pemaaf - terhadap ibuku dan anak²ny, bahkan orang² yang tidak dikenalnya sekalipun.

Ayah bukanlah sekedar Muslim pembela Islam, tapi dia menjalani kehidupannya sebagai contoh bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap. Dia memantulkan sisi Islam yang indah, dan bukan sisi kejam yang menuntut umat Muslim untuk menaklukkan dan memperbudak seluruh dunia.

Akan tetapi, selama periode 10 tahun setelah aku dipenjara, aku melihat ayah bergulat dengan konflik irasional di dalam bathinnya. Di satu pihak, ayah tidak menganggap perbuatan Muslim yang membunuhi para warga sipil, prajurit, wanita dan anak² Israel sebagai tindakan yang salah. Dia percaya bahwa Allâh memberinya hak untuk melakukan hal itu. Akan tetapi di lain pihak, dia sendiri tidak tega melakukan apa yang para Muslim radikal itu lakukan. Ada sesuatu dalam hatinya yang menolak perbuatan seperti itu. Apa yang dianggapnya salah untuk dilakukan oleh dirinya sendiri, dibenarkannya jika yang melakukan adalah orang lain.

Tapi sebagai anaknya, aku dulu hanya bisa melihat kebaikannya saja dan beranggapan kebaikannya itu merupakan buah² Islam. Karena aku ingin menjadi seperti dia, maka aku percaya apa yang dia percayai tanpa banyak tanya lagi. Yang tak kuketahui saat itu adalah tidak peduli berapapun beratnya kita di atas timbangan Allâh, semua perbuatan mulia dan pekerjaan baik kita, tidak lebih nilainya daripada sekedar gombal busuk bagi Allâh.


Para Muslim yang kutemui di Megiddo sama sekali tidak sama dengan ayahku. Mereka menghakimi orang dengan lagak bagaikan dirinya lebih tinggi daripada Allâh saja. Mereka kejam dan memuakkan, menghalangi layar TV agar kita tidak bisa melihat wanita tak berjilbab. Mereka tanpa toleransi dan munafik, suka menyiksa orang² yang mendapat nilai merah tinggi - meskipun orang² ini hanyalah tawanan yang terlemah dan tak berdaya. Tawanan² lain yang punya hubungan baik dengan maj’d tidak disentuh - bahkan jika tawanan itu mengakui sebagai mata² Israel, hanya karena dia adalah putra Syeikh Hassan Yousef.

Untuk pertamakalinya dalam hidupku, aku mulai mempertanyakan berbagai hal yang dulu selalu kuyakini.

“Delapan dua tiga!”

Sudah saatnya aku menghadap sidang pengadilan. Aku telah dipenjara selama enam bulan. Prajurit IDF mengantarku ke Yerusalem, di mana jaksa penuntut meminta hakim menjatuhkan hukuman bagiku selama enambelas bulan.

Enambelas bulan! Kapten Shin Bet dulu mengatakan aku hanya tinggal di penjara untuk sesaat saja! Apa sih yang kulakukan sehingga harus dihukum seberat ini? Memang benar aku punya niat gila dan lalu membeli beberapa senjata. Tapi kan senjata² itu rusak dan tidak dapat dipakai?

“Enambelas bulan!”

Pengadilan menghitung bahwa aku telah menghuni penjara selama enam bulan, sehingga aku dikirim kembali ke Megiddo dan harus tinggal di sana selama sepuluh bulan lagi.

“Baiklah,” kataku pada Allâh. “Aku rela dipenjara selama sepuluh bulan, tapi jangan di sana dong! Jangan di neraka itu!” Tapi tiada yang peduli akan keluhanku - tidak juga pihak keamanan Israel yang dulu merekrutku dan sekarang meninggalkanku begitu saja.

Setidaknya aku bisa melihat keluargaku sekali sebulan. Ibuku melakukan perjalan yang melelahkan ke Megiddo sekali setiap empat minggu. Dia diijinkan untuk membawa tiga orang saja dari semua adik²ku, maka mereka mengunjungiku secara bergiliran. Setiap kali datang, ibu membawa penganan bayam campur yang segar dan baklava. Keluargaku tidak pernah alpa mengunjungiku.

Melihat keluargaku mendatangkan rasa lega yang besar bagiku, meskipun aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi di dalam pagar penjara dan di balik layar. Bertemu dengan diriku juga sedikit meringankan rasa kehilangan mereka. Aku telah berperan bagaikan ayah bagi adik² laki dan perempuanku - aku memasak untuk mereka, membersihkan bagi mereka, memandikan dan memakaikan baju mereka, mengantar jemput ke sekolah - dan dengan dipenjara, aku juga menjadi pahlawan perjuangan bagi mereka. Mereka merasa sangat bangga akan diriku.

Pada suatu kunjungan, ibuku memberitahu bahwa PA telah membebaskan ayahku. Aku tahu ayah selalu ingin naik haji ke Mekah. Ibu mengatakan ayah pergi ke Saudi Arabia tak lama setelah kembali pulang ke rumah. Ibadah naik haji merupakan pilar kelima Islam, dan setiap Muslim yang mampu secara fisik dan finansial wajib melakukan ibadah ini setidaknya sekali dalam hidupnya. Setiap tahun, lebih dari dua juta Muslim berkumpul di Mekah untuk naik haji.

Tapi ayahku gagal untuk melakukan ibadah haji. Setelah melalui Jembatan Allenby diantara Israel dan Yordania, dia ditahan lagi, kali ini oleh pihak Israel.

Di suatu sore, para ketua tawanan Hamas di Megiddo menyodorkan daftar permintaan pada penjaga penjara, dan memberi batas waktu 24 jam untuk memenuhi permintaan, dan mengancam untuk membuat keonaran jika permintaan tidak dipenuhi.

Tentu saja penjaga penjara tidak ingin para tawanan melakukan keonaran. Kekacauan di penjara bisa menyebabkan tawanan tertembak, dan Pemerintah Pusat di Yerusalem tentunya enggan berhubungan dengan segala hal yang bisa membuat Palang Merah dan berbagai organisasi HAM protes dan ribut besar. Keonaran di penjara itu jelek untuk tawanan dan penjaga penjara. Untuk menghindari keonaran, pihak Israel bertemu muka dengan shawish utama, yang ditunjuk dari bagian penjara kami.

“Kami tidak bisa bekerja secepat ini,” kata pejabat penjara padanya. “Kami perlu waktu yang lebih banyak untuk mempertimbangkan.”

“Tidak,” katanya memaksa. “Kau hanya punya waktu 24 jam.”

Tentu saja pihak Israel juga tidak mau dipaksa seperti itu. Aku tak tahu mengapa ketua tawanan Hamas sampai mengancam seperti itu. Meskipun aku menderita di sini, dibandingkan dengan fasilitas penjara lain yang kudengar, Megiddo bagaikan hotel bintang lima. Permintaan terdengar konyol bagiku - waktu bicara di telepon yang lebih lama, jam kunjungan yang lebih lama, dan berbagai hal sepele seperti itu.

Kami menanti sepanjang hari sampai matahari terbenam. Ketika batas waktu berakhir, Hamas memerintahkan kami untuk membuat kekacauan.

“Apa yang harus kami lakukan?” tanya kami.

“Hancurkan barang² dan bikin gaduh! Hancurkan aspal di lantai dan lemparkan pada para penjaga. Lempar sabun. Lempar air panas. Lempar segala macam benda yang bisa kau angkat!”

Beberapa tawanan mengisi gentong dengan air agar jika prajurit melempar kaleng gas air mata, mereka bisa mengambilnya dan menyemplungkannya ke dalam air. Kami mulai mengobrak-abrik daerah olahraga. Seketika terdengarlah suara sirine dan keadaan jadi sangat berbahaya. Ratusan prajurit mengenakan baju dan perlengkapan anti kericuhan massal keluar mengepung kamp tawanan dan mengarahkan senjata pada kami.

Satu²nya yang kupikirkan adalah semuanya ini terasa sangat tak masuk akal. Mengapa kami harus melakukan ini? Tanyaku. Ini adalah gila! Apakah kami harus melakukan ini hanya gara² shawish sinting itu? Aku bukanlah orang yang penakut, tapi juga tidak mau melakukan hal yang tak berarti. Pasukan Israel bersenjata lengkap dan terlindung, sedangkan kami hanya bisa melempari mereka dengan bongkahan aspal.

Hamas memberi perintah, dan setiap tawanan di setiap bagian mulai melempari kayu, pecahan aspal, dan sabun. Dalam waktu beberapa detik saja, ratusan kaleng gas air mata dilempar masuk dan meledak, memenuhi kamp tawanan dengan asap putih. Aku tidak dapat melihat apapun. Baunya sungguh sukar untuk dijabarkan. Semua orang di sekitarku menjatuhkan diri ke tanah dan tersengal-sengal mencoba menghirup udara segar.

Semua ini terjadi dalam waktu tiga menit saja. Tapi para prajurit Israel baru saja mulai.

Prajurit² lalu mengarahkan pipa besar pada kami yang mengeluarkan asap kuning. Asap kuning ini tidak terapung di udara seperti gas air mata; karena lebih berat daripada udara, asap kuning itu turun menyentuh tanah dan menyingkirkan semua oksigen. Para tawanan mulai bergelimpangan pingsan.

Aku mencoba bernapas sebisanya tatkala aku melihat nyala api.

Tenda Jihad Islam di Kotak Tiga terbakar. Dalam waktu beberapa detik saja, api berkobar-kobar setinggi 6 meter ke langit. Tenda² yang terbuat dari bahan anti air berbasis minyak tanah terbakar bagaikan disiram bensin. Tonggak² dan bingkai² kayu, matras², dan tempat² sepokat - semuanya dilalap api. Angin menyebarkan api ke tenda² DFLP/PFLP dan Fatah, dan sepuluh detik kemudian, tenda² tersebut terbakar bagaikan dilalap api neraka.

Kobaran api merambat sangat cepat ke daerah kami. Sebagian tenda terbang ditiup angin dan mendarat di pagar kawat silet. Para prajurit mengepung kami. Tiada jalan keluar selain melewati api.

Maka kami berlarian.

Aku menutupi wajahku dengan handuk dan berlari ke arah dapur. Ada celah selebar 3 meter diantara tenda² terbakar dan tembok. Lebih dari 200 tawanan mencoba berlari melalui celah itu kala para prajurit terus memenuhi bagian dengan asap kuning.

Dalam waktu beberapa menit saja, separuh Kotak Lima sudah lenyap - semua yang kami miliki, sesedikit apapun, terbakar hangus. Tiada yang tersisa kecuali abu.

Banyak tawanan terluka. Tapi sungguh ajaib, tak satu pun mati terbunuh. Mobil² ambulans datang mengumpulkan orang² yang terluka. Setelah kekacauan berakhir, tawanan² yang tendanya terbakar ditempatkan di tenda lain yang masih utuh. Aku dipindahkan ke tengah² tenda Hamas di Kotak Dua.

Satu²nya akibat baik dari kerusuhan penjara Megiddo adalah berhentinya penyiksaan yang dilakukan para ketua Hamas. Mereka terus melakukan pengamatan, tapi kami merasa tidak terlalu tegang lagi dan tidak terlalu takut untuk melakukan sedikit kesalahan. Aku berteman dengan beberapa orang yang kuanggap bisa kupercaya. Tapi kebanyakan kegiatanku hanyalah berjalan-jalan saja selama berjam-jam sendirian, tak ada pekerjaan lain dari hari ke hari.


“Delapan dua tiga!”

Pada tanggal 1 September, 1997, seorang penjaga penjara mengembalikan semua barang²ku dan sedikit uang yang kumiliki sewaktu aku ditangkap, memborgol tanganku dan memasukkan aku ke dalam sebuah mobil van. Para prajurit menyetir mobil menuju ke pos penjagaan pertama setiba di daerah Palestina, yakni Jenin di Tepi Barat. Mereka membuka pintu van dan melepaskan borgol.

“Kau bebas pergi sekarang,” kata salah satu dari mereka. Lalu mereka membalikkan mobil kembali ke arah kedatangan mereka, dan membiarkan aku berdiri seorang diri di pinggir jalan.

Aku sungguh tak percaya. Senang sekali rasanya bisa berjalan di tempat bebas ini. Aku sangat ingin bertemu ibuku dan saudara² laki dan perempuanku. Aku masih berada dalam jarak dua jam menyetir kendaraan dari rumahku, tapi aku sengaja berjalan lambat. Aku ingin menikmati kemerdekaanku.

Aku berjalan selama dua mil, sambil menghirup udara segar yang memenuhi paru²ku dan menikmati sunyi senyap lingkungan dengan telingaku. Setelah mulai merasa jadi manusia utuh lagi, aku lalu memanggil sebuah taksi untuk membawaku ke pusat kota. Taksi yang lain membawaku ke Nablus, lalu Ramallah, dan sampai di rumahku.

Image
Kota Ramallah.

Naik mobil melalui jalanan Ramallah, melihat toko² dan orang² yang kukenal, membuat aku ingin loncat dari taksi dan menyapa mereka semua. Sebelum aku melangkah keluar dari taksi yang berhenti di depan rumahku, aku melihat ibu berdiri di depan pintu. Airmata bercucuran di pipinya saat dia memanggilku. Dia berlari ke arah mobil dan lengannya memelukku erat². Sewaktu dia memelukku dan menepuk-nepuk punggung, bahu, wajah, dan kepalaku, semua rasa sakit yang ditanggungnya selama 1 1/2 tahun tumpah keluar.

“Kami telah menghitung hari menantikan kedatanganmu,” katanya. “Kami sangat khawatir tidak akan melihatmu lagi. Kami sangat bangga akan dirimu, Mosab. Kau benar² pahlawan sejati.”

Sama seperti ayahku, aku tahu aku tidak bisa menceritakan pada ibu atau saudara²ku apa yang telah kualami. Keterangan seperti itu akan terlalu menyakitkan mereka. Bagi mereka, aku adalah pahlawan yang ditawan di penjara Israel bersama pahlawan² lainnya, dan sekarang aku sudah pulang ke rumah. Mereka malah memandang hal ini sebagai pengalaman yang baik bagiku. Apakah ibuku tahu akan senjata² yang dulu kubeli? Iya. Apakah dia menganggap itu sebagai perbuatan bodoh? Mungkin, tapi semuanya itu dianggap sebagai bagian dari usaha menentang pendudukan dan karenanya bisa diterima.

Kami merayakan hari kebebasanku dan kami makan enak dan bercanda, sebagaimana yang dulu selalu kami lakukan bersama. Rasanya seperti aku tidak pernah pergi saja. Dan selama beberapa hari, banyak teman²ku dan teman² ayahku datang untuk bergembira bersama kami.

Aku tinggal di rumah selama beberapa minggu, menikmati semua kasih sayang di sekitarku dan makan masakan ibu yang enak. Lalu aku keluar untuk menikmati pemandangan sekitar, suara² dan aroma yang sangat kurindukan. Di malam hari, aku pergi ke pusat kota bersama teman²ku - makan falafel di Mays Ar Rim dan minum kopi di Kit Kat bersama Basam Huri, pemilik warung kopi. Sewaktu aku berjalan-jalan di jalanan yang ramai dan bicara dengan teman²ku, aku menyerap semua rasa damai dan merdeka.

Diantara waktu ayah dilepaskan dari penjara PA dan dia ditangkap kembali oleh Israel, ibuku hamil lagi. Hal ini mengejutkan kedua orangtuaku, karena mereka sebenarnya tidak mau lagi punya anak setelah kelahiran adik perempuanku Anhar tujuh tahun yang lalu. Sewaktu aku pulang dari penjara, ibu telah hamil enam bulan dan kandungannya semakin besar. Lalu ibu mengalami kecelakaan patah pergelangan kaki, dan proses kesembuhan berlangsung sangat lamban karena bayi dalam kandungannya menyerap semua kalsium di tubuh ibu. Kami tidak punya kursi roda sehingga aku harus menggendongnya ke mana dia harus pergi. Dia sangat menderita kesakitan, dan aku sungguh sedih melihat keadaannya seperti itu. Aku punya SIM sehingga kami bisa melakukan berbagai hal dan belanja. Ketika akhirnya Naser lahir, aku mengambil tanggung jawab memberinya makan, memandikannya, dan mengganti popoknya. Dia memulai hidupnya dengan mengira akulah ayahnya.

Sudah tentu aku gagal menjalani ujian akhir SMA dan tidak lulus SMA. Mereka menawarkan ujian pada kami semua di penjara, tapi aku adalah satu²nya tawanan yang tidak lulus ujian. Aku tidak pernah mengerti mengapa, sebab wakil dari Departemen Pendidikan datang ke penjara dan memberi semua orang kertas jawaban sebelum ujian dilakukan. Sungguh gila. Seorang tawanan berusia 60 tahun dan buta huruf meminta orang lain menulis jawaban ujian baginya. Dan ternyata bahkan dia pun lulus ujian! Aku punya jawaban ujian, ditambah lagi aku telah bersekolah selama 12 tahun sehingga tahu akan materi pertanyaan. Tapi ketika hasil ujian keluar, semuanya lulus kecuali aku sendiri. Satu²nya penjelasan yang bisa kupikirkan adalah mungkin Allâh tidak mau aku lulus dengan cara mencontek.

Maka ketika aku keluar dari penjara, aku mulai mengambil kelas malam di Al-Ahlia, sebuah sekolah Katolik di Ramallah. Kebanyakan muridnya adalah Muslim tradisional yang datang ke situ karena sekolah itu adalah yang terbaik di kota. Karena kelas berlangsung di malam hari, maka aku bisa kerja di siang hari di toko hamburger Checkers untuk mencari nafkah bagi keluargaku.

Aku hanya mendapat angka 64% dari ujian²ku, tapi ini sudah cukup untuk lulus. Aku tidak belajar dengan serius karena aku tidak terlalu suka dengan mata pelajarannya. Aku tidak peduli. Aku cukup senang bisa tamat SMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar