Kamis, 29 April 2010

Bag 18 – Orang yang Paling Dicari

2001

Orang² Palestina tidak lagi menyalahkan Yasser Arafat atau Hamas atas masalah mereka. Sekarang mereka menyalahkan Israel karena membunuh anak² mereka. Tapi aku tetap saja berpikir akan pertanyaan² mendasar: Mengapa anak² itu berada di situ? Di manakah orangtua mereka? Mengapa para ibu dan ayah mereka tidak menempatkan mereka di tempat yang aman? Anak² itu kan seharusnya berada di sekolah, dan bukannya berlari-lari di jalanan, melempari batu kepada para tentara.

“Mengapa kau harus mengirim anak² untuk mati?” aku bertanya pada ayahku di suatu hari yang penuh darah.

“Kami tidak mengirim anak² kok,” katanya. “Mereka sendiri yang ingin pergi. Lihat saja adik² lakimu.”

Rasa takut meremang di tengkukku.

“Jika aku mendengar adik²ku pergi ke luar dan melemparkan batu, aku akan patahkan tangan² mereka,” kataku. “Aku lebih memilih mereka patah tulang daripada mati.”

“Betul begitu? Kau mungkin belum tahu ya kalau kemaren mereka melemparkan batu².” Dia berkata begitu dengan santai; aku sungguh tak percaya bahwa semua ini merupakan cara hidup kami sekarang.

Keempat adik lakiku bukan lagi anak² kecil sekarang. Sohayb berusia 21 tahun dan Seif 18 tahun, dan keduanya cukup dewasa untuk masuk penjara. Di usia 16 dan 14 tahun, Oways dan Mohammad sudah cukup umur untuk bisa ditembak. Dan semuanya seharusnya tahu bagaimana menyelamatkan diri mereka. Ketika aku bertanya pada mereka, mereka semua menyangkal melemparkan batu² kepada prajurit Israel.

“Dengar, aku sangat serius akan hal ini,” kataku pada mereka. “Aku tidak lagi memukul pantat kalian, karena kalian telah tumbuh besar sekarang. Tapi aku akan melakukannya lagi jika mendengar kalian berada dalam demonstrasi.”

“Tapi kau dan ayah juga berada dalam demonstrasi,” protes Mohammad.

“Iya, kami berada di sana. Tapi kami tidak melemparkan batu².”

Di tengah semua ini – terutama dengan sumbangan besar uang yang mengalir dari diktator kejam Iraq, Saddam Hussein – Hamas tidak lagi memonopoli pengiriman serangan bom bunuh diri. Sekarang pembom bunuh diri juga berasal dari organisasi Jihad Islam dan Brigade Syahid Al-Aqsa, Muslim sekuler, komunis, dan atheis. Mereka semua bersaing satu sama lain untuk membunuh orang² sipil Israel sebanyak-banyaknya.

Banjir darah sudah terlalu banyak. Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa makan. Aku tidak melihat semua ini hanya melalui mata seorang Muslim atau Palestina atau bahkan putra Hassan Yousef lagi. Sekarang aku juga melihatnya melalui mata orang² Israel. Terlebih penting lagi, aku melihat semua pembunuhan yang gila ini melalui mata Yesus, yang menangis melihat mereka yang tersesat. Semakin banyak aku membaca Alkitab, semakin aku melihat kebenaran tunggal ini: kasihi dan ampuni musuh merupakan satu²nya jalan untuk menghentikan pertumpahan darah.

Tapi meskipun aku sangat mengagumi Yesus, aku tetap saja tidak percaya teman² Kristenku yang mencoba meyakinkan diriku bahwa dia adalah Tuhan. Allâh itulah tuhanku. Sadar atau tidak sadar, lama-kelamaan aku semakin menerapkan standard Yesus dan menolak aturan Allâh. Yang membuat aku semakin cepat meninggalkan Islam adalah kemunafikan yang terjadi di sekelilingku. Islam mengajarkan bahwa budak Allâh takwa yang mati syahid akan langsung masuk surga. Dia tidak akan ditanyai terlebih dahulu oleh malaikat² maut atau disiksa terlebih dahulu di neraka. Tapi sekarang semua orang yang dibunuh oleh orang² Israel – tidak peduli apakah orang itu Muslim KTP, komunis, atau bahkan atheis – diperlakukan bagaikan pejuang syahid. Para imam dan syeikh memberi tahu keluarga korban, “Saudaramu yang kau cintai telah berada di surga.”

Tentu saja Qur’an tidak mendukung bualan mereka. Qur’an telah tegas menjelaskan siapa yang masuk surga atau neraka. Tapi para pemimpin ini sudah tidak peduli. Hal ini bukanlah tentang masalah kebenaran atau theologi; melainkan berdusta pada masyarakat demi keuntungan strategi dan kebijaksanaan politik. Para pemimpin Islam ini membius masyarakat mereka dengan dusta agar masyarakat lupa akan rasa sakit yang diakibatkan oleh para pemimpin tersebut.

Sewaktu Shin Bet menyingkapkan informasi lebih banyak padaku, aku selalu saja kagum dengan apa yang mereka ketahui akan orang² yang kukenal dalam hidupku – seringkali orang² ini adalah teman lama yang sekarang jadi sangat berbahaya. Sebagian malah menjadi anggota bagian militer Hamas. Salah seorang dari orang² ini adalah Daya Muhammad Hussein Al-Tawil. Dia adalah pemuda tampan yang mempunyai seorang paman yang menjadi ketua Hamas.

Sepanjang tahun aku mengenalinya, Daya bukanlah orang yang relijius. Malah sebenarnya, ayahnya adalah seorang komunis, jadi tentunya dia tidak berhubungan apapun dengan Islam. Ibunya hanyalah Muslim KTP saja dan bukan radikal sama sekali. Saudara perempuan Daya adalah wartawan berpendidikan AS, warga negara AS, dan wanita modern yang tak berjilbab. Mereka tinggal di rumah yang bagus dan semua anggota keluarga berpendidikan tinggi. Daya belajar bagian teknik di Universitas Birzeit, di mana dia adalah murid terpandai di kelas. Sepengetahuanku, dia tidak pernah ikut dalam demonstrasi Hamas.

Dengan semua latar belakang ini, aku sangat terkejut ketika di tanggal 27 Maret, 2001, kami mendengar Daya telah meledakkan dirinya sendiri di daerah Bukit Perancis di Yerusalem. Meskipun tiada seorang pun tewas, 29 orang Israel terluka.

Daya bukanlah orang bodoh yang bisa ditipu untuk melakukan hal seperti ini. Dia juga bukan pengungsi miskin yang tidak punya apapun. Dia tidak butuh uang. Jadi mengapa dia melakukan hal itu? Tiada seorang pun yang mengerti. Orangtuanya kaget, dan begitu juga aku. Bahkan para agen rahasia Israel juga terheran-heran.

Shin Bet memanggilku untuk rapat darurat. Mereka menyerahkan sebuah foto kepala yang terlepas dari tubuhnya dan menanyakan apakah aku kenal orang ini. Aku meyakinkan mereka bahwa orang itu adalah Daya. Sewaktu aku pulang, aku terus bertanya: Mengapa? Kupikir tak ada seorang pun yang tahu jawabannya. Tiada yang bisa menduga. Bahkan paman Hamasnya juga tidak.

Daya adalah pembom bunuh diri pertama di Intifada Al-Aqsa. Penyerangan yang dilakukan menyiratkan adanya sel militer yang beroperasi secara independen di suatu tempat. Shin Bet bertekad mengetahui tentang sel ini sebelum mereka menyerang lagi.

Loai menunjukkan padaku daftar orang² yang dicurigai. Di bagian teratas tampak lima nama yang kukenal. Mereka adalah orang² Hamas yang dibebaskan PA dari penjara sebelum intifada berlangsung. Arafat tahu bahwa mereka berbahaya, tapi karena Hamas saat itu sudah lemah, dia lalu membebaskan mereka.

Keputusan Arafat itu salah. Orang yang paling dicurigai adalah Muhammad Jamal al-Natsheh, yang membantu ayahku mendirikan Hamas dan seketika menjadi pemimpin bagian militer Hamas di Tepi Barat. Al-Natsheh berasal dari keluarga terbesar di daerah itu, jadi dia tidak takut akan apapun. Dengan tinggi 180 cm, dia adalah tukang perang tulen – ulet, kuat, dan cerdik. Meskipun dia sangat benci orang² Yahudi, tapi aku tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang sangat peduli akan orang lain.

Saleh Talahme – nama lain dalam daftar – adalah insinyur elektro yang sangat cerdas dan berpendidikan tinggi. Saat itu aku belum tahu bahwa nantinya kami berdua malah jadi sahabat baik.

Nama lain dalam daftar adalah Ibrahim Hamed, pemimpin bagian keamanan Hamas di Tepi Barat. Tiga orang ini dibantu oleh Sayyed al-Sheikh Qassem dan Hasaneen Rummanah.

Sayyed adalah pengikut yang baik – dia itu atletik, tak berpendidikan, dan penurut. Hasaneen adalah seorang seniman muda yang tampan yang sangat aktif dalam gerakan pelajar Islam, terutama dalam Intifada Pertama ketika Hamas berusaha membuktikan diri di jalanan sebagai kekuatan yang wajib dikenal. Sebagai ketua Hamas, ayahku telah bekerja keras agar orang² ini dibebaskan untku bisa kembali ke keluarga mereka. Di hari mereka dibebaskan Arafat, ayah dan aku menjemput mereka dari penjara, memasukkan mereka semua ke dalam mobil kami, dan menempatkan mereka dalam sebuah apartemen di Al Hajal di Ramallah.

Ketika Loai memperlihatkan daftar nama padaku, aku berkata, “Tahu enggak? Aku tahu semua orang itu. Dan aku tahu di mana mereka tinggal. Akulah yang menyetir mereka ke tempat baru aman bagi mereka.”

“Betulkah demikian?” tanyanya dengan senyum lebar. “Kalau begitu, mari langsung bekerja.”

Ketika ayah dan aku menjemput mereka dari penjara, aku tidak tahu seberapa besar bahaya mereka atau berapa banyak orang² Israel yang telah mereka bunuh. Sekarang aku adalah satu dari segelintir orang² Hamas yang tahu di mana mereka berada.

Aku mengunjungi mereka dengan membawa alat monitor tercanggih Shin Bet yang bisa merekam setiap gerakan dan perkataan mereka. Tapi sewaktu aku mulai bicara dengan mereka, sudah tampak jelas bahwa mereka tidak mau memberi informasi penting apapun.

Aku mengira ini karena mereka bukanlah orang² yang sedang kami cari.

“Ada sesuatu yang salah,” kataku pada Loai. “Mereka tidak memberitahu apapun padaku. Apakah ada kemungkinan mereka bekerja bagi kelompok lain?”

“Bisa jadi,” akunya. “Tapi orang² ini punya latar belakang sejarah. Kita tetap harus mengamati mereka sampai kita mendapatkan apa yang kita butuhkan.”

Memang mereka punya sejarah masa lalu, tapi ini saja tidak cukup untuk menangkap mereka. Kami butuh bukti yang kuat. Maka kami menuntungg dengan sabar untuk mengumpulkan informasi. Kami tidak mau membuat kesalahan besar dan salah tangkap orang, sambil membiarkan teroris yang sebenarnya bebas melakukan serangan bom berikut.

Mungkin kegiatan hidupku kurang padat, atau mungkin karena tampak sebagai gagasan yang baik di saat itu, tapi di bulan yang sama aku mulai bekerja di Kantor Gedung Kapasitas Agen USA bagi Perkembangan Internasional Air Desa dan Program Sanitasi (Capacity-Building Office of the United States Agency for International Development (USAID) Village Water and Sanitation Program), yang berkantor pusat di Al-Bireh. Nama yang panjang untuk proyek yang sangat penting. Karena aku belum punya gelar sarjana, aku mulai kerja sebagai penerima tamu saja.

Sebagian teman² Kristen dari kelompok Belajar Alkitab telah memperkenalkan aku pada salah seorang manajer Amerika, yang seketika suka akan diriku dan menawarkan aku pekerjaan. Loai berpendapat pekerjaan ini merupakan penyamaran yang baik karena kartu tanda pengenal yang kumiliki dicap oleh Kedutaan AS, dan ini berarti aku boleh bepergian bebas ke wilayah Israel dan Palestina. Dengan pekerjaan ini, orang² jadi tak terlalu curiga mengapa aku tampaknya selalu punya banyak uang.

Ayahku juga berpendapat pekerjaan ini merupakan kesempatan yang baik dan dia berterima kasih pada AS yang menyediakan air minum yang bersih dan sanitasi bagi masyarakatnya. Akan tetapi, pada saat yang sama, dia juga tak lupa bahwa AS juga menyediakan senjata² bagi Israel yang digunakan untuk membunuh orang² Palestina. Beginilah pandangan mendua umumnya orang² Arab terhadap AS.

Aku langsung ikut serta dalam proyek daerah terbesar yang didanai AS. Media selalu saja fokus terhadap masalah yang populer, seperti tanah, perjuangan kemerdekaan, dan penggantian rugi. Tapi sebenarnya masalah air lebih penting daripada masalah tanah di Timur Tengah. Orang² telah berperang demi air sejak jaman para gembala Abraham berkelahi dengan para gembala Lot, keponakan Abraham. Sumber air utama bagi Israel dan daerah yang diduduki adalah Laut Galilea, yang juga dikenal sebagai Gennesaret atau Tiberias. Danau ini merupakan danau air tawar terdangkal di dunia.

Air merupakan masalah pelik di tanah Alkitab. Bagi Israel modern, keadaan telah berubah dengan meluasnya perbatasan negara. Contohnya, salah satu hasil dari Perang Enam Hari di tahun 1967 adalah Israel mengambil alih Dataran Tinggi Golan dari Syria. Dengan begitu Israel mengontrol seluruh Laut Galilea, sehingga juga mengontrol Sungai Yordan dan setiap sumber mata air dan anak sungai yang mengalir masuk dan keluar. Dengan melanggar hukum internasional, Israel menyelewengkan air dari Yordan menjauhi Tepi Barat dan Jalur Gaza. Ini berarti, air yang disediakan Pengangkut Air Nasional (National Water Carrier) bagi warga dan penduduk Israel, berasal dari tiga per empat lebih sumber air bawah tanah Tepi Barat. Amerika Serikat telah menghabiskan uang sebesar ratusan juta dollar untuk menggali sumur² dan mendirikan sumber² air independen bagi masyarakat Palestina.

Pekerjaan dari USAID lebih daripada sekedar penyamaran bagiku. Para pria dan wanita yang bekerja di perusahaan ini jadi teman²ku. Aku tahu bahwa Tuhan telah memberiku pekerjaan ini. Kebijaksanaan USAID adalah tidak memperkerjakan siapapun yang aktif dalam politik, apalagi orang yang ayahnya adalah pemimpin kelompok teroris besar. Tapi entah kenapa, boss-ku tetap tidak memecatku. Kebaikannya nantinya akan terbayar dengan cara yang tidak pernah dia bayangkan.

Karena intifada sedang berlangsung, Pemerintah AS mengijinkan para karyawannya masuk ke Tepi Barat hanya untuk bekerja. Tapi ini berarti para karyawan harus melewati pos² pemeriksaan yang berbahaya. Sebenarnya lebih aman bagi mereka untuk tetap tinggal di Tepi Barat saja daripada melalui hujanan peluru di post pemeriksaan setiap hari dan mengendarai mobil² Jeep AS 4x4 dengan label kuning Israel. Rata² orang Palestina tidak akan membedakan siapa yang datang untuk menolong dan siapa yang datang untuk membunuh.

IDF selalu memperingatkan USAID untuk mengosongkan kantor jika IDF akan melakukan operasi yang bisa membahayakan karyawan USAID. Tapi Shin Bet tidak mengeluarkan peringatan terlebih dahulu karena organisasi ini sangatlah rahasia. Contohnya, jika kami mendengar seorang buronan sedang menuju Ramallah dari Jenin, maka kami akan melancarkan operasi tanpa peringatan terlebih dahulu.

Ramallah adalah kota kecil. Dalam melakukan operasi² ini, pasukan keamanan akan datang dari segala arah. Orang² akan menutup jalanan dengan mobil² dan truk², lalu mulai membakar ban. Asap hitam akan mengebul menyesakkan udara. Orang² bersenjata merunduk dari tempat perlindungan satu ke tempat perlindungan lainnya, sambil menembaki target yang ada di hadapannya. Anak² muda akan melemparkan batu. Anak² menangis di tepi jalan. Sirine² ambulans bercampur dengan jeritan para wanita dan ledakan peluru yang ditembakkan.

Tak lama setelah aku mulai bekerja bagi USAID, Loai memberitahuku bahwa pasukan keamanan akan datang ke Ramallah keesokan hari. Aku menelepon manajer Amerikaku dan memperingatkannya untuk tidak datang ke Ramallah dan memberitahu semua karyawan untuk tetap tinggal di rumah. Aku katakan padanya bahwa aku tak bisa menerangkan bagaimana aku mendapat informasi ini, tapi aku memintanya untuk percaya saja padaku. Dia melakukan itu. Mungkin karena dia mengira aku punya sumber informasi terpercaya karena aku adalah putra Hassan Yousef.

Keesokan harinya, Ramallah berkobar. Orang² berlarian di jalanan, menembak dengan membabi-buta. Mobil² yang diparkir di jalanan dibakar dan kaca² jendela berbagai toko dihancurkan, sehingga para pemilik toko tak berdaya ketika orang² masuk dan mengambili barang². Setelah boss-ku melihat hal ini di siaran berita, dia mengatakan padaku, “Mosab, kapan saja peristiwa seperti ini akan terjadi lagi, mohon beritahu aku.”

“Baiklah,” kataku, “dengan satu syarat: jangan tanya apapun. Jika aku bilang jangan datang, ya jangan datang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar