1996
Mereka dapat mencium bau kami saat kami datang.
Peta letak Megiddo di Israel.
Mungkin ini penjara Megiddo.
Rambut dan jenggot kami jadi panjang setelah tiga bulan tanpa gunting atau silet pencukur. Baju kami kotor sekali. Dibutuhkan waktu dua minggu untuk menghilangkan bau bekas penjara Maskobiyeh. Tubuh digosok kuat² sekali pun tidak sanggup menghilangkan bau. Hanya waktu yang akhirnya bisa menghilangkannya.
Kebanyakan tawanan awalnya ditempatkan terlebih dulu di mi’var, yang adalah sebuah unit di mana setiap orang diproses sebelum dipindahkan ke kamp penjara yang lebih besar. Akan tetapi, beberapa tawanan dianggap terlalu berbahaya untuk bergabung dengan tawanan² lainnya dan harus tetap tinggal di mi’var selama bertahun-tahun. Orang² ini, sudah bisa ditebak, semuanya adalah anggota Hamas.
Sebagai putra Syeikh Hassan, aku merasa terbiasa dikenal kemana pun aku pergi. Jika ayah adalah raja, maka aku adalah pangeran – pewaris takhta kekuasaan. Dan begitulah aku diperlakukan.
“Kami dengar kau berada di sini sebulan yang lalu. Pamanmu sekarang berada di sini. Dia akan segera mengunjungimu.”
Makan siang disajikan panas² dan mengenyangkan, meskipun tidak seenak makanan yang kumakan ketika dulu bersama para burung. Meskipun begitu aku tetap merasa senang. Sekalipun masih dipenjara, aku merasa lebih bebas. Ketika aku sedang seorang diri, aku memikirkan tentang Shin Bet. Aku telah berjanji pada mereka untuk bekerja bagi mereka, tapi mereka tak memberitahu aku apapun. Mereka tidak pernah menjelaskan bagaimana mereka akan berkomunikasi denganku atau apa sebenarnya yang dimaksud dengan bekerja sama. Mereka membiarkan aku begitu saja, tanpa ada nasehat apapun tentang bagaimana aku harus berlaku. Aku sangat heran. Aku juga tidak tahu siapa diriku sebenarnya sekarang. Kupikir ada kemungkinan aku telah dijebak.
Tempat mi’var ini dibagi dalam dua asrama yang besar – Ruang Delapan dan Ruang Sembilan – kedua ruang ini penuh dengan ranjang bertingkat. Bangunan asrama² berbentuk huruf L dan setiap bangunan ditempati 20 tawanan. Di sudut L terdapat lapangan olahraga dengan lantai semen yang dicat dan meja ping-pong rusak yang disumbangkan oleh Palang Merah. Kami diperbolehkan berolahraga dua kali sehari.
Tempat tidurku terletak di ujung Ruang Sembilan, dekat kamar mandi. Terdapat dua kamar kecil dan dua tempat mandi. Tempat buang air hanyalah sebuah lubang di lantai di mana kami harus berdiri atau jongkok, lalu setelah selesai buag air, kami siram sendiri kotoran dengan seember air. Ruangan ini panas dan lembab, dan baunya sungguh memuakkan.
Sebenarnya malah seluruh asrama juga begitu keadaannya. Orang² menderita sakit dan batuk²; sebagian malah tidak pernah mandi. Semua tawanan berbau mulut busuk. Asap rokok memenuhi ruangan dan kipas angin lemah tidak berarti apapun. Juga tak ada jendela ventilasi.
Kami dibangunkan setiap jam 4 pagi agar bersiap untuk sholat Fajar. Kami menunggu di antrian dengan handuk kami, masih dalam keadaan mengantuk dan bau. Lalu kami harus melakukan wudu. Untuk memulai membersihkan diri secara Islam sebelum sholat, kami membasuh tangan sampai ke pergelangan tangan, kumur², dan membersihkan lubang hidung dengan air. Kami gosok wajah kami dengan dua tangan dari jidat sampai ke dagu, dan dari kuping satu ke kuping yang lain, membasuh tangan sampai ke sikut, dan membasuh kepala dari jidat sampai ke belakang leher dengan tangan yang basah air. Akhirnya membasahi jari² tangan untuk membersihkan kuping bagian dalam dan luar, seluruh leher, dan membasuh kaki sampai ke pergelangan kaki. Lalu kami ulang semua proses ini dua kali lagi.
Pada jam 4:30 pagi, setelah semua selesai melakukan wudu, seorang imam – yang besar, sangar dengan jenggot lebat – melafalkan adhan. Lalu dia mulai melafalkan Al-Fatihah (Sura pertama Qur’an), dan kami lalu melakukan empat rakat (gerakan berdoa, berdiri, berlutut, dan bersujud).
Kebanyakan tawanan adalah Muslim anggota Hamas atau Jihad Islam, jadi melakukan sholat seperti ini sudah menjadi kegiatan rutin bagi kami. Tapi tawanan² lain yang sekuler dan komunis juga dipaksa bangun di waktu yang sama, meskipun mereka tidak ikut sholat. Dan tentu saja mereka tidak senang akan hal ini.
Seorang tawanan sudah menjalani setengah dari masa hukuman 15 tahun. Dia muak sekali dengan segala rutinitas Islam, dan dia menghabiskan waktu lama sekali untuk bangun subuh. Beberapa tawanan menepuknya, memukulnya, sambil membentak, “Bangun!” Akhirnya mereka menyiramkan air ke kepalanya. Aku kasihan padanya. Semua proses wudhu, sholat, dan pelafalan Qur’an memakan waktu satu jam. Setelah itu orang² kembali tidur. Tiada seorang pun yang bicara. Sunyi senyap.
Aku selalu tidak bisa tidur kembali, dan biasanya aku tidak tertidur setelah jam 7 pagi. Sewaktu akhirnya aku tertidur, seseorang berteriak, “Adad! Adad!” (Nomer! Nomer!). Ini adalah peringatan bahwa sekarang adalah saatnya melakukan penghitungan kepala.
Kami duduk di tempat tidur kami dengan punggung menghadap prajurit Israel yang menghitung kami, karena dia tak bersenjata. Dia hanya butuh waktu lima menit untuk menghitung kami dan lalu kami boleh tidur lagi.
“Jalsa! Jalsa!” jerit emir pada jam 8:30 pagi. Ini adalah saat rapat dua kali sehari yang dilakukan organisasi Hamas dan Jihad Islam. Aku tidak bisa tidur dua jam penuh. Ini sungguh menjengkelkan. Sekali lagi, orang² berbaris ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri menghadiri jalsa jam 9 pagi.
Di jalsa Hamas pertama hari itu, kami belajar aturan membaca Qur’an. Aku sudah tahu akan hal ini dari ayahku, tapi kebanyakan tawanan tidak mengetahuinya. Jalsa kedua hari itu membicarakan tentang Hamas, sikap disiplin di dalam penjara, pengumuman tentang tawanan² yang baru datang, dan kabar tentang kejadian di luar penjara. Tak ada rahasia atau rencana apapun, hanya berita umum saja.
Setelah setiap jalsa, kami seringkali menghabiskan waktu dengan nonton TV di bagian ujung ruangan, berhadapan dengan kamar kecil. Suatu pagi, aku sedang menonton kartun dan lalu sebuah iklan ditayangkan.
GEDEBUG!
Sebuah papan kayu besar jatuh di hadapan layar TV.
Aku meloncat kaget dan melihat sekeliling.
“Ada apa?”
Aku lalu mengetahui bahwa papan itu terikat pada tali besar yang diikatkan pada langit². Di sebelah ruangan tampak seorang tawanan memegang erat² ujung tali itu. Rupanya tugasnya adalah melihat segala yang dianggap haram dan menjatuhkan papan kayu di depan TV agar penonton tidak bisa melihatnya.
“Kenapa kau menjatuhkan papan kayu itu?” tanyaku.
“Untuk melindungi kamu sendiri,” katanya kasar.
“Melindungi? Dari apa?”
“Gadis di iklan itu,” jelasnya. “Gadis itu kan tak pakai jilbab.”
Aku melihat emir. “Apakah dia serius tentang ini?”
“Ya, tentu saja,” kata emir.
“Tapi kami semua punya TV di rumah kami, dan kami tidak melakukan hal seperti ini di rumah. Kenapa musti melakukannya di sini?”
“Berada di penjara membuat orang menghadapi godaan² yang tak lumrah,” jelasnya. “Di sini tidak ada perempuan. Yang mereka tayangkan pada TV bisa menimbulkan masalah dan berakibat buruk bagi mereka. Karena itulah dibuat aturan seperti ini dan beginilah kami menanggulangi masalah itu.”
Tentu saja tidak semua orang setuju akan hal itu. Apa yang boleh atau tak boleh dilihat sangat tergantung dari orang yang memegang tali. Jika orang itu berasal dari Hebron, dia akan menjatuhkan papan untuk menutupi layar TV, bahkan jika yang muncul hanyalah sosok kartun wanita tanpa jilbab. Tapi jika orang itu berasal dari Ramallah, kami bisa nonton lebih bebas. Kami seharusnya bergiliran memegang tali, tapi aku tak mau menyentuh benda edit moderator*) itu.
Setelah makan siang, tiba waktunya untuk melakukan sholat Dhuhr, lalu setelah itu saat tenang. Kebanyakan tawanan tidur siang. Biasanya aku membaca buku. Dan di sore hari, kami diperbolehkan pergi ke lapangan olahraga untuk berjalan-jalan sedikit atau mengobrol dengan tawanan lain.
Hidup di penjara sangatlah membosankan bagi para anggota Hamas. Kami tak boleh bermain kartu. Kebebasan membaca buku dibatasi dan hanya boleh membaca Qur’an dan literatur Islam saja. Organisasi non-Hamas tidak menerapkan aturan sekeras itu.
Saudara sepupuku Yousef akhirnya muncul di suatu sore, dan aku sangat senang bertemu dengannya. Penjaga² Israel memperbolehkan kami menyimpan alat cukur, dan kami memangkas habis rambut kepalanya untuk menghilangkan bau penjara Moskabiyeh.
Yousef bukanlah anggota Hamas; dia adalah orang sosialis. Dia tidak percaya pada Allâh, tapi percaya akan Tuhan. Dengan begitu, dia lebih cocok jadi anggota Gerakan Demokrasi bagi Pembebasan Palestina (Democratic Front for the Liberation of Palestine = DFLP), DFLP berjuang untuk berdirinya Negara Palestina, dan ini tidak sama dengan tujuan Hamas yang bercita-cita mendirikan Negara Islam.
Beberapa hari setelah Yousef datang, pamanku yakni Ibrahim Abu Salem, datang menjenguk. Dia berada di penahanan administratif sejak dua tahun lalu, meskipun tiada tuduhan resmi yang diajukan padanya. Karena dia dianggap berbahaya bagi keamanan Israel, dia akan terus berada di sana untuk waktu yang lama. Sebagai Hamas VIP (Very Important Person = Orang Sangat Penting), pamanku Ibrahim diijinkan mengunjungi mi’var dan kamp penjara dan dari satu kamp ke kamp yang lain. Maka dia datang berkunjung ke mi’var untuk menengok keponakannya, agar yakin aku baik² saja, dan membawa beberapa baju bagiku – tanda peduli yang sangat bertentangan dengan sifatnya sebagai orang yang dulu suka memukuliku dan tidak peduli pada keluargaku saat ayah sedang dipenjara.
Dengan tinggi hampir mencapai 180 cm, Ibrahim Abu Salem adalah orang yang tinggi besar. Perutnya yang menonjol keluar – tanda kecintaannya pada makanan – membuat dia tampak gembul dan tidak berbahaya. Tapi aku tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Pamanku Ibrahim adalah orang yang kejam, mementingkan diri sendiri, pendusta, dan munafik – sangat bertolak belakang dengan ayahku.
Tapi di dalam tembok penjara Megiddo, paman Ibrahim diperlakukan bagaikan seorang raja. Semua tawanan menghormatinya, tidak peduli dari organisasi manapun , karena usianya, kemampuannya mengajar, pekerjaannya di universitas², dan prestasi politik dan akademinya. Biasanya, para pemimpin tawanan memanfaatkan kedatangannya dan memintanya untuk memberi kuliah.
Semua tawanan suka mendengarkan Ibrahim saat dia memberi kuliah. Dia tidak mengajar seperti dosen, tapi lebih sebagai penghibur. Dia suka membuat orang tertawa, dan jika dia mengajar tentang Islam, maka dia menyampaikan ajarannya dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga siapapun bisa mengerti.
Akan tetapi, hari ini tiada seorang pun yang tertawa. Sebaliknya, semua tawanan duduk bersebelahan dengan diam saat Ibrahim bicara dengan kemarahan berkobar-kobar tentang orang² yang bekerja sama dengan Israel dan bagaimana mereka mempermalukan keluarga mereka dan merupakan musuh orang² Palestina. Dari caranya bicara, aku merasa dia sebenarnya berkata padaku, “Jika kau tahu sesuatu yang belum kau sampaikan padaku, Mosab, katakan padaku sekarang juga.”
Tentu saja aku tetap diam saja. Bahkan andaikata sekalipun Ibrahim curiga akan hubunganku dengan Shin Bet, dia tidak akan berani mengatakannya terus terang pada putra Syeikh Hassan Yousef.
“Jika kau butuh apapun,” katanya padaku sebelum pergi, “beritahu aku saja. Aku akan mencoba agar kau berada dekat denganku.”
Saat itu adalah musim panas 1996. Meskipun aku baru berusia 18 tahun, aku merasa bagaikan telah menjalani beberapa kehidupan dalam waktu beberapa bulan saja. Dua minggu setelah paman datang, seorang wakil tawanan, atau shawish, datang ke Ruangan Sembilan dan memanggil, “Delapan dua tiga!” Aku mendongak terkejut karena mendengar nomerku dipanggil. Lalu dia juga memanggil tiga atau empat nomer lain dan memberitahu kami agar mengumpulkan barang² kami.
Sewaktu kami keluar dari mi’var ke padang gurun, udara panas menerpaku bagaikan napas naga dan membuat kepalaku pusing sejenak. Sejauh mata memandang tak ada lain yang tampak selain ujung² bagian atas tenda coklat. Kami berbaris menuju bagian tenda pertama, bagian kedua, bagian ketiga. Ratusan tawanan datang berlari menuju pagar tinggi berantai untuk melihat tawanan² yang baru datang. Kami tiba di Bagian Lima, dan pintu gerbang terbuka. Lebih dari lima puluh orang mengelilingi, memeluk kami, dan menjabat tangan kami.
Kami dibawa ke bagian tenda administrasi dan ditanyai dari organisasi mana kami berasal. Lalu aku dibawa ke tenda Hamas, di mana emir menerimaku dan menjabat tanganku.
“Selamat datang,” katanya. “Senang berjumpa denganmu. Kami sangat bangga akan kamu. Kami akan menyiapkan tempat tidur bagimu dan memberi beberapa handuk dan barang² lain yang kau butuhkan.” Lalu dia mengatakan lelucon penjara, “Anggaplah seperti rumah sendiri dan nikmati tinggal di sini.”
Setiap bagian penjara terdiri dari 12 tenda. Setiap tenda berisi 20 tempat tidur dan tempat sepatu. Kapasitas maximum setiap bagian adalah 240 tawanan. Bayangkan bingkai empat persegi panjang, dihalangi dengan pagar kawat duri silet. Bagian Lima dibagi dalam kotak². Sebuah tembok yang bagian atasnya diberi kawat duri silet, membagi-bagi Bagian dari utara ke selatan, dan pagar rendah membagi tempat itu dari timur ke barat.
Kawat duri silet.
Kotak bagian Satu dan Two (sebelah kanan dan kiri atas) masing² memiliki tiga buah tenda Hamas. Kotak bagian Tiga (kanan bawah) memiliki empat tenda – masing² untuk Hamas, Fatah, kombinasi DFLP/PFLP, dan Jihad Islam. Dan Kotak bagian Empat (kiri bawah) memiliki dua tenda, satu untuk Fatah, dan satu lagi untuk DFLP/PFLP.
Kotak Empat memiliki sebuah dapur, WC, tempat mandi, dan tempat untuk shawish dan pekerja dapur, dan baskom² untuk wudhu. Kami berbaris di antrean untuk melakukan sholat di lapangan terbuka di Kotak Dua. Tentunya terdapat menara penjaga di setiap sudut. Pintu gerbang utama di Kotak Lima terletak di pagar kawat antara Kotak Tiga dan Empat.
Satu keterangan lagi: pagar dari timur ke barat memiliki pintu² gerbang diantara Kotak Satu dan Tiga dan Dua dan Empat. Pintu² dibiarkan terbuka hampir sepanjang hari, kecuali pada saat penghitungan kepala di mana pintu² ini ditutup agar penjaga bisa menghitung setiap bagian.
Aku ditempatkan di tenda Hamas di ujung atas Kotak bagian Satu, di ranjang ketiga dari kanan. Setelah penghitungan kepala, kami semua duduk² sambil ngobrol, dan lalu terdengar suara, “Barid, ya mujahidin! Barid!” (Surat bagi pejuang kemerdekaan! Surat!).
Suara itu milik sawa’id dari bagian lain, dan semua orang memperhatikannya. Sawa’id adalah petugas keamanan Hamas di dalam penjara, yang membagi-bagikan pesan dari satu bagian ke bagian lainnya. Kata Sawa’id dalam bahasa Arab berarti “tangan² yang melempar.”
Setelah terdengar teriakan itu, dua orang laki berlari ke luar tenda, menjulurkan tangan² mereka di udara dan melihat langit. Bagaikan sudah diatur saja, sebuah bola datang entah dari mana dan jatuh tepat di tangan² yang sudah siap itu. Beginilah cara para pemimpin Hamas di bagian kami menerima perintah² bersandi rahasia dari pemimpin di bagian lain. Setiap organisasi Palestina di penjara menggunakan cara ini untuk berkomunikasi. Masing² organisasi memiliki nama sandi tersendiri, sehingga jika suara diteriakkan, para “penangkap bola” tahu bahwa mereka harus lari ke tempat di mana bola itu akan jatuh.
Bola² ini dibuat dari roti yang diempukkan dengan air. Pesan dimasukkan ke dalamnya dan roti digulung bulat bagaikan bola sebesar bola softball, dikeringkan sampai mengeras. Tentu saja hanya pelempar dan penerima terbaik yang dipilih sebagai “tukang pos.”
Kejadian menarik itu berakhir dengan cepat. Lalu tiba saat makan malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar