Kamis, 29 April 2010

Bab 26 – Pandangan bagi Hamas

2005

Saat ayah dipenjara yang terakhir kali, dia seakan mengalami pencerahan illahi.

Ayah adalah orang yang terbuka pikirannya. Dia bersedia duduk dan bicara dengan orang² Kristen, orang² tak beragama, dan bahkan orang² Yahudi. Dia mendengarkan baik² para wartawan, ilmuwan, dan analis, dan dia menghadiri berbagai ceramah di universitas². Dan dia juga mendengarkan aku - yang merupakan pembantu, penasehat, dan pelindungnya. Akibatnya, dia juga jadi berpandangan lebih luas dan bijaksana dibandingkan para pemimpin Hamas lainnya.

Dia melihat Israel sebagai kenyataan yang kekal dan mengakui bahwa banyak tujuan perjuangan Hamas yang tak masuk akal dan tak mungkin bisa dicapai. Dia ingin menemukan titik tengah bagi Israel dan Palestina, dan kedua pihak tak perlu kehilangan muka. Ayah lalu menyampaikan pidato pertama di muka umum setelah keluar dari penjara, dimana dia menyampaikan kemungkinan pemecahan masalah melalui terbentuknya negara Israel dan negara Palestina yang hidup berdampingan. Tiada satu pun ketua Hamas yang pernah mengatakan kemungkinan seperti itu. Paling² yang dulu mereka pernah lakukan hanyalah berjabatan tangan untuk mengumumkan jeda perang barang sebentar saja. Tapi ayahku mengakui hak Israel untuk eksis! Sejak itu, teleponnya terus berdering tak putus²nya.

Para diplomat dari setiap negara, termasuk Amerika Serikat, menghubungi kami untuk meminta bertemu secara rahasia dengan ayah. Mereka ingin tahu apakah dia benar² berpendapat begitu. Aku menjadi penerjemahnya, dan tak pernah meninggalkan sisinya. Teman² Kristenku mendukungnya secara tulus, dan dia mengasihi mereka karenanya.

Tak heran bahwa setelah itu, dia segera menghadapi masalah. Meskipun dia bicara atas nama Hamas, sudah jelas bahwa yang disampaikannya tidak sesuai dengan hati Hamas. Meskipun perasaan ayah sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan Hamas, dia tidak bisa meninggalkan Hamas. Kematian Yasser Arafat telah mengakibatkan kekosongan kepemimpinan dan membuat jalanan kembali penuh pertikaian. Pemuda² radikal tampak di mana² - mereka bersenjata, hati mereka penuh kebencian, dan tanpa pemimpin.

Ini bukan berarti sukar mencari pengganti Arafat. Setiap politikus korup bisa saja muncul sebagai Arafat yang baru. Maasalahnya adalah dia telah begitu memusatkan PLO dan PA. Dia bukanlah orang yang bersedia bekerja sama dengan kelompok lain. Dia menguasai semua kekuasaan dan koneksinya. Dan namanya juga tercantum di semua akun bank.

Sekarang Fatah penuh dengan orang² yang ingin jadi seperti Arafat. Tapi siapakah diantara mereka yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat Palestina dan international - dan cukup kuat untuk mengontrol berbagai organisasi yang berbeda? Bahkan Arafat sendiri kerepotan melakukan hal itu.

Ketika Hamas mengambil keputusan untuk berpartisipasi dalam pemilu parlemen Palestina beberapa bulan kemudian, ayahku tidak begitu antusias. Setelah sayap militer ditambahkan pada Hamas sewaktu Intifada Al-Aqsa, dia melihat Hamas berubah menjadi makhluk yang asing yang aneh, yang berjalan timpang dengan satu kaki militer yang panjang dan satu kaki politik yang pendek. Sudah jelas bahwa Hamas tidak mampu membentuk negara yang berfungsi sebagaimana adanya.

Untuk melakukan revolusi, diperlukan sikap yang murni dan tegas. Tapi untuk memerintah negara, diperlukan sikap kompromi dan flexibel. Jika Hamas ingin berkuasa, kemampuan berunding bukan hanya sekedar pilihan, tapi bahkan suatu kewajiban. Sebagai orang² yang dipilih masyarakat, mereka harus bertanggung jawab atas anggaran negara, air, makanan, listrik, dan pembuangan sampah. Dan ini semua harus datang dari pihak Israel. Negara Palestina yang mandiri harus bersedia bekerja sama dengan Israel.

Ayahku ingat dalam rapat²nya dengan para ketua negara² Barat, pihak Hamas selalu menolak setiap rekomendasi yang mereka ajukan. Sikap berpikiran sempit dan penuh penolakan itu rupanya sudah mendarah daging pada diri mereka. Dan jika para pemimpin Hamas tidak mau berunding dengan pihak AS dan Eropa, maka, pikir ayahku, bagaimana mungkin mereka akan bersedia berunding dengan Israel?

Ayahku tidak peduli bahwa Hamas punya banyak calon kandidat dalam pemilu. Dia hanya tidak ingin para senior Hamas seperti dirinya, yang dicintai masyarakat dan sangat berpengaruh, ikut serta dalam pemilu bagi Hamas, karena khawatir Hamas nantinya akan menang. Dia tahu bahwa jika Hamas menang pemilu, maka ini merupakan bencana bagi masyarakat. Kejadian di waktu selanjutnya membuktikan bahwa dia benar.

“Sudah jelas ada kekhawatiran dari pihak kami bahwa Israel, dan kemungkinan pihak lain juga, akan menghukum masyarakat Palestina karena mereka memilih Hamas,” aku mendengar ucapannya pada wartawan Haaretz. “Mereka akan berkata ‘kau memilih Hamas dan karenanya kami akan meningkatkan pengepungan terhadapmu dan membuat hidupmu semakin sulit.’” [13]
[13] Danny Rubinstein, “Ketua Hamas: Kau Tak Bisa Menyingkirkan Kami,” Haaretz, http://www.haaretz.com/hasen/pages/ShAr ... ntrassID=o.

Tapi banyak anggota² Hamas yang tergiur saat mencium bau uang, kekuasaan, dan kemegahan. Bahkan para bekas pemimpin yang sudah tidak aktif lagi, tiba² muncul dalam usaha memenangkan kedudukan dalam pemilu. Ayahku sangat muak dengan sikap serakah, tak bertanggung jawab, dan kebodohan mereka. Orang² ini bahkan tidak bisa membedakan antara CIA dan USAID. Siapa yang mau bekerja bagi mereka?

Aku juga merasa frustasi dalam berbagai hal.

Aku frustasi dengan korupsi yang terus terjadi dalam PA, kekejaman dan kebodohan Hamas, dan barisan panjang tanpa henti para teroris yang telah dipenjara dan dibunuh. Aku merasa lelah karena harus terus berpura-pura dan menanggung resiko besar setiap hari. Aku ingin kehidupan yang normal.

Ketika aku sedang berjalan-jalan di Ramallah pada bulan Agustus, aku melihat seorang membawa komputernya naik tangga menuju toko reparasi komputer. Tiba² muncul gagasan dalam benakku bahwa mungkin ada prospek baik bagi bisnis perawatan komputer pribadi dan membuat tim kerja seperti America Geek Squad (geek = orang² kikuk tapi sangat melek teknologi) versi Palestina. Sejak aku tak bekerja lagi bagi USAID dan ingin membuka suatu usaha, kupikir sebaiknya gagasan ini direalisasikan saja.

Aku berteman baik dengan manajer IT (Information Technology) di USAID, yang sangat berpengetahuan dalam bidang komputer. Ketika kuberitahu dia akan gagasanku, kami mengambil keputusan untuk jadi partner bisnis bersama. Aku menyediakan dana, dan dia menyediakan kemampuan teknis, dan kami memperkerjakan beberapa insinyur komputer lainnya, termasuk karyawan² wanita agar kami bisa lebih banyak mendorong kemajuan kaum wanita dalam budaya masyarakat Arab.

Kami namai perusahaan kami sebagai Electronic Computer Systems, dan aku juga membuat beberapa iklan untuk mempromosikan perusahaanku. Iklan² kami tampil dengan gambar karikatur seorang pria membawa komputer sambil naik tangga, dan putranya berkata padanya, “Ayah, kau tidak perlu melakukan itu” dan menganjurkan ayahnya untuk menelepon nomer telepon kami.

Panggilan telepon datang dari mana², dan kami tiba² saja jadi sangat sukses. Aku membeli sebuah mobil van untuk perusahaan, dan kami mendapatkan ijin menggunakan produk Hewlett-Packard yang kemudian kami gunakan untuk memperluas jaringan bisnis. Ini merupakan saat yang menggembirakan dalam hidupku. Aku sebelumnya tidak kesulitan uang, tapi kegiatan bisnis ini menyenangkan dan membuatku jadi produktif.

Sejak aku memulai perjalanan rohaniku, aku kadang² membicarakan hal ini dengan rekan² Shin Bet dan kami beberapa kali melakukan pembicaraan yang menarik tentang Yesus dan perubahan imanku.

“Silakan percaya apapun yang kau kehendaki,” kata mereka. “Kau dapat membagi pendapatmu dengan kami. Tapi jangan bilang pada orang² lain. Dan jangan pernah dibaptis, karena ini merupakan pernyataan resmi umum. Jika orang² tahu kau telah jadi pemeluk Kristen dan meninggalkan agama Islam, kau akan menghadapi masalah besar.”

Kupikir mereka sebenarnya lebih khawatir akan masa depan mereka tanpa diriku daripada masa depanku sendiri. Tapi Tuhan merubah hidupku sedemikian rupa sehingga aku tidak mungkin bisa tetap seperti sediakala.

Suatu hari, temanku Jamal sedang memasak makanan malam bagiku.

“Mosab,” katanya, “Aku mempunyai kejutan bagimu.”

Dia mengganti saluran TV dan berkata dengan mata berseri-seri, “Coba lihat program TV Al-Hayat. Kau mungkin tertarik untuk melihatnya.”

Aku nonton TV dan melihat mata pendeta Koptik tua Zakaria Botros. Dia tampak baik hati, lemah lembut, dan berkata dengan suara yang dalam dan meyakinkan. Aku suka padanya – sampai aku menyadari apa yang dikatakannya. Dia secara sistematis melakukan bedah Qur’an, membelahnya dan menunjukkan setiap tulang, otot, urat daging, dan organ tubuh, dan lalu mengamati semuanya satu persatu di bawah mikroskop kebenaran dan menunjukkan bahwa seluruh buku Qur’an ternyata mengandung virus kanker.

Kesalahan sejarah dan fakta, kontradiksi² - dia jabarkan semuanya secara persis dan sopan, tapi dengan tegas dan penuh keyakinan. Naluriku pertama adalah ingin marah dan mematikan TV. Tapi perasaan ini hanya berlangsung selama beberapa detik saja sebelum aku menyadari bahwa ini sebenarnya adalah jawaban Tuhan atas doa²ku. Bapak Zakaria sedang memotongi semua potongan² daging mati Allâh yang masih menempel padaku, yang masih menghubungkan diriku dengan Islam, dan membutakan diriku pada kebenaran bahwa Yesus adalah benar² Anak Tuhan. Sebelum itu, aku tidak bisa mengalami kemajuan dalam mengikuti Yesus. Tapi semua ini tentunya bukanlah perubahan yang mudah. Bayangkan saja rasa sakit yang dialami ketika kau bangun pagi dan menyadari bahwa ayah yang kau kenal selama ini ternyata bukanlah ayahmu yang sebenarnya.

Aku tidak bisa mengatakan dengan tepat kapan hari dan jam aku “jadi Kristen,” karena semua proses ini berlangsung selama enam tahun. Tapi aku tahu bahwa aku sangat ingin dibaptis, tidak peduli Shin Bet bilang apa. Di saat itu, sekelompok orang² Kristen Amerika datang ke Israel untuk tamasya di Tanah Suci dan mendatangi cabang gereja mereka di Yerusalem, yakni gereja yang selama ini kukunjungi.

Tak lama setelah itu, aku berkawan baik dengan seorang gadis dari kelompok tersebut. Aku suka bicara dengannya, dan aku langsung mempercayainya. Ketika aku menyampaikan sedikit kisah rohaniku dengan dirinya, dia sangat mendukung diriku, dan mengingatkanku bahwa Tuhan seringkali menggunakan orang² yang tak kau duga untuk melakukan pekerjaanNya. Keterangan ini sangat sesuai dengan pengalamanku.

Di suatu petang ketika kami sedang makan malam bersama di Restoran Koloni Amerika di Yerusalem Timur, temanku bertanya mengapa aku belum juga dibaptis. Aku tidak bisa menjawab bahwa hal itu karena aku adalah seorang agen Shin Bet dan karena aku sangat terlibat dengan semua perkembangan politik dan aktivitas keamanan di daerah itu. Tapi pertanyaannya merupakan pertanyaan yang tepat, dan aku pun sering mempertanyakan hal itu pada diriku sendiri.

“Dapatkah kau membaptisku?” tanyaku.

Dia bilang dia dapat melakukannya.

“Dapatkah kau merahasiakan hal ini diantara kita berdua saja?”

Dia bilang dia sanggup, dan menambahkan, “Pantai tidak jauh letaknya dari sana. Mari kita pergi ke sana.”

“Serius nih?”

“Iya, dong. Mengapa tidak?”

“Baiklah. Mengapa tidak?”

Aku agak bingung ketika kami naik bus untuk pergi ke Tel Aviv. Apakah aku sudah lupa siapa diriku? Apakah aku benar² mempercayai gadis dari San Diego ini? Empat puluh lima menit kemudian, kami berjalan di pantai yang penuh orang, sambil minum minuman di udara petang yang segar dan hangat. Tiada seorang pun dari kumpulan orang ramai itu yang tahu bahwa putra ketua Hamas – organisasi teroris yang bertanggung jawab membunuh dua puluh satu remaja di disko Dolphinarium yang tak jauh dari sini – akan segera dibaptis jadi Kristen.

Aku melepaskan kaosku dan kami berjalan ke laut.

Di hari Jum’at, tanggal 23 September, 2005, sewaktu aku mengantarkan ayahku kembali dari kamp penampungan dekat Ramallah, dia menerima panggilan telepon.

“Apa yang terjadi?” aku mendengar teriakan ayah ke teleponnya. “Apa?”

Suara ayahku terdengar sangat gusar.

Ketika dia menutup teleponnya, dia menjelaskan padaku bahwa yang meneleponnya adalah juru bicara Hamas yakni Sami Abu Zuhri di Gaza, yang memberitahunya bahwa Israel baru saja membunuh sejumlah besar anggota² Hasa saat rapat umum di kamp pengungsi Jebaliya. Dia mengatakan bahwa dia menyaksikan sendiri pesawat Israel meluncurkan misil² ke kumpulan orang². Mereka melanggar gencatan senjata, katanya.

Ayahku telah bekerja sangat keras untuk merundingkan gencatan senjata tujuh bulan sebelumnya. Sekarang tampaknya usahanya sia² belaka. Dia merasa tidak bisa mempercayai Israel dan sangat marah dengan sikap Israel yang haus darah.

Tapi aku tak percaya akan hal ini. Meskipun aku tidak mengatakan apapun pada ayah, laporan yang kudengar itu tak masuk akal.

Al-Jazira menelepon. Mereka ingin ayah tampil di siaran TV begitu kami tiba di Ramallah. Dua puluh menit kemudian, kami sudah berada di studio mereka.

Ketika mereka sedang mempersiapkan mikrofon untuk ayah, aku menelepon Loai. Dia meyakinkan diriku bahwa Israel tidak melakukan serangan apapun. Aku merasa lega. Aku minta produser untuk menunjukkan padaku rekaman video tentang serangan tersebut. Dia membawaku ke ruang kontrol, dan kami melihat video itu berulang kali. Tampak jelas bahwa ledakan berasal dari daratan dan bukan karena tembakan dari udara.

Syeikh Hassan Yousef sudah berbicara di TV, mencaci pengkhianatan Israel, mengancam akan menyudahi gencatan senjata, dan menuntut pemeriksaan internasional.

“Apakah kau sudah merasa lebih baik sekarang?” aku bertanya padanya setelah dia berjalan keluar ruangan studio.

“Apa maksudmu?”

“Maksudmu setelah kau mengucapkan pernyataanmu.”

“Mengapa aku harus merasa lebih baik? Sungguh sukar dipercaya mereka bisa melakukan hal itu.”

“Bagus, sebab mereka ternyata tidak melakukannya. Hamaslah yang melakukan itu. Zuhri itu pendusta. Mari masuk ke ruang kontrol; aku ingin kau melihat sesuatu.” Ayahku mengikutiku kembali ke ruang kecil di mana kami melihat video itu beberapa kali.

“Lihatlah ledakan itu. Lihat. Ledakan terjadi dari atas ke bawah. Ledakan ini tidak berasal dari udara.”

Kami nantinya mengetahui bahwa orang² militer Hamas di Gaza saat itu telah muncul sambil mengacungkan senjata² mereka untuk demonstrasi. Di saat yang bersamaan, sebuah misil Qasam yang diletakkan di bak belakang truk tak sengaja meledak dan membunuh lima belas orang dan melukai lebih banyak orang lagi.

Ayahku terkejut akan kebohongan yang dilakukan Hamas. Tapi Hamas tidak sendirian saja dalam melakukan penipuan ini. Selain hanya mempertontonkan video itu di siaran beritanya sendiri saja, Al-Jazira juga terus-meneruskan menyebarkan dusta tersebut. Setelah itu keadaan jadi memburuk. Sangat amat memburuk.

Sebagai balasan atas serangan palsu di Gaza, Hamas melontarkan empat puluh misil ke berbagai kota di Israel selatan. Ini merupakan serangan besar pertama sejak Israel telah mengundurkan diri sepenuhnya seminggu sebelumnya. Di rumahku, aku dan ayah menonton berita TV bersama seluruh masyarakat dunia. Keesokan harinya, Loai memperingatkan aku bahwa kabinet Pemerintahan Israel menetapkan bahwa Hamas telah membatalkan gencatan senjata.

Image
Mayor Jendral Yisrael Ziv, kepala operasi tentara Israel.

Sebuah laporan berita mengutip perkataan Mayor Jendral Yisrael Ziv, kepala operasi tentara Israel: “Sudah ditetapkan untuk melakukan serangan panjang dan terus-menerus terhadap Hamas,” dan wartawan menambahkan, “bahwa Israel sedang bersiap-siap untuk menyerang lagi para pemimpin Hamas,” hal yang tak dilakukan lagi setelah gencatan senjata dulu. [14]
[14] Israel Bersumpah untuk ‘Meremukkan’ Hamas setelah Serangan,” Fox News, 25 September, 2005, http://www.foxnews.com/story/0,2933,170304,00.html (dibaca di tanggal 5 Oktober, 2009).

“Ayahmu harus masuk penjara lagi,” kata Loai.

“Apakah kau meminta persetujuanku?”

“Tidak. Mereka memintanya secara pribadi, dan tak ada yang bisa kami lakukan akan hal itu.”

Aku sangat marah.

“Tapi ayah tidak memerintahkan penyerangan misil tadi malam. Dia tidak memerintahkan hal itu. Dia tidak berhubungan apapun dengan semua ini. Orang² (* edit moderator *) di Gazalah yang mengatur semua ini.”

Akhirnya aku kehabisan napas. Aku sangat terpukul. Loai memecahkan kesunyian.

“Apakah kau masih disana?”

“Ya.” Aku duduk. “Ini sungguh tak adil … aku tak mengerti.”

“Kau juga,” katanya perlahan.

“Aku juga, apa? Masuk penjara lagi? Tidak! Aku tak mau kembali lagi. Aku tak peduli melindungi perananku lagi. Semuanya sudah usai bagiku. Aku tidak mau lagi melakukan ini.”

“Saudaraku,” dia berbisik, “apakah kau pikir aku ingin kau ditangkap? Ini semua terserah padamu. Jika kau ingin tetap berada di luar, silakan berada diluar. Tapi sekarang keadaannya jauh lebih berbahaya daripada waktu kapanpun. Kau terus-menerus berada di samping ayahmu sepanjang tahun. Setiap orang mengetahui kau sangat terlibat dengan Hamas. Bahkan banyak yang percaya kau adalah bagian dari pemimpin Hamas … Jika kami tidak menangkapmu, maka kau akan mati dalam beberapa minggu saja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar