2005-2007
“Ada apa?” tanya ayahku ketika melihatku menangis.
Ketika aku tidak mengatakan apapun, dia mengajakku memasak makan malam untuk ibu dan saudara² perempuanku. Ayah dan aku sudah menjadi begitu dekat selama bertahun-tahun terakhir, dan dia mengerti bahwa aku kadang² harus menyelesaikan masalahku seorang diri saja.
Tapi ketika aku mempersiapkan makanan bersamanya, hatiku bertambah hancur membayangkan bahwa ini mungkin jam² terakhir kami bisa bersama untuk jangka waktu yang lama di masa depan. Aku mengambil keputusan agar dia tidak ditangkap seorang diri saja.
Setelah makan malam, aku menelepon Loai.
Hari itu tanggal 25 September, 2005. Aku mendaki lembah² Ramallah untuk mencapai tempat favoritku, dimana aku sering berdoa dan membaca Alkitab. Aku berdoa lebih lama lagi, menangis lagi, dan meminta belas kasih Tuhan bagiku dan keluargaku. Ketika aku pulang, aku duduk dan menunggu. Ayahku yang tak mengetahui apa yang akan terjadi, telah tidur. Tak lama kemudian setelah jam 12 malam, pasukan keamanan Israel datang.
Mereka membawa kami ke Penjara Ofer, dimana kami digiring masuk ke aula besar dan disatukan bersama ratusan tawanan lainnya yang diciduk dari seluruh kota. Kali ini mereka juga menangkap saudara² lakiku Oways dan Mohammad. Loai memberitahuku diam² bahwa mereka berdua diduga terlibat dalam kasus pembunuhan. Salah seorang teman sekolah mereka telah menculik, menyiksa, dan membunuh orang Israel, dan Shin Bet telah menyadap panggilan telepon yang dilakukan oleh pembunuh kepada Oways beberapa hari sebelumnya. Mohammad akan dibebaskan beberapa hari kemudian. Oways dipenjara selama empat bulan sebelum akhirnya dinyatakan tidak terlibat dalam kasus pembunuhan ini.
Kami duduk di atas lutut kami di aula tersebut selama sepuluh jam dengan tangan diborgol di belakang tubuh. Aku diam² berterima kasih pada Tuhan karena seseorang memberi sebuah kursi pada ayah, dan aku melihat dia diperlakukan dengan hormat.
Aku dihukum tiga bulan di penjara administratif. Teman² Kristenku memberiku sebuah Alkitab, dan aku menjalani masa hukuman sambil mempelajari Alkitab. Aku dibebaskan di hari Natal 2005. Ayahku masih belum bebas. Sampai saat aku menulis buku ini, dia masih berada di penjara.
Pemilu Parlemen akan segera berlangsung, dan setiap pemimpin Hamas ingin berkuasa. Mereka masih tetap memuakkan bagiku. Mereka bisa berjalan-jalan dengan bebasnya, sedangkan satu²nya orang yang mampu memimpin masyarakat malahan ditahan di belakang pagar berkawat silet. Setelah kami ditangkap, ayah enggan berpartisipasi dalam pemilu. Dia meminta aku untuk menyampaikan pesannya kepada Mohammad Daraghmeh, wartawan pengamat politik bagi Associated Press dan teman baiknya.
Kabar bahwa ayah tidak ikut Pemilu tersebar dua jam kemudian, dan teleponku mulai berdering. Para pemimpin Hamas mencoba menghubungi ayah di penjara, tapi dia tak mau bicara dengan mereka.
“Apa yang terjadi?” tanya mereka padaku. “Ini sungguh celaka! Kami akan kalah pemilu jika ayahmu tidak bersedia mencalonkan diri jadi pemimpin, dan ini akan tampak seakan dia tidak merestui seluruh proses pemilu!”
“Jika dia tidak mau ikut pemilu,” kataku pada mereka, “maka kalian harus menghormati keputusannya.”
Ismail Haniyah, tokoh penting Hamas dan perdana menteri PA yang baru.
Lalu datang panggilan telepon dari Ismail Haniyah, yang merupakan tokoh penting Hamas dan akan jadi perdana menteri PA yang baru.
“Mosab, sebagai pemimpin gerakan, aku meminta kau untuk mengatur acara jumpa press dan mengumumkan bahwa ayahmu masih tetap berperanan penting dalam Hamas. Katakan pada mereka bahwa laporan AP itu salah.”
Sekarang mereka minta aku berdusta. Apakah mereka lupa bahwa Islam melarang untuk berbohong pada sesama Muslim, atau mereka pikir hal itu boleh² saja karena politik tak mengenal agama?
“Aku tak bisa melakukan itu,” kataku padanya. “Aku menghormati kau, tapi aku lebih menghormati ayah dan kejujuranku.” Aku menutup telepon.
Tiga puluh menit kemudian, aku menerima ancaman kematian. “Buat jumpa press sekarang juga,” begitu kata penelepon, “atau kami akan bunuh kamu!”
“Kalau begitu, silakan datang dan bunuh aku.”
Aku menutup telepon dan menelepon Loai. Beberapa jam kemudian, pria yang mengancam ini sudah ditangkap.
Aku tidak begitu peduli dengan ancaman² mati. Tapi ketika ayah mendengar akan hal itu, dia menelepon Daraghmeh dan mengatakan padanya bahwa dia akan mencalonkan diri dalam pemilu. Lalu dia mengatakan padaku untuk bersikap tenang dan menunggu saatnya dia dibebaskan. Dia akan berurusan dengan Hamas, begitu penjelasannya padaku.
Tentu saja ayah tidak bisa kampanye pemilu lewat penjara. Tapi dia tak perlu melakukan itu. Hamas memajang wajahnya di mana², sebagai bujukan agar orang² mencoblos Hamas dalam pemilu. Saat persiapan pemilu berlangsung, Syeikh Hassan Yousef digiring masuk ke dalam parlemen sambil membawa banyak orang lain bersamanya bagaikan kotoran² dalam rambut singa.
Aku menjual bagian kepemilikan perusahaanku Electric Computer Systems kepada rekan bisnisku karena aku merasakan banyak perubahan yang akan terjadi dengan hidupku.
Siapakah aku sebenarnya? Masa depan apakah yang akan kumiliki jika keadaan tetap berlangsung seperti ini?
Usiaku telah mencapai dua puluh tujuh tahun, tapi aku tidak bisa pacaran. Gadis Kristen akan takut dengan reputasiku sebagai putra pemimpin Hamas. Gadis Muslim juga tak akan tertarik pada pria Kristen Arab. Dan mana ada gadis Yahudi yang mau pacaran dengan putra Hassan Yousef? Bahkan jikalau sekiranya ada gadis yang bersedia pergi keluar bersamaku, apakah yang akan kami bicarakan? Apakah aku bisa bebas membagi pengalaman hidupku? Hidup seperti apakah ini? Sebenarnya untuk siapakah aku berkorban selama ini? Palestina? Israel? Perdamaian?
Apa yang telah kucapai sebagai mata² Shin Bet? Apakah keadaan masyarakatku jadi membaik? Apakah pertumpahan darah berhenti? Apakah ayah berada di rumah bersama keluarganya? Apakah Israel lebih aman? Apakah aku telah menjadi contoh yang lebih baik bagi saudara²ku? Aku merasa aku telah mengorbankan sepertiga hidup untuk hal yang percuma, “semuanya sia-sia seperti usaha mengejar angin,” begitu kata Raja Salomo di Pengkhotbah 4:16.
Aku bahkan tidak bisa menyampaikan apa yang telah kupelajari, karena posisiku sekarang. Siapa yang akan percaya padaku?
Aku menelepon Loai. “Aku tak bisa bekerja bagimu lagi.”
“Mengapa? Apa yang terjadi?”
“Tak ada masalah. Aku mencintai kalian semua. Dan aku suka bekerja sebagai mata². Kupikir aku malah jadi ketagihan melakukan pekerjaan itu. Tapi kita tidak mencapai hasil apapun. Kita berperang dalam perang yang tidak bisa dimenangkan melalui penangkapan, interogasi, dan pembunuhan. Musuh kita sebenarnya adalah pandangan ideologi, dan ideologi tidak peduli akan serangan dan jam malam. Kita tidak bisa menghancurkan ideologi melalui tembakan Merkava. Kau bukan masalah bagi kami, dan kami pun bukan masalah bagimu. Kita semua bagaikan tikus² yang terperangkap dalam jaringan jalan yang ruwet. Aku tidak bisa lagi melakukan hal ini. Waktuku sudah selesai.”
Aku tahu ini merupakan pukulan berat bagi Shin Bet. Kami sedang berada di tengah peperangan.
“Baiklah,” kata Loai. “Aku akan menyampaikan ini pada pemimpin dan tunggu apa yang mereka katakan.”
Ketika kami bertemu lagi, dia berkata, “Inilah tawaran pemimpin kami bagimu. Israel memiliki perusahaan komunikasi yang besar. Kami akan memberimu semua uang yang kau butuhkan untuk mendirikan perusahaan serupa yang dulu kau miliki di Palestina. Ini adalah kesempatan besar dan akan membuatmu aman seumur hidupmu.”
“Kau tidak mengerti. Masalahku bukanlah masalah uang. Masalahku adalah aku tidak mencapai apapun.”
“Orang² di sini membutuhkanmu, Mosab.”
“Aku akan menemukan cara lain untuk menolong mereka, tapi aku tidak bisa menolong mereka dengan melakukan hal yang sama. Bahkan Shin Bet sendiri juga tidak tahu harus mengarah ke mana.”
“Lalu apa dong yang kau inginkan?”
“Aku ingin meninggalkan negara ini.”
Dia menyampaikan pembicaraan kami dengan atasannya. Kami bolak-balik seperti itu, sang pemimpin bersikeras aku harus tetap tinggal, sedangkan aku bersikeras ingin pergi.
“Baiklah,” kata mereka. “Kami akan memperbolehkan kau pergi ke Eropa selama beberapa bulan, mungkin barang setahun, tapi kau harus berjanji untuk kembali.”
“Aku tak mau pergi ke Eropa. Aku ingin pergi ke Amerika Serikat. Aku punya beberapa teman di sana. Mungkin aku akan kembali dalam waktu setahun, dua tahun, atau lima tahun. Aku tak tahu. Yang kutahu adalah sekarang aku butuh saat jeda.”
“Pergi ke Amerika sih susah bagimu. Di sini kau punya uang, kedudukan, dan perlindungan dari berbagai pihak. Kau telah punya reputasi terkenal, membangun perusahaan yang menguntungkan, dan hidup nyaman. Apakah kau tahu bagaimana hidupmu di AS? Kau akan jadi sangat kecil dan tak punya pengaruh apapun.”
Aku katakan pada mereka bahwa aku tak peduli andaikata sekalipun aku harus bekerja sebagai pencuci piring di sana. Dan ketika aku terus bersikeras, mereka menetapkan keputusan tegas.
“Tidak,” kata mereka. “Tidak boleh ke Amerika Serikat. Hanya boleh ke Eropa dan hanya untuk jangka waktu singkat saja. Pergilah dan nikmati hidupmu. Kami akan tetap membayar gajimu. Silakan pergi dan bersenang-senang. Nikmati waktu jedamu. Lalu kembali ke sini.”
“Baiklah,” kataku akhirnya. “Aku akan pulang. Aku tak mau melakukan apapun bagi kalian. Aku tak akan meninggalkan rumah karena aku tak mau kebetulan melihat pembom bunuh diri dan harus melaporkan hal itu pada kalian. Jangan meneleponku lagi. Aku tak bekerja lagi bagi kalian.”
Aku kembali pulang ke rumah orangtuaku dan mematikan ponselku. Aku membiarkan jenggotku tumbuh panjang dan tebal. Ibuku jadi sangat khawatir melihatku, dan dia sering menjenguk ke kamarku untuk melihat keadaanku sambil bertanya apakah semuanya baik² saja.
Dari hari ke hari, aku membaca Alkitab, mendengarkan musik, menonton TV, memikirkan semua yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir, dan bergulat dengan rasa depresiku.
Pada akhir bulan ketiga, ibuku mengatakan aku menerima telepon dari seseorang. Aku katakan pada ibu bahwa aku tak mau bicara dengan siapapun. Tapi ibu berkata penelepon mengatakan hal ini sangat penting, dan dia adalah teman lama yang juga mengenal ayahku.
Aku turun tangga dan mengangkat gagang telepon. Ternyata dia adalah salah seorang dari Shin Bet.
“Kami ingin bertemu denganmu,” katanya. “Ini sangat penting. Kami punya kabar baik bagimu.”
Aku lalu menemui mereka dalam rapat. Karena aku tidak mau lagi bekerja bagi mereka, maka mereka pun tidak mendapatkan keuntungan apapun dari keadaan ini. Mereka menyadari bahwa aku benar² ingin berhenti bekerja bagi mereka.
“Baiklah, kami akan memperbolehkan kau pergi ke Amerika Serikat, tapi hanya untuk beberapa bulan saja, dan kau harus berjanji untuk kembali.”
“Aku tak mengerti mengapa kau bersikeras meminta sesuatu yang kau pasti tak akan dapatkan,” kataku pada mereka dengan tenang tapi tegas.
Akhirnya mereka berkata, “Baiklah, kami akan memperbolehkan kau pergi dengan dua persyaratan. Pertama, kau harus menyewa pengacara dan mengajukan surat permohonan pada kami bahwa kau ingin meninggalkan negeri ini untuk alasan kesehatan. Jika tidak begitu, maka kau akan ketahuan sebagai mata². Kedua, kau kembali ke sini.”
Shin Bet tidak pernah mengijinkan anggota² Hamas keluar perbatasan kecuali mereka membutuhkan perawatan medis yang tak tersedia di daerah Palestina. Aku sebenarnya punya masalah dengan rahang bawahku yang membuatku sukar mengatupkan gigi rapat² dan aku tak bisa mendapatkan perawatan operasi untuk masalah ini di Tepi Barat. Masalah rahang ini tidak pernah terlalu menggangguku, tapi ini merupakan alasan baik. Maka aku lalu menyewa seorang pengacara untuk melaporkan kondisi medis ke pengadilan, meminta ijin untuk pergi ke Amerika Serikat untuk menjalani operasi.
Tujuan semua ini adalah untuk menampakkan bukti administrasi yang jelas bahwa aku menjalani semua prosedur yang benar dan sulit untuk keluar dari Israel. Jika Shin Bet menyingkirkan semua kesulitan, maka tentunya ini tampak sebagai tindakan yang tak adil dan orang² akan curiga mengapa aku mendapat perlakuan istimewa dari Shin Bet. Jadi kami harus membuat semua proses ini tampak sukar dan aku harus berjuang keras untuk setiap kemajuan yang kudapatkan.
Tapi pengacara yang kusewa ternyata malah jadi masalah tersendiri. Dia rupanya tidak yakin aku bisa mendapatkan ijin keluar negeri, sehingga dia minta pembayaran di muka – dan aku lalu membayarnya – tapi setelah itu dia enak² duduk dan tidak melakukan apapun. Shin Bet juga tak menerima surat laporan diriku untuk diurus karena pengacaraku tidak mengirim apapun. Minggu demi minggu, aku terus meneleponnya dan bertanya apakah ada kemajuan dalam kasusku. Yang perlu dilakukannya hanyalah mengurus surat² saja, tapi dia tetap menunda-nunda dengan berbagai alasan. Ada masalah, katanya. Kasus ini lebih rumit. Dia minta uang berkali-kali lagi, dan aku pun membayarnya berkali-kali pula.
Semua ini terus berlangsung sampai enam bulan. Akhirnya di Tahun Baru 2007, aku menerima panggilan telepon.
“Kau sudah diperbolehkan pergi,” kata pengacaraku, yang lagaknya bagaikan telah memecahkan masalah kelaparan di seluruh dunia.
[center]***************[/center]
“Apakah kau bisa sekali lagi bertemu dengan salah satu ketua Hamas di kamp penampungan Jalazone?” tanya Loai. “Kaulah satu²nya orang yang …”
“Aku akan meninggalkan negeri ini dalam waktu lima jam lagi.”
“Baiklah,” katanya menyerah. “Jaga dirimu baik² dan terus berhubungan dengan kami. Telepon aku begitu kau sudah melampaui perbatasan agar semua berjalan lancar.”
Aku telepon beberapa orang yang kukenal di California dan mengatakan pada mereka bahwa aku akan datang. Tentu saja mereka tidak mengira aku adalah putra ketua Hamas dan mata² bagi Shin Bet. Tapi mereka sangat senang mendengar kedatanganku. Aku mulai memasukkan beberapa buah baju ke dalam koper kecil dan turun tangga untuk memberitahu ibuku. Dia saat itu sudah berada di ranjang.
Aku berlutut di sampingnya dan menjelaskan bahwa aku akan pergi dalam waktu beberapa jam, melampaui perbatasan ke Yordania dan terbang ke Amerika Serikat. Aku bahkan tak bisa menjelaskan mengapa aku harus pergi.
Mata ibu mengatakan semuanya. Ayahmu sedang berada di penjara. Kau berperan sebagai ayah bagi saudara² laki dan perempuanmu. Apa yang akan kau lakukan di Amerika? Aku tahu ibu tidak mau melihat aku pergi, tapi di saat yang sama, ibu ingin aku hidup dengan damai. Dia berkata bahwa dia berharap aku bisa mendapatkan kehidupan yang menyenangkan di sana setelah hidup penuh bahaya di rumah. Ibu tentu tidak mengetahui bahwa aku sudah melihat begitu banyak bahaya.
“Mari kucium kau sebelum pergi,” katanya. “Bangunkan aku di pagi hari sebelum kau berangkat.”
Ibu memberkati aku, dan aku katakan padanya bahwa aku akan berangkat di waktu subuh dan dia tak perlu melihat aku pergi. Tapi dia adalah ibuku. Dia menungguiku sepanjang malam di ruang tengah kami, bersama saudara² laki dan perempuanku dan juga sahabatku Jamal.
Sewaktu aku mempersiapkan semua barang² yang akan kubawa sebelum pergi, aku hampir saja membawa serta Alkitabku – yang penuh catatan², Alkitab yang sama yang kupelajari selama bertahun-tahun, bahkan di penjara – tapi sekarang aku memiliki dorongan keras untuk memberikannya pada Jamal.
“Aku tak punya hadiah lebih mahal yang bisa kuberikan padamu sebelum aku pergi,” kataku padanya. “Inilah Alkitabku. Bacalah dan ikutilah.” Aku tahu dia akan melakukan permintaanku dan mungkin akan membacanya kapanpun dia teringat padaku. Aku membawa cukup uang untuk hidup di tempat baru untuk sementara, lalu pergi meninggalkan rumah, dan menuju ke Jembatan Allenby yang menghubungkan Israel dan Yordania.
Aku tak menemukan masalah melintasi pos pemeriksaan Israel. Aku telah membayar $35 pajak keluar dan masuk ke terminal imigrasi yang sangat luas dan dilengkapi dengan alat pendeteksi metal, mesin² X-ray, dan Ruang 13 yang terkenal menyeramkan, tempat interogasi orang² yang dicurigai. Tapi alat² ini pada umumnya digunakan bagi orang² yang mau masuk Israel dari Yordania dan bukan orang² yang meninggalkan Israel.
Terminal padat dengan berbagai orang dalam berbagai bentuk, yang mengenakan yarmulke (tutup kepala kecil bundar pria Yahudi) dan berpakaian Arab, pakai jilbab atau topi biasa, sebagian memanggul ransel dan yang lain mendorong kereta penuh kopor. Akhirnya, aku naik ke bus JETT – satu² alat transportasi publik yang diperbolehkan melintasi jembatan.
Baiklah, pikirku, sudah hampir sampai nih.
Tapi aku masih saja gelisah. Shin Bet biasanya tidak mengijinkan orang seperti aku meninggalkan Israel. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan Loai sendiri heran bagaimana aku bisa mendapatkan ijin pergi.
Ketika aku tiba di daerah Yordania, aku menunjukkan passportku. Aku khawatir karena meskipun aku dapat ijin tinggal selama tiga tahun di AS, passportku hampir kadaluwarsa dalam waktu kurang dari tiga puluh hari.
Aduh, tolong dong, aku berdoa, perbolehkan aku masuk Yordania meskipun sehari saja. Hanya itu yang kuinginkan.
Tapi sebenarnya aku tak perlu khawatir. Tiada masalah apapun. Aku naik taxi ke Amman dan membeli tiket pesawat terbang Air France. Aku tinggal di hotel selama beberapa jam, lalu menuju Queen Alia International Airport di Yordania dan masuk ke pesawat terbang yang menuju California melalui Paris.
Sewaktu aku duduk di pesawat, aku merenungkan apa yang kutinggalkan di belakang, semua hal yang baik dan buruk – keluarga dan teman²ku dan juga pertumpahan darah, kesia-siaan, dan kegagalan yang tak ada habisnya.
Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kemerdekaanku yang baru. Aku merdeka untuk menjadi diriku sendiri, merdeka dari pertemuan² rahasia dan penjara² Israel, merdeka dari sikap curiga ada yang mengetahui posisiku.
Sungguh hal ini terasa aneh dan juga sangat menyenangkan.
Mosab Hassan Yousef ketika diwawancarai di San Diego, California.
Suatu hari sewaktu aku sedang berjalan di trotoar di California, aku melihat wajah yang kukenal berjalan ke arahku. Itu adalah wajah Maher Odeh, otak dari begitu banyak serangan bom bunuh diri – aku melihat orang ini di tahun 2000 ketika dikunjungi tukang pukul Arafat. Aku dulu mengungkapkan pada Shin Bet bahwa dia dan teman²nya adalah pendiri Brigade Syahid Al-Aqsa.
Awalnya aku tak yakin bahwa orang itu adalah Odeh. Orang² memang bisa tampak berbeda di lingkungan yang amat berbeda. Aku harap aku salah. Hamas tidak berani melakukan serangan bom bunuh diri di AS. Akan jelek akibatnya bagi AS jika Odeh berada di California. Tentunya hal itu juga akan berdampak jelek bagiku.
Mata kami bertemu dan saling tatap selama sedetik. Aku sangat yakin melihat percikan sinar matanya yang menandakan dia mengenaliku sebelum dia terus berjalan melewatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar