Kamis, 29 April 2010

Bab 2 - Tangga Iman

1955-1977

Namaku adalah MOSAB HASSAN YOUSEF.

Aku adalah putra sulung dari Syeikh Hassan Yousef, yang merupakan satu dari tujuh pendiri organisasi Hamas. Aku lahir di desa Tepi Barat dekat Ramallah, dan aku adalah bagian dari keluarga² Islam yang paling relijius di Timur Tengah.

Kisahku dimulai dari kakekku, yakni Syeikh Yousef Dawood, yang merupakan pemimpin agama - atau imam - bagi desa Al-Janiya, yang terletak di bagian Israel yang disebut Alkitab sebagai Yudea dan Samaria. Aku sangat mencintai kakekku. Jenggotnya yang lembut dan putih menyentuh pipiku saat dia memelukku, dan aku bisa duduk berjam-jam mendengarkan suaranya yang lembut dalam melafalkan adhan - panggilan Muslim untuk sholat. Dan aku punya banyak kesempatan melakukan ini karena Muslim harus sholat lima kali sehari. Melafalkan adhan dan Qur’an tidaklah mudah, tapi jikalau kakekku melakukannya, suaranya sungguh mempesona.

Ketika aku masih kecil, sebagian pelafal adhan sangat menggangguku sehingga aku ingin menutup telinga. Tapi ayahku adalah adalah orang yang sabar, dan dia membawa pendengar untuk larut memahami makna adhan sewaktu dia menyanyikannya. Dia percaya setiap kata yang diucapkannya.

Sekitar 400 orang hidup di Al-Janiya sewaktu berada di bawah kekuasaan Yordania dan pendudukan Israel. Tapi masyarakat dusun kecil ini tidak tertarik akan politik. Terletak di daerah lembah beberapa mil barat daya Ramallah, Al-Janiya adalah tempat yang damai dan indah. Sinar mentari pagi mewarnai semua bagian dengan warna jingga dan ungu. Udaranya segar dan bersih, dan dari puncak bukit kau bisa melihat seluruh pemandangan dengan jelas sampai ke Mediterania.

Setiap jam 4 pagi, kakekku bangun untuk pergi ke mesjid. Setelah dia selesai melakukan sholat subuh, dia akan membawa keledai kecilnya ke lahan taninya, mengolah tanah, mengurus pohon² zaitun, dan minum air segar dari mata air yang keluar dari gunung. Tiada polusi udara karena hanya seorang saja di Al-Janiya yang punya mobil.

Ketika dia berada di rumah, kakekku mempersilakan para tamu berdatangan. Dia itu lebih dari sekedar imam - dia adalah segalanya bagi masyarakat desa. Dia berdoa bagi setiap bayi yang baru lahir dan membisikkan adhan di telinga mereka. Ketika ada orang mati, kakekku akan memandikannya dan mengurapi tubuhnya dan membungkusnya dengan kain. Dia pula yang menikahkan masyarakat, dan menguburkan masyarakat.

Ayahku, Hassan, adalah putra yang paling disayangi kakek. Bahkan sejak kecil, meskipun bukan kewajibannya, ayah sering ikut kakekku ke mesjid. Tiada saudara²nya yang lain yang peduli akan Islam seperti ayahku.

Sambil duduk di sebelah ayahnya, Hassa belajar melafalkan adhan. Dan juga seperti ayahnya, dia pun memiliki suara dan ketertarikan yang membuat orang menjawab panggilannya. Kakekku sangat bangga akan ayahku. Ketika ayah masih berusia 12 tahun, kakek berkata, “Hassan, kau telah menunjukkan bahwa kau berminat akan Tuhan dan Islam. Maka aku akan mengirimmu ke Yerusalem untuk belajar Syariah.” Syariah adalah hukum agama Islam yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, dari keluarga dan kesehatan sampai ke bidang politik dan ekonomi.

Hassan tidak mengerti dan tidak tertarik bidang politik dan ekonomi. Dia hanya ingin menjadi seperti ayahnya saja. Dia ingin membaca dan melafalkan Qur’an untuk melayani masyarakat. Tapi dia nantinya akan mengetahui bahwa ayahnya bukanlah sekedar imam dan pelayan masyarakat yang dicintai saja.

Karena nilai² budaya dan tradisi selalu lebih berharga bagi orang² Arab daripada aturan dan hukum Pemerintah, maka orang seperti kakekku jadi pemimpin hukum tertinggi dalam masyarakat. Hal ini terutama terjadi jika pemimpin² negara adalah orang² sekuler yang lemah dan korup, sehingga perkataan imam berpengaruh lebih dianggap sebagai hukum.

Ayahku tidak dikirim ke Yerusalem hanya untuk belajar agama Islam saja; kakek ternyata hendak mempersiapkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin. Selama beberapa tahun setelah itu, ayahku hidup dan tinggal di kota tua Yerusalem, di sebelah mesjid Al-Aqsa - yang berkubah emas dan menjadi ciri khas Yerusalem di mata penduduk dunia. Di usia 18 tahun, ayah menyelesaikan studinya dan pindah ke Ramallah, di mana dia langsung ditunjuk menjadi imam mesjid. Karena besarnya keinginan untuk melayani Allah dan umat Muslim, ayah memulai pelayanan masyarakat dengan penuh semangat, sama seperti yang dilakukan kakek di Al-Janiya.

Tapi Ramallah bukanlah Al-Janiya. Ramallah adalah kota yang ramai, sedangkan Al-Janiya adalah dusun kecil nan sepi. Sewaktu ayah pertama kali masuk mesjid di Ramallah, dia sangat terkejut karena hanya mendapatkan lima orang tua saja yang sedang menunggunya. Umat Muslim yang lain tampaknya lebih suka mengunjungi kedai kopi, bioskop film porno, mabuk²an, atau berjudi. Bahkan orang yang seharusnya menyuarakan adhan lebih memilih memasang rekaman suara saja agar permainan kartunya tidak terganggu.

Hati ayah hancur melihat keadaan orang² ini, meskipun dia tidak tahu bagaimana caranya menyentuh hati mereka. Bahkan lima orang tua di mesjid mengakui bahwa mereka berada di mesjid karena merasa ajal sudah dekat dan ingin masuk surga, tapi setidaknya mereka bersedia berada di mesjid untuk mendengarkan khotbah. Maka ayah memulai kerja dengan sedikit orang yang ada. Dia memimpin orang² ini untuk bersholat, dan mengajari mereka Qur’an. Dalam waktu singkat saja mereka mengasihi ayah bagaikan malaikat yang dikirim dari surga.

Tapi di luar mesjid sih, lain ceritanya. Bagi kebanyakan orang, rasa cinta ayahku pada tuhan Qur’an hanya menunjukkan dengan jelas sikap mereka yang acuh tak acuh pada Islam, dan ini membuat mereka tersinggung.

“Mengapa anak kecil ini melafalkan adhan?” gerutu orang² itu, sambil menunjuk pada wajah ayahku yang masih muda. “Dia tidak layak tinggal di sini. Dia hanya pengacau saja.”

“Mengapa sih anak kecil ini mempermalukan kita? Hanya orang tua saja yang mau pergi ke mesjid.”

“Aku lebih suka jadi anjing daripada jadi orang seperti kamu,” bentak salah satu dari mereka ke wajah ayah.

Ayahku diam saja menghadapi penindasan ini, dan tidak pernah balas membentak atau membela diri. Tapi rasa cinta dan kasihnya pada masyarakat ini tidak membuatnya putus asa. Dan dia terus saja melakukan pekerjaan yang diberikan kepadanya: memanggil umat Muslim untuk kembali pada Islam dan Allâh.

Dia membagi kekhawatirannya pada kakekku, yang dengan cepat menyadari bahwa ayahku memiliki ketangguhan dan potensi yang lebih besar daripadanya yang diperkirakannya. Kakek lalu mengirim ayah melanjutkan studi Islam ke Yordania. Nantinya kalian akan mengetahui bahwa orang² yang ditemui ayah di sana akhirnya akan mengubah sejarah keluargaku dan bahkan sejarah konflik Timur Tengah. Tapi sebelum aku melanjutkan, aku ingin berhenti sejenak untuk menjelaskan beberapa hal penting dalam sejarah Islam yang akan membantu kalian untuk mengerti mengapa berbagai solusi diplomatik yang tak terhingga jumlahnya kandas semua dan perdamaian tetap tak kunjung terjadi.

Diantara tahun 1517 sampai 1923, Islam - diwakili oleh kekalifahan Ottoman - menyebar dari pusatnya di Turki ke tiga benua. Tapi setelah beberapa ratus tahun penuh kejayaan dan kekuasaan, kekalifahan Ottoman jadi terpusat dan korup, sehingga mulai lemah.

Di bawah kekuasaan Turki, desa² Muslim di seluruh Timur Tengah jadi korban penindasan dan pemerasan pajak yang tinggi. Istanbul terletak terlalu jauh bagi sang Kalifah untuk melindungi umat Muslim yang setia dari penindasan para prajurit dan penguasa lokal.

Di abad ke 20, banyak Muslim yang kehilangan iman dan mulai mencari jalan keluar lain. Banyak dari mereka yang jadi atheis karena pengaruh komunisme. Umat Muslim yang lain mengubur masalah mereka dengan minuman keras, judi, dan pornografi, yang kebanyakan diperkenalkan oleh orang² Barat yang datang ke Timur Tengah karena perkembangan industri mineral.

Di Kairo, Mesir, seorang guru sekolah yang taat Islam bernama Hassan al-Banna menangisi keadaan masyarakatnya yang miskin, tak punya pekerjaan, dan tak bertuhan. Tapi dia menyalahkan pihak Barat, dan bukan pihak Turki, dan dia yakin bahwa satu²nya harapan bagi masyarakatnya, terutama generasi muda, adalah kembali pada Islam yang asli dan murni.

Dia lalu pergi ke kedai kopi, naik di atas meja, dan mulai berkhotbah tentang Allâh. Orang² mabuk menghinanya. Para pemimpin agama Islam menentangnya. Tapi kebanyakan orang mencintainya karena dia memberikan harapan bagi mereka.

Di bulan Maret 1928, Hassan al-Banna mendirikan Masyarakat Persaudaraan Muslim (Society of the Muslim Brothers). Tujuan organisasi baru ini adalah untuk membangun kembali umat Muslim sesuai dengan aturan Islam. Dalam waktu satu dasawarsa, setiap propinsi di Mesir telah memiliki cabang organisasi. Saudara laki al-Banna mendirikan cabang lain di daerah Palestina di tahun 1935. Dua puluh tahun kemudian, organisasi Persaudaraan Muslim ini memiliki anggota sebanyak setengah juta orang di Kairo saja.

Anggota² Persaudaraan Muslim kebanyakan berasal dari kalangan miskin dan kelas rendah - tapi mereka sangat setia pada tujuan perjuangan. Mereka menyumbang uang dari kantong mereka sendiri untuk menolong sesama Muslim, sama seperti yang diperintahkan Qur’an.

Banyak orang Barat yang menyamaratakan semua Muslim sebagai teroris, tidak mengerti akan sisi Islam yang menyiratkan kasih dan pengampunan. Sisi ini peduli akan kaum miskin, para janda, dan anak yatim, juga menyediakan pendidikan dan bantuan sosial. Hal ini menyatukan dan menguatkan umat Muslim. Sisi Islam inilah yang jadi motivasi utama para pemimpin Persaudaraan Muslim awal. Tentu saja ada sisi lain Islam yang mengajak semua Muslim melakukan Jihad melawan seluruh dunia sampai umat Muslim berhasil mendirikan kekalifahan Islam atas seluruh dunia, dipimpin oleh seorang manusia suci yang berkuasa dan berbicara bagi Allâh. Hal ini penting untuk dimengerti dan diingat sebelum maju ke kisah selanjutnya. Sekarang balik dulu lagi ke pelajaran sejarah ...

Di tahun 1948, Persaudaraan Muslim berusaha melakukan kudeta terhadap Pemerintah Mesir, karena Persaudaraan Muslim menganggap Pemerintah Mesir bertanggung jawab atas keadaan Mesir yang semakin sekuler. Usaha penggulingan kekuasaan ini terhenti sebelum berakibat apapun, karena berhentinya Mandat Pemerintah Inggris dan Israel memproklamasikan diri sebagai negara Yahudi yang berdaulat.

Umat Muslim di seluruh Timur Tengah sangat marah. Berdasarkan Qur’an, jikalau musuh menyerang negara Muslim manapun, semua Muslim harus bersatu untuk berperang membela tanah Muslim. Menurut sudut pandang dunia Arab, orang asing telah menyerang dan menguasai Palestina, tempat Mesjid Al-Aqsa, yang merupakan tempat Islam paling suci ketiga setelah Mekah dan Medinah. Mesjid itu dibangun di tempat yang diyakini sebagai tempat di mana Muhammad dan Jibril pergi ke surga dan berbicara dengan Abraham, Musa, dan Yesus.

Mesir, Lebanon, Syria, Yordania, dan Iraq seketika menyerang negara baru Yahudi. Diantara 10.000 pasukan Mesir terdapat ribuan sukarelawan Persaudaraan Muslim. Akan tetapi persekutuan Arab ini kalah perang. Kurang dari setahun kemudian, tentara Arab telah diusir keluar Palestina.

Sebagai akibat perang, sekitar 3/4 juta masyarakat Arab Palestina lari atau keluar dari rumah² mereka di daerah yang sekarang menjadi milik Negara Israel.

Meskipun PBB mengeluarkan Resolusi 194, yang menetapkan bahwa “para pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup dama dengan para tetangga lainnya diijinkan untuk melakukan itu” dan “ganti rugi dibayarkan atas barang milik orang² yang memilih untuk tidak kembali,” anjuran ini ternyata tidak pernah dilaksanakan. Puluhan ribu orang² Palestina yang meninggalkan Israel sewaktu Perang Arab-Israel tidak pernah mendapatkan kembali rumah² dan tanah mereka. Banyak para pengungsi dan keturunannya yang hidup di kamp² pengungsian yang diatur oleh PBB hingga saat ini.

Ketika para anggota Persaudaraan Muslim yang sekarang bersenjata kembali dari medan perang ke Mesir, usaha penggulingan kekuasaan atas Pemerintah Mesir dilakukan lagi. Namun rencana kudeta ini bocor, dan Pemerintah Mesir lalu melarang organisasi Persaudaraan Muslim, menyita semua asetnya, dan memenjarakan banyak anggotanya. Mereka yang berhasil melarikan diri lalu membunuh Perdana Menteri Mesir beberapa minggu kemudian.

Hassan al-Banna dibunuh pada tanggal 12 Februari, 1949, diperkirakan oleh pasukan keamanan rahasia Pemerintah. Tapi organisasi Persaudaraan Muslim tidak jadi hancur. Dalam waktu 20 tahun saja, hassan al-Banna telah membangkitkan Islam dari tidurnya dan menciptakan revolusi Islam dengan pasukan bersenjatanya. Dalam beberapa tahun berikutnya, organisasi ini terus berhasil menambah anggota dan pengaruh diantara umat Muslim, tidak hanya di Mesir saja, tapi juga di Syria dan Yordania.

Saat ayahku tiba di Yordania di pertengahan tahun 1970-an untuk belajar Islam, Persaudaraan Muslim telah berdiri dengan kuat dan dicintai masyarakat Muslim. Anggota² Persaudaraan Muslim melakukan segala hal yang disetujui ayahku - memperkuat iman Islam diantara umat Muslim, menyembuhkan mereka yang terluka, dan mencoba menyelamatkan masyarakat dari pengaruh korup lingkungannya. Ayah yakin bahwa orang² ini adalah pembaru relijius Islam, sama seperti Martin Luther dan William Tyndale bagi umat Kristen. Mereka hanya ingin menyelamatkan dan memperbaiki nasib rakyat, dan bukan untuk membunuh dan menghancurkan. Ketika ayah bertemu dengan sebagian pemimpin awal Persaudaraan Muslim, dia berkata, “Ya, inilah yang aku cari.”

Apa yang ayahku lihat di saat² awal jaman itu adalah Islam yang mencerminkan kasih dan pengampunan. Apa yang tak dilihatnya, yang mungkin dia sendiri tidak mau lihat, adalah sisi lain dari Islam.

Islam itu bagaikan sebuah tangga. Bagian tangga paling bawah adalah sholat dan pujian bagi Allâh. Tangga yang berikutnya adalah menolong Muslim mikin dan membutuhkan bantuan, mendirikan sekolah², dan mengadakan zakat. Tangga yang paling atas adalah Jihad.

Tangga ini tinggi. Hanya segelintir orang saja yang mau melihat apa yang ada di tangga paling atas. Dan kesadaran akan hal itu hanya perlahan saja berlangsung, dan bahkan hampir tidak mungkin terjadi. Hal ini bagaikan kucing mengincar burung. Si burung tidak pernah mengalihkan pandangan mata dari kucing, tapi dia diam saja sambil terus mengamati kucing maju mundur mengambil ancang² untuk menerkamnya. Burung itu tidak bisa menghitung jarak, dan tidak menyadari bahwa si kucing semakin datang mendekatinya sedikit demi sedikit, sampai, dalam waktu sekejap mata saja, cakar kucing telah basah oleh darah burung.


Muslim² tradisional berdiri di atas tangga paling bawah, hidup dalam rasa bersalah karena tidak melakukan ibadah Islam dengan taat. Di tangga paling atas terdapat Muslim fundamentalis, dan mereka inilah yang kalian lihat di berbagai berita membunuhi para wanita dan anak² demi kemuliaan tuhan Qur’an. Muslim moderat itu terletak di antara bagian bawah dan atas tangga.

Seorang Muslim moderat sebenarnya lebih berbahaya daripada Muslim fundamentalis. Akan tetapi, karena orang ini tampaknya tak berbahaya, kalian tidak akan tahu kapan orang ini akan naik memanjat tangga yang teratas. Kebanyakan para pembom bunuh diri awalnya adalah Muslim moderat.

Saat di mana ayahku menginjakkan kaki pertama kali di tangga paling bawah, dia tidak bisa membayangkan berapa jauh dia akan meninggalkan angan² Islam idealnya tatkala terus menaiki tangga. Setelah 35 tahun kemudian, aku ingin bertanya padanya: Apakah kau ingat di mana kau memulai? Kau melihat semua Muslim tersesat, dan hatimu hancur akan mereka, dan kau ingin mereka kembali pada Allâh dan diselamatkan. Sekarang lihat para pembom bunuh diri yang membunuhi orang² yang tak bersalah. Apakah ini sesuai dengan niat awalmu? Tapi bicara seperti itu pada ayah sendiri tidaklah lumrah dilakukan dalam masyarakat kami. Karenanya, dia terus saja menjalani jalan berbahaya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar