Kamis, 29 April 2010

Bagian Akhir

Di bulan Juli 2008, aku duduk di sebuah restoran dan menikmati makan malam bersama dengan teman baikku Avi Issacharoff, wartawan dari koran Israel Haaretz. Aku sampaikan padanya kisah hidupku menjadi orang Kristen karena aku ingin berita ini datang dari Israel dan bukan dari Barat. Kisahku ini lalu muncul di korannya, dengan judul artikel Anak yang Hilang.”

Seperti umumnya kasus Muslim murtad dan lalu mengikuti Yesus, pengumumanku pindah agama juga menghancurkan hati ibu, ayah, saudara² laki dan perempuanku dan teman²ku.

Temanku Jamal adalah satu dari sedikit orang yang berdiri bersama keluargaku dalam menghadapi rasa malu, dan dia pun ikut menangis bersamanya. Jamal sangat kesepian setelah aku pergi, tapi untungnya dia bertemu dengan seorang gadis jelita. Mereka lalu bertunangan dan menikah dua minggu setelah artikel Haaretz muncul.

Sewaktu menghadiri pernikahannya, keluargaku tak mampu membendung air mata karena pernikahan Jamal mengingatkan mereka akan diriku, bagaimana aku telah menghancurkan masa depanku, dan bagaimana aku tidak akan pernah menikah dengan Muslimah dan punya keluarga Muslim. Melihat kesedihan mereka, maka pengantin pria pun juga mulai menangis. Tamu² lainnya ikut menangis pula, tapi aku yakin karena alasan yang berbeda.

“Tidak dapatkah kau menunggu mengeluarkan pengumuman sampai dua minggu setelah aku menikah?” tanya Jamal di telepon kemudian. “Kau membuat saat terbahagia dalam hidupku jadi hancur berantakan.”

Aku merasa sangat sedih. Tapi setelah itu, Jamal tetap menjadi sahabatku yang terbaik.

Ayah menerima laporan murtadku di penjara. Dia bangun tidur dan mengetahui bahwa putra sulungnya sudah beralih iman dan memeluk Kristen. Dari sudut pandangnya, aku telah menghancurkan masa depanku dan juga masa depan keluarganya. Dia yakin bahwa suatu hari aku akan dibawa ke neraka di hadapannya, dan kami tak akan berhubungan lagi untuk selamanya.

Ayah menangis bagaikan bayi dan tidak mau meninggalkan sel penjaranya.

Para tawanan dari berbagai organisasi mengunjunginya. “Kami semua putra²mu, Abu Mosab,” hibur mereka padanya. “Mohon tenangkan dirimu.”

Ayah tak percaya keterangan dari koran. Tapi seminggu kemudian, adik perempuanku yang berusia tujuh belas tahun, Anhar, yang merupakan satu²nya anggota keluarga yang boleh menjenguk ayah, datang menemui ayah. Seketika ayah dapat melihat dari mata Anhar bahwa berita koran itu memang benar. Ayah tak dapat lagi menguasai diri. Tawanan² lain meninggalkan sanak keluarga mereka yang menjenguk untuk datang dan mencium kepala ayah dan menangis bersamanya. Ayah mencoba bernapas tenang untuk meminta maaf pada mereka, tapi dia bahkan menangis lebih keras lagi. Bahkan para penjaga Israel, yang menghormatinya, juga ikut menangis.

Aku mengirim surat sepanjang enam halaman pada ayah. Aku katakan padanya bahwa sangat penting bagiku untuk menemukan sifat asli Tuhan yang selalu dicintainya, tapi tidak dikenalnya.

Paman²ku dengan gelisah menunggu ayah memutuskan hubungan keluarga denganku. Tapi ayah menolak melakukan itu, dan para pamanku memalingkan punggung mereka terhadap istrinya dan anak²nya. Tapi ayah tahu bahwa jika dia memutuskan hubungan denganku, para teroris Hamas akan membunuhku. Dan dia terus berusaha melindungiku, tidak peduli betapa dalamnya sakit hati yang ditanggungnya.

Delapan minggu kemudian, orang² dari penjara Ktzi’ot di Negev mengancam mengadakan kekacauan. Maka Shabas, Pasukan Keamanan Penjara Israel, meminta ayah untuk menenangkan keadaan.

Aku dan ibu selalu berbicara lewat telepon seminggu sekali setelah aku datang di Amerika. Suatu hari, ibu meneleponku.

“Ayahmu sedang berada di Negev. Beberapa tawanan berhasil menyelundupkan ponsel. Apakah kau bersedia bicara dengannya?”

Aku tak bisa percaya akan tawaran ini. Kupikir aku tak akan bisa bicara dengan ayahku sampai dia dikeluarkan dari penjara.

Aku memencet nomer telepon ayah. Tiada jawaban. Kucoba menelepon lagi.

“Alo!”

Suara ayah. Aku hampir tak bisa berbicara.

“Hai, ayah.”

“Hai juga.”

“Aku rindu suaramu.”

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik² saja. Tak penting tentang keadaanku. Apa kabarmu?”

“Aku baik² saja. Kami datang ke sini untuk bicara dengan para tawanan dan mencoba menenangkan suasana.”

Ayah ternyata masih sama seperti dulu. Minatnya yang paling utama selalu adalah kepentingan orang lain. Dia akan terus begitu.

“Bagaimana hidupmu di AS sekarang ini?”

“Hidupku menyenangkan. Aku sedang menulis sebuah buku …”

Setiap tawanan diberi waktu bicara selama sepuluh menit, dan ayah tidak pernah menggunakan jabatannya untuk mendapat perkecualian. Aku ingin bicara tentang hidupku yang baru padanya, tapi dia tidak mau bicara tentang hal itu.

“Apapun yang terjadi,” katanya padaku, “kau tetap adalah putraku. Kau adalah bagian dari diriku, dan tiada yang berubah. Kau punya pendapat yang berbeda, tapi kau masih putraku.”

Aku sangat terkejut. Orang ini sungguh luar biasa.

Aku meneleponnya lagi keesokan harinya. Hatinya terasa sakit, tapi dia bersedia mendengarkan.

“Aku punya rahasia yang ingin kusampaikan padamu,” kataku. “Aku ingin memberitahu sekarang juga, agar kau tidak mendengarnya dari media berita.”

Aku menjelaskan bahwa aku telah bekerja bagi Shin Bet selama sepuluh tahun. Bahwasanya dia masih hidup hari ini adalah karena aku setuju agar dia ditempatkan di dalam penjara sebagai perlindungan baginya. Namanya tercantum di dalam daftar bunuh urutan yang teratas – dan dia sekarang berada di penjara karena aku tidak lagi bisa melindunginya.

Diam. Ayah tak berkata apapun.

“Aku mencintaimu,” kataku akhirnya. “Kau adalah ayahku senantiasa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar