Kamis, 29 April 2010

Bab 9 – Persenjataan

Musim Dingin 1995 - Musim Semi 1996

Setelah Perjanjian Oslo, masyarakat internasional berharap Pemerintahan Palestina bisa mengontrol Hamas. Di hari Sabtu, 4 November, 1995, aku sedang menonton TV ketika laporan berita darurat tiba² diumumkan. Yitzhak Rabin ditembak ketika sedang kampanye perdamaian di Lapangan Raja² (Kings Square) di Tel Aviv. Tampaknya hal ini serius. Dua jam kemudian, penyiar mengatakan Yitzhak Rabin telah mati.

“Wow!” teriakku keras pada diri sendiri. “Ternyata orang Palestina mampu membunuh Perdana Menteri Israel! Ini seharusnya terjadi dari dulu.” Aku sangat senang atas kematiannya dan kerusakan yang diakibatkan pada PLO dan persetujuannya dengan Israel.

Lalu telepon berdering. Aku seketika mengenal suara orang di seberang. Orang itu adalah Yasser Arafat, dan dia ingin bicara dengan ayahku.

Aku mendengar saat ayah bicara di telepon. Dia tidak banyak bicara; sikapnya tetap ramah dan sopan, dan tampak setuju dengan apapun yang dikatakan Arafat di tempatnya.

“Aku mengerti,” kata ayah. “Selamat tinggal.”

Lalu ayah berpaling padaku. “Arafat meminta agar kita mencegah Hamas merayakan kematian sang Perdana Menteri,” katanya. “Pembunuhan ini adalah kehilangan besar bagi Arafat karena Rabin menunjukkan keberanian besar dalam melakukan perjanjian damai dengan PLO.”

Kami kemudian mengetahui bahwa Yitzhak Rabin ternyata tidak dibunuh oleh orang Palestina. Dia ditembak dari belakang oleh mahasiswa hukum Israel (Yigal Amir). Banyak anggota Hamas yang kecewa atas fakta ini. Aku sendiri heran bahwa ternyata ada fanatik Yahudi yang bertujuan sama dengan Hamas.

Image
Yigal Amir, pembunuh Yitzhak Rabin.

Pembunuhan ini membuat dunia semakin menuntut Arafat untuk mengontrol daerah Palestina. Maka dia lalu melancarkan serangan besar²an terhadap Hamas. Para polisi PA datang ke rumah kami, meminta ayah untuk mempersiapkan diri, dan membawanya untuk ditawan di tempat tinggal Arafat. Arafat selalu memperlakukannya dengan rasa hormat dan keramahan terbaik.

Meskipun begitu, untuk pertamakalinya orang² Palestina memenjarakan sesama orang Palestina. Hal ini sungguh menyedihkan, tapi setidaknya mereka memperlakukan ayahku dengan hormat. Tidak seperti tawanan yang lain, ayah diberi kamar yang nyaman, dan Arafat kadangkala mengunjunginya untuk membicarkan berbagai masalah.

Tak lama kemudian semua pemimpin utama Hamas, dan juga ribuan anggotanya dimasukkan ke dalam penjara² Palestina. Banyak dari mereka yang disiksa saat interogasi. Sebagian bahkan mati. Tapi mereka yang berhasil menghindari penangkapan menjadi pelarian, dan terus melakukan serangan terhadap Israel.

Sekarang kebencianku jadi bercabang. Aku benci Pemerintah Israel dan Yasser Arafat, aku benci Israel, dan aku benci orang² Palestina yang sekuler. Mengapa ayahku yang cinta Allâh dan masyarakatnya harus sangat menderita, sedangkan orang² tak bertuhan seperti Arafat dan PLO-nya diberi kemenangan besar oleh orang² Israel - padahal Qur’an menyebut para Yahudi ini sebagai babi dan monyet? Masyarakat internasional bertepuk tangan memuji Israel karena mengakui hak teroris Arafat dan anteknya untuk eksis.

Aku berusia 17 tahun dan hanya beberapa bulan saja sebelum lulus SMA. Setiap kali aku mengunjungi ayah di penjara atau membawa makanan dari rumah dan hal lain yang menyenangkan dirinya, dia berpesan padaku, “Satu²nya hal yang harus kau lakukan adalah lulus ujian. Fokus pada sekolahmu. Jangan khawatir akan diriku. Aku tidak mau pendidikanmu terganggu.” Tapi hidup sudah tak bermakna lagi bagiku. Aku tidak bisa berpikir apapun selain bergabung dengan sayap militer Hamas dan membalas dendam pada Israel dan Pemerintah Palestina. Aku mengenang segala sesuatu yang telah kulihat dalam hidupku. Apakah semua perjuangan dan pengorbanan akan berakhir seperti ini, dalam perjanjian damai murahan dengan Israel? Jikalau aku mati berperang, setidaknya aku akan mati syahid dan masuk surga.

Ayahku tidak pernah mengajarku untuk membenci, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menghindari perasaan itu. Meskipun dia dengan penuh semangat menentang pendudukan, dan meskipun kupikir dia tidak akan ragu memerintahkan pemboman nuklir terhadap Israel jika dia memiliki bom tersebut, dia tidak pernah menjelek-jelekkan orang Yahudi, tidak seperti yang sering dilakukan para pemimpin Hamas rasis. Dia lebih tertarik pada tuhan Qur’an daripada politik. Allâh telah memberi kami tanggung jawab untuk melenyapkan bangsa Yahudi, dan ayahku tidak mempertanyakan perintah itu, meskipun dia secara pribadi tidak punya masalah dengan mereka.

“Bagaimana hubunganmu dengan Allâh?” tanya ayah setiap kali aku menemuinya. “Apakah kau sholat hari ini? Meluangkan waktu baginya?” Dia tidak pernah berkata, “Aku ingin kau menjadi mujahid (pejuang gerilya) yang baik.” Pesannya padaku sebagai anak laki sulungnya selalu saja, “Berbuatlah baik terhadap ibumu, Allâh, dan masyarkatmu.”

Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu penuh belas kasih dan pemaaf, bahkan terhadap para prajurit yang berkali-kali datang untuk menangkapnya. Dia memperlakukan mereka bagaikan anak². Ketika aku membawa makanan baginya di pusat PA, dia seringkali mengajak para penjaga untuk bergabung bersama kami dan makan makanan daging dan nasi yang khusus dimasak ibu. Beberapa bulan kemudian, para penjaga PA juga mengasihi ayahku. Sungguh mudah bagiku untuk mencintai ayah, tapi dia juga adalah orang yang sungguh sukar dimengerti.

Dengan penuh kemarahan dan nafsu balas dendam, aku mulai mencari senjata². Meskipun senjata tersedia di daerah kami saat itu, harganya sangat mahal, dan aku hanyalah pelajar SMA miskin yang tak berduit.

Ibrahim Kiswani adalah teman kelas yang berasal dari desa di sebelah Yerusalem. Dia pun punya minat yang sama denganku dan dia berkata bahwa dia bisa menyediakan uang yang kami butuhkan - meskipun tidak cukup untuk beli senapan otomatis, tapi cukup untuk beli sebuah pistol. Aku bertanya pada saudara sepupuku Yousef Daud di mana aku bisa beli pistol.

Yousef dan aku tidaklah terlalu akrab, tapi aku tahu dia punya beberapa koneksi.

“Aku punya dua teman di Nablus yang mungkin bisa menolong,” katanya padaku. “Apa yang ingin kau lakukan dengan senjata itu?”

“Setiap keluarga punya senjata,” kataku berbohong. “Aku ingin melindungi keluargaku.”

Tapi ini bukan sepenuhnya bohong. Ibrahim tinggal di desa di mana setiap keluarga memang punya senjata untuk bela diri, dan dia bagaikan saudara dekat bagiku.

Selain karena ingin balas dendam, kupikir sebagai remaja tentunya menyenangkan untuk punya pistol. Aku tidak lagi tertarik dengan sekolah. Buat apa pergi ke sekolah di negara gila ini?

Akhirnya di suatu sore aku dihubungi per telepon oleh saudara sepupu Yousef.

“Oke, kita akan pergi ke Nablus. Aku tahu seseorang yang bekerja bagi pasukan keamanan PA. Kupikir dia bisa memberi kita sebuah pistol,” katanya.

Ketika kami tiba di Nablus, seseorang menemui kami di pintu rumah kecil dan membawa kami masuk. Di dalam rumah dia memperlihatkan senapan² mesin Swedia Carl Gustav M45 dan sebuah Port Said, jenis senjata serupa versi Mesir. Dia membawa kami ke tempat terpencil di pegunungan dan menunjukkan pada kami bagaimana menggunakan senjata² itu. Ketika dia bertanya apakah aku ingin mencoba, jantungku berdebar-debar. Aku tidak pernah menembak dengan sebuah senapan mesin sebelumnya, dan tiba² aku merasa takut.

“Tidak, aku percaya kamu,” kataku padanya. Aku beli dua buah senapan Gustav dan sebuah pistol dari orang itu. Aku menyembunyikan senjata² ini di pintu mobil, menaburi merica hitam di atasnya agar anjing² polisi Israel tidak berminat menciumnya di pos² penjagaan.

Sewaktu sedang menyetir mobil kembali ke Ramallah, aku menelpon Ibrahim.

“Hey, aku udah dapet barangnya, lho!”

“Benar begitu?”

“Iya, benar.”

Kami tahu sebaiknya tidak menggunakan kata² seperti pistol² atau senjata² karena kemungkinan telepon disadap Israel. Kami lalu berjanji bertemu di suatu tempat di mana Ibrahim lalu mengambil “barang²nya” dan kami lalu pisah.

Saat itu adalah musim semi 1996, dan aku baru saja berusia 18 tahun, dan sekarang bersenjata.

Di suatu malam, Ibrahim menelponku, dan aku bisa mengetahui dari suaranya bahwa dia sangat marah.

“Senapan² mesinnya tidak berfungsi!” dia berteriak ke telepon.

“Ngomong apa sih kau?” aku berkata balik, berharap tiada yang mendengar percakapan kami.

“Senapan²nya tidak bisa dipakai,” dia mengulangi lagi, “Kita ditipu!”

“Aku tidak bisa bicara sekarang,” kataku padanya.

“Baik, tapi aku ingin bertemu denganmu malam ini.”

Ketika dia tiba di rumahku, aku seketika mengecamnya.

“Kau gila ya ngomong seperti itu di telepon?” kataku.

“Aku tahu, tapi senapan² mesinnya tidak berfungsi. Pistolnya sih oke, tapi senapan²nya tidak bisa digunakan untuk menembak.”

“Baiklah, senapan² itu tak bisa dipakai. Tapi apakah kau tahu cara menggunakannya dengan benar?”

Dia meyakinkan aku bahwa dia tahu benar bagaiman menggunakan senjata² tersebut, jadi aku berkata akan mengurus masalah itu. Karena ujian akhir SMA tinggal dua minggu lagi, aku sebenarnya tidak punya waktu. Meskipun demikian aku berjanji untuk membawa senjata² kembali pada Yousef.

“Wah, payah nih,” kataku pada Yousef ketika bertemu dengannya. “Pistolnya sih berfungsi dengan baik, tapi senapan² mesinnya tidak. Telepon temanmu di Nablus agar kami setidaknya bisa mendapat kembali uang kami.” Dia berjanji untuk mencoba.

Di keesokan harinya, saudara lakiku Sohayb memberitahu kabar menegangkan.

“Pasukan keamanan Israel datang ke rumah tadi malam, mencari dirimu,” katanya dengan suara yang khawatir.

Pikiranku pertama adalah, Kami kan belum membunuh siapapun! Aku ketakutan, tapi juga merasa penting karena tampaknya aku mulai dianggap berbahaya oleh pihak Israel. Ketika aku menjenguk ayahku kemudian, dia sudah mendengar bahwa prajurit² Israel mencari diriku.

“Apakah yang terjadi?” katanya tajam. Aku memberitahu apa yang terjadi dengan jujur, dan dia jadi sangat marah. Melalui kemarahannya, aku bisa melihat dengan jelas bahwa dia sebenarnya kecewa dan khawatir.

“Ini sangat serius,” dia memperingatkan aku. “Mengapa kau sampai mendapatkan masalah seperti ini? Kau seharusnya mengurus ibumu, adik² laki dan perempuanmu, dan bukannya lari dari pihak Israel. Tidakkah kau mengerti bahwa mereka akan menembakmu?”

Aku pulang, dan mulai mengepak pakaian dan buku² sekolah, dan meminta pelajar² Persaudaraan Muslim untuk menyembunyikan diriku sampai aku bisa mengikuti ujian akhir dan tamat SMA.

Ibrahim ternyata tidak mengetahui keseriusan keadaan. Dia terus meneleponku, bahkan juga ke ponsel ayahku.

“Apa sih yang terjadi? Ada apa denganmu? Aku berikan semua uangku. Aku minta uang itu kembali.”

Aku beritahu dirinya bahwa pasukan keamanan telah mengunjungi rumahku, dan dia mulai berteriak-teriak dan tak berhati-hati lagi dengan kata²nya di telepon. Aku cepat² mematikan telepon sebelum dia bisa membahayakan dirinya lebih lanjut. Tapi keesokan harinya, IDF muncul di rumahnya, menggeledah, dan menemukan pistol itu. Mereka segera menangkapnya.

Aku merasa sangat putus asa. Aku percaya pada orang yang salah. Ayahku dipenjara, dan dia kecewa akan diriku. Ibuku sangat khawatir akan diriku. Aku harus menghadapi ujian akhir. Dan sekarang aku dicari-cari prajurit Israel.

Bagaimana mungkin keadaan bisa jadi lebih jelek daripada sekarang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar